Tak-tek-tak-tek..
Mubadalah.id – Suara dua bola kecil yang kita kaitkan dengan tali itu mungkin sangat familiar di telinga kita akhir-akhir ini. Meski kini lato-lato amat populer di Indonesia, ternyata lato-lato bukanlah permainan asli nusantara.
Sejarah Lato-lato
Lato-lato sebenarnya merupakan permainan yang terinspirasi dari boleadoras, senjata yang digunakan gaucho/koboi Argentina untuk berburu guanako. Yakni hewan yang mirip dengan kancil dan berasal dari Amerika Selatan. Jika koboi Argentina membuatnya dari kayu atau logam, permainan yang booming di Amerika Serikat dari tahun 1960an ini dibuat dari materi yang lebih lunak.
Perusahaan pembuatnya kemudian menamai mainan tersebut dengan “clackers”. Meski dalam perkembangannya muncul juga nama lainnya: “clacker balls”, “click-clacks”, “bolas”, hingga “knockers”.
Pada awal 1970an, lato-lato bukan hanya mereka mainkan secara masif di Amerika, tapi juga merambah ke Eropa. Bahkan di Italia, kepopuleran lato-lato membuat warga lokal menggelar perlombaan khusus yang mereka adakan setahun sekali. Peserta kompetisinya pun bukan berasal dari Italia saja, tetapi ada juga yang datang dari negara-negara tetangga seperti Belanda, Prancis, Belgia, Swiss dan Inggris.
Meskipun mainan tersebut awalnya mereka pasarkan sebagai cara untuk mengajari anak-anak lebih terampil dalam memainkan gerakan tangan, namun faktanya sempat terjadi kejadian buruk yang menimpa seorang anak sekolah dasar di Inggris. Akibat kurang cermat memainkan lato-lato, pergelangan tangannya patah.
Peristiwa itu kemudian memperlihatkan bahwa mainan tersebut dapat berubah menjadi proyektil yang cukup berbahaya jika tidak berhati-hati. Melihat risiko yang dapat lato-lato timbulkan, pemerintah Inggris secara tegas melarang permainan tersebut.
Standar Keamanan Alat Permainanan
Sejalan dengan penguasa Britania Raya, pada tahun 1971 FDA (Food and Drug Administration) di Amerika Serikat menetapkan standar keamanan baru untuk produsen clackers yang mencakup pengujian preskriptif dan pencatatan yang ketat. Syarat dan ketentuan yang berbelit-belit itu pada akhirnya menjadi hambatan besar bagi pembuat clackers yang akhirnya menyerah dan memutuskan gulung tikar.
Berbeda dengan pemerintah Amerika Serikat dan Inggris yang melarang lato-lato karena alasan keamanan. Di Mesir clackers tidak mereka perbolehkan karena warga menyebut mainan itu bola Sisi. Penamaan tersebut menimbulkan kemarahan pejabat penguasa karena mereka tengarai merujuk pada ejekan buruk kepada alat kelamin Presiden Abdel Fattah al-Sisi.
Meski memiliki risiko, namun lato-lato ternyata memiliki dampak positif jika dimainkan dengan penuh perhitungan. Menurut riset Yudiwinata dan Handoyo (2014), dibandingkan permainan digital melalui ponsel atau layar komputer, permainan konvensional seperti lato-lato dapat membantu melatih keseimbangan fisik dan ketelitian. Tidak hanya itu, bila kita lakukan secara konsisten, anak juga dapat terhindar dari kecanduan gadget yang membuat mata mereka cenderung cepat lelah.
Potensi dan Manfaat Permainan Tradisional
Untuk menghindarkan generasi muda dari adiksi permainan daring, sejumlah pakar merekomendasikan orangtua untuk mendorong anak-anaknya kembali memanfaatkan permainan tradisional. Seperti gobak sodor, engkel, lompat tali, bola bekel, dan congklak.
Permainan yang berakar dari budaya nusantara itu terbukti memiliki manfaat antara lain: membuat anak menjadi lebih kreatif, mengembangkan kecerdasan emosi antar personal anak, hingga membantu mengoptimalkan kecerdasan kinestetik anak.
Dalam permainan tradisional, aturan yang kita gunakan biasanya dibuat langsung oleh para pemainnya, sehingga anak-anak dapat menggali wawasan terhadap beragam pengetahuan yang ada dalam permainan tersebut.
Salah satu contohnya adalah permainan gobak sodor atau kita sebut juga galasin atau galah asin. Melakukan permainan ini kerap kali berkelompok dengan jumlah pemain harus genap antara 6 sampai 10 anak (Achroni, 2012: 55). Dalam gobak sodor, anak-anak yang bermain akan mengelompokkan diri ke dalam 2 grup, dengan masing-masing kelompok terdiri dari 3-5 orang. Secara umum, para pemain harus berusaha untuk melewati pintu-pintu yang telah terjaga.
Untuk mencapai tujuan ini, mau tidak mau antar individu dalam satu kelompok harus menerapkan strategi yang efektif agar semua pemain dapat melewati penjagaan yang ketat. Dengan skema tersebut, akhirnya anak-anak memaksa diri mereka untuk mengasah kemampuan pemecahan masalah dan bekerja sama. Hal ini berbeda dengan permainan online yang cenderung kita mainkan secara individu.
Keterbatasan Ruang Terbuka
Tidak hanya itu, ketika bermain gobak sodor, anak-anak juga harus bergerak dan berlari. Mereka pun harus aktif untuk menghindari sergapan lawan. Meski terbukti mendatangkan banyak manfaat, sayangnya banyak permainan tradisional kini tak lagi menarik perhatian anak.
Selain karena orangtua mengenalkan game ponsel terlalu dini. Harus kita akui bahwa fasilitas publik seperti tanah lapang atau taman bermain gratis jumlahnya masih sangat terbatas.
Oleh karena itu, bila pemerintah serius membangun generasi penerus, selain memperbaiki gedung sekolah, ada baiknya juga pemerintah membangun sarana prasarana bermain lebih banyak agar energi besar anak-anak dapat terakomodasi. Sebab minimnya fasilitas publik, dan ruang terbuka membuat risiko anak kecanduan permainan daring akan semakin besar. Bila tidak kita kendalikan, bukan tidak mungkin potensi keburukan dari game online kian mendorong peningkatan kenakalan remaja di masa depan. (bebarengan)