Mubadalah.id – Diakui secara luas bahwa pesantren merupakan institusi pendidikan sekaligus pusat dakwah Islamiyah paling awal di Indonesia.
Proses Islamisasi yang dilakukan oleh para ulama pesantren adalah melalui konversi, asimilasi dan adopsi antara tradisi Islam dengan tradisi dan kebudayaan yang sudah lama ada di Nusantara.
Penyerapan tradisi ini tampak dalam banyak hal. Nama pesantren sendiri, misalnya, berasal dari bahasa sansekerta. Pesantren berasal dari kata pesantrian, yakni tempat tinggal para santri yang berarti pelajar agama Hindu.
Cliffort Geertz, seorang sosiolog dunia terkemuka, mengatakan bahwa Pesantren berarti tempat “santri”, yang secara literal berarti manusia yang baik-baik. Kata santri mungkin turunan dari kata Sansekerta “Shastri” yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis.
Demikian juga kata Kyai atau Kiyai. Istilah ini berasal dari dua kata, yaitu “Ki” dan “Yai”.
“Ki” adalah sebutan untuk laki-laki yang dituakan, dihormati atau memang sudah tua. Sedang “Yai” adalah kata yang asalnya dari dialek daerah-daerah asia tenggara Indochina, yang terpengaruh bahasa sanskrit dan Pali.
“Yai” artinya besar, luas, atau agung. Kata ini masih negara lain seperti di Thailand, Burma, dan Kamboja gunakan. Maka, jika kita gabungkan, Kiyai berarti seorang laki-laki yang terhormat karena kebaikan perilakunya dan keahliannya terutama dalam ilmu agama.
Pakaian sarung yang para santri kenakan juga adalah pakaian yang biasa masyarakat Hindu kenakan juga.
Jika kita pernah berkunjung ke Srilanka atau Bengali atau Bali, kita akan menjumpai masyarakatnya yang mengenakan sarung tersebut. Sampai hari ini pakaian ini seakan-akan telah menjadi simbol kesalehan santri.
Dalam bidang seni, kesenian wayang misalnya, kita melihat bahwa alur cerita berikut tokoh-tokoh utamanya dari kisah epos Mahabarata dan Ramayana dari India.
Tetapi dalam perkembangannya alur cerita tersebut oleh para ulama lalu mengkonveksikannya ke dalam istilah-istilah Arab-Islam. Banyak sekali istilah-istilah Indonesia yang berasal dari tradisi masyarakat Hindu-Jawa.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahasa dalam pengajian kitab-kitab kuning di pesantren juga banyak menggunakan bahasa Jawa-Kuno.
Wali Songo
Para Ulama penyebar Islam pertama yang dikenal Wali Songo dalam menanamkan doktrin Tauhid Islam terkenal sangat toleran terhadap praktik-praktik keagamaan lokal yang telah mentradisi dalam masyarakat.
Toleransi mereka terhadap tradisi lokal terutama mistisisme yang berasal dari Hindu-Budha membawa dampak positif di mana Islam menjadi mudah masyarakat terima.
Berkat pendekatan dengan beragam budaya lokal tersebut, bumi Indonesia berkembang menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Bagi para wali hal paling prinsip adalah menyebarkan dan menanamkan makna kalimat Tauhid, Ke-Esa-an Allah. Caranya bisa bermacam-macam. Ini bermakna cara Islam Esensial.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali mengatakan dalam kitab “Al Tibr al Masbuk di Nashihah al-Muluk” :
العاقل من نظر ارواح الاشياء وحقاءقها ولا يغتر بصورها
“Manusia yang cerdas adalah dia yang memikirkan ruh dan hakikat pada segala sesuatu dan tak terjebak pada kulit dan formalisme”. []