Mubadalah.id – Kalimat menikah itu separuh agama sering muncul dalam nasihat perkawinan, ceramah tentang hak dan kewajiban pasangan suami istri, seminar pranikah, atau pada portal media.
Kalimat ini muncul dari Hadis yang secara literal diartikan:
“Apabila seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya, maka bertakwalah pada sisanya.”
Teks Hadis ini tidak diriwayatkan dalam kutub al-sittah (enam kitab utama), seperti Shahih al Bukhari, Shahih Muslim, Sunan al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawid, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibn Mijah atau pada kitab Muwaththa’ karya Imam Malik dan Musnad karya Ahmad bin Hanbal.
Sebagian besar ulama memandang Hadis ini lemah. Namun, Syekh Nasiruddin al-Albani memasukkannya dalam karyanya yang berjudul Silsilat al-Ahidits al-Shahihah (Kompilasi Hadis-Hadis Sahih).
Al-Albani merujuk pada Kitab al-Mu’jam al-Ausath karya Imam al-Thabaraini. Al-Albani mengatakan semua riwayat teks Hadis ini lemah, tetapi di akhir, karena banyak yang meriwayatkan, bisa disebut kuat dan dinilai sahih.
Ketika sebuah Hadis dinilai sahih dan diterima, pekerjaan selanjutnya adalah menemukan apa makna “menikah itu separuh agama” dalam teks tersebut. Di antara Hadis terkait hal tersebut yang cukup populer adalah berikut ini yang artinya:
“Apabila seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh din, dan bertakwalah kepada Allah dalam (separuh) yang sisa.?”
Kata din dalam teks Hadis tersebut memang memiliki arti agama, tetapi bukan bermakna seluruh ajaran agama. Menikah tidak menjadi separuh dari seluruh ajaran agama Islam.
Kata din dalam teks Hadis tersebut bermakna ajaran-ajaran agama terkait akhlak mulia tentang relasi pernikahan.
Secara etimologi, kata din memiliki arti utang dan tanggung jawab. Artinya, kata din pada teks Hadis menikah sebagai separuh agama adalah tentang komitmen berelasi dalam pernikahan yang berdasar pada ajaran al-Qur’an. Yaitu saling berbuat baik satu sama lain (mu’asyarah bi al-ma’ruf) (QS. al-Nisa 4:19).
Apabila yang berkomitmen hanya satu pihak, maka ia kita sebut sebagai separuh agama atau separuh komitmen.
Makna Hadis
Makna Hadis seperti di atas akan lebih jelas jika kita kaitkan dengan teks Hadis serupa dalam riwayat lain dalam kitab Silsilat al-Ahadits al-Shahihah yang berbunyi yang artinya:
“Seorang laki-laki yang menikahi perempuan salihah, ia baru dapat separuh agama (komitmen dari perempuan salihah tersebut).”
Dianggap separuh karena baru dari satu pihak (dari istri terhadap suami). Maka harus saling melengkapi dengan separuh lagi dari pihak lain (suami terhadap istri) agar lengkap menjadi komitmen yang utuh. Inilah yang kita sebut relasi yang timbal-balik atau mubadalah antara suami dan istri.
Dengan relasi ini, suami dan istri sama-sama memiliki komitmen dan tanggung jawab untuk mengimplementasikan prinsip relasi mu’asyarah bi al-ma’ruf yang al-Qur’an harapkan.
“Barang siapa yang Allah berikan anugerah seorang istri salihah, maka ia telah tertolong separuh tanggung jawabnya (melalui komitmen sang istri). Maka bertakwalah kepada Allah (agar ia juga memiliki komitmen) pada separuh (tanggung jawab) yang lain.”
Teks Hadis di atas menegaskan jika pernikahan sebagai komitmen untuk menerapkan prinsip saling berbuat baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf) dan akhlak mulia (makarim al-akhlak).
Maka keberadaan istri salihah baru separuhnya saja. Separuh yang lain untuk menyatukan komitmen dan tanggung jawab ini ada dari pihak suami yang saleh.
Dengan adanya komitmen dari suami saleh dan istri salihah ini. Maka komitmen dan tanggung jawab beragama dalam pernikahan telah menjadi sempurna.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik.