Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir tentang perspektif dan metode mubadalah, maka perspektif ini bisa disimpulkan dalam sebuah kaidah:
“Sesuatu yang maslahat (baik) bagi salah satu jenis kelamin harus didatangkan untuk keduanya, dan sesuatu yang mudharat (buruk) bagi salah satunya juga harus dijauhkan dari keduanya.”
Kaidah ini berlaku untuk banyak hal yang bersifat dasar dan prinsip. Misalnya, hak hidup bermartabat, hak beragama, berilmu, bekerja, berkarya, memperoleh kesehatan layak, istirahat, berlibur, dan lain sebagainya.
Isu-isu utama ini berlaku mubadalah. Laki-laki dan perempuan sama sebagai subjek. Tetapi, jika menyangkut hal-hal teknis, misalnya terkait perbedaan biologis, justru bisa terjadi sebaliknya.
Bahwa sesuatu yang baik laki-laki, belum tentu baik bagi perempuan. Begitu pun sesuatu yang baik bagi perempuan, belum tentu baik bagi laki-laki.
Eksepsi kaidah mubadalah ini (likulli qa’idatin mustatsnayat) bisa kita contohkan dengan kasus khitan atau sunat laki-laki dan perempuan.
Sebagai teknik pemotongan bagian tubuh tertentu, ia tidak berlaku mubadalah. Bahwa karena khitan itu baik bagi laki-laki. Maka ia juga baik bagi perempuan, hal ini tidak berlaku.
Sebab, ia bersifat teknis dan kondisional, serta terkait dengan perbedaan biologis antara anatomi kelamin laki-laki dan kelamin perempuan.
la termasuk isu eksepsi dari kaidah mubadalah. Sesuatu yang baik bagi laki-laki, seperti khitan, justru tidak baik bagi perempuan.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.