Mubadalah.id – Jika merujuk fiqh, mungkin kita mengenal dengan istilah hifzh ad-din, atau perlindungan kebebasan beragama, sebagai salah satu pilar tujuan hukum Islam (maqashid as-syariah).
Pondasi ini menjadi awal bagi semua pihak untuk bisa menjalankan ibadahnya di satu sisi, juga untuk bisa meneruskan kerja-kerja kemanusiaan di ranah sosial di sisi yang lain.
Selama berada dalam ruang persaudaraan dan kerja sama, sekalipun banyak perbedaan, termasuk dalam hal agama dan keyakinan, segala bentuk ketegangan.
Bahkan kesalahan-kesalahan harus kita upayakan untuk memaafkan, dengan mencari titik temu dan kesepakatan serta perdamaian (QS. az-Zukhruf (43): 89 dan QS. al-Jaatsiyah (45): 14).
Hal yang harus selalu kita upayakan adalah justru berlomba-lomba untuk mewujudkan kebaikan bersama (QS. al-Baqarah (2): 148). Lalu saling menolong dalam hal kebaikan, keadilan, dan kemaslahatan (QS. al-Maa’idah (5): 2 dan QS. al-Mumtahanah (60): 8).
Jika jiwa-jiwa secara kemanusiaan sudah menyatu, bisa jadi, untuk kasus-kasus tertentu, perlu mendahulukan pihak lain dibandingkan kepentingan kelompok sendiri (QS. al-Hasyr (59): 9).
Dalam ruang sosial seperti ini, seperti dalam kehidupan berbangsa antar warga yang berbeda agama di Indonesia. Yang perlu banyak kita kuatkan adalah nilai-nilai mubadalah untuk saling menghormati, mencintai, dan berbuat baik satu sama lain.
Sebagaimana pesan Nabi Muhammad Saw dalam relasi antar tetangga, dan antar manusia, yang oleh Imam al-Ghazali tegaskan untuk antar umat beragama. Di dalam sebuah hadits menyebutkan:
“Dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah Saw bersabda: Wahai Abu Hurairah, cintailah untuk semua manusia apa yang kamu cintai untukmu. Maka kamu akan menjadi orang mukmin (yang sejati). Dan berbuatlah baiklah dalam hal persahabatan dengan siapa pun yang bersahabat dengamu. Maka kamu akan menjadi orang Islam (yang sejati)” (HR. Ibnu Majah, hadits nomor 4357).*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Relasi Mubadalah Muslim Dengan Umat Berbeda Agama.