Mubadalah.id – Saudaraku, hari keempat bernama Rabu. Dari bahasa Arab, Arbia’/Rabi’, yang berarti empat/keempat.
Setelah pada hari Selasa jiwa manusia terbang bermikraj ke ketinggian kesadaran transpersoral (makrifat), dengan melihat dan menyadari konektivitas kediriannya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta, pada hari Rabu manusia harus turun ke bumi kenyataan, untuk bergumul dengan ‘hakikat’ kebenaran hidup yang sesungguhnya.
Maka bergeraklah ke ‘empat’ penjuru mata angin, untuk merayakan-mensyukuri karunia Ilahi dengan cara merawat dan memakmurkan (memberi nilai tambah) atas segala sumberdaya; guna membebaskan beban derita dan memajukan kehidupan.
Sebagai khalifah di muka bumi, manusia bisa mengolah ‘empat’ elemen inti pembentuk kehidupan (api, air, angin, tanah).
Segala modal energi sumberdaya tersebut bisa digunakan bagi seluas-luas kemakmuran dan kebahagiaan hidup bersama, manakala manusia mampu mengendalikan ‘empat’ unsur ‘nafsu’ (personalitas) pada dirinya: nafsu ammarah (egoisme) dengan simbol api; nafsu lawwamah (mudah berubah/tergesa-gesa) dengan simbol angin; nafsu mulhimah (rendah hati) dengan simbol air; dan nafsu muthmainnah (sabar, tenang, menumbuhkan) dengan simbol tanah.
Peribadatan agama-agama, baik secara bunyi maupun gerak, memiliki fungsi pengendalian terhadap ‘empat’ nafsu tersebut. Di dalam Islam, ibadah shalat menggabungkan beragam bentuk gerak peribadatan yang dipraktikkan agama-agama sebelumnya, yang secara keseluruhan sejalan dengan sifat-gerak dari ‘empat’ elemen inti kehidupan
Gerak shalat dimulai dengan berdiri, menirukan gerak api yang senantiasa tegak. Saat mulai berdiri ini, diucapkan ‘takbiratul ihram’ (Allahu Akbar), yang memuji kebesaran Sang Pencipta. Dengan mengakui bahwa Allah selalu lebih besar dan lebih benar, jiwa manusia dilatih untuk bisa mengendalikan nafsu ammarah yang senantiasa merasa lebih besar dan lebih benar dari yang lain.
Setelah itu ‘ruku’ (pinggul hingga kepala membentuk garis horisontal), melambangkan sifat angin yang bergerak lurus. Saat ini dibacakan kalimat ‘tasbih’, yang memuji kesucian dan keagungan Tuhan. Dengan mengakui kesucian Ilahi, nafsu lawwamah dikendalikan melalui penyucian hati (niat) dan peneguhan komitmen-integritas.
Lalu ‘sujud’ dengan merundukkan kepala ke tanah, menirukan gerak air yang senantiasa mengalir ke tempat terendah. Saat ini diucapkan kalimat yang mengakui kemahatinggian Tuhan. Bila Tuhan yang mahatinggi penuh kasih memberi-melayani semesta, maka manusia yang lebih rendah tak boleh merasa terhina dalam melayani sesama. Nafsu mulhimah dikembangkan dengan kerendahan hati memberikan pelayanan yang terbaik bagi semua makhluk tanpa diskriminasi.
Gerak terakhir adalah duduk, merapatkan badan ke bumi, meniru sifat tanah. Saat menyatu dengan tanah ini, shalat diakhiri dengan ucapan salam seraya menengok ke kanan dan ke kiri. Dengan itu, nafsu muthmainnah ditumbuh-kembangkan dengan menyerukan perdamaian serta menebarkan kasih sayang dan berkah Tuhan bagi seru sekalian alam.
(Yudi Latif, Makrifat Pagi)