Mubadalah.id – Beberapa minggu ini media sosial tengah ramai memperbincangkan kasus-kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh beberapa selebritas Indonesia. Hal ini berawal dari istri-istri yang suaminya selingkuh memblow up cerita perselingkuhan tersebut di Instagram Storynya.
Sebetulnya ini bukan kali pertama warganet meributkan kasus perselingkuhan. Sebelumnya, Nissa Sabyan yang jadi korban. Waktu itu, vokalis grup musik Sabyan Gambus tersebut media kabarkan menjalin relasi romantis dengan Ayus. Ia adalah pemain kibor di grup musiknya, yang sudah menikah sejak 2012 silam.
Respon warganet terhadap kasus perselingkuhan di media sosial ini, merupakan cerminan masyarakat patriarki memandang standar relasi romantis. Mereka tidak menoleransi kehadiran orang ketiga, yang biasa kita sebut selingkuhan.
Selain itu menurut Ester Lianawati dalam buku Akhir Pejantanan Dunia menyebutkan bahwa perselingkuhan laki-laki juga bentuk paling konkrit dan puncak politik pecah belah patriarki terhadap perempuan. Istri berhadapan dengan perempuan lain yang memiliki karakteristik yang tidak ia miliki. Di mana itu memenuhi kebutuhan laki-laki (suami). Dari sinilah persaingan antar-perempuan semakin kuat.
Stigma Pelakor Memperkuat Persaingan Antar-Perempuan
Di sisi lain, sebagaimana Aurelia Gracia (Reporter Media Magdalene) sampaikan dalam tulisannya yang berjudul Kasus Selingkuh Selebritas: Cara Patriarki Kontrol Perselingkuhan” menyampaikan, bahwa selingkuh kian rumit oleh patriarki, yang memandang gender secara timpang.
Sehingga ketika perselingkuhan terjadi, perempuan jadi tumbal dan mendapat efek paling berat. Sementara laki-laki terbebaskan dari sanksi dan kemungkinan tertuduh sebagai perusak pernikahan ataupun relasi pacaran.
Maka dengan itu dalam banyak kasus perselingkuhan, perempuan, baik sebagai istri ataupun perempuan kedua, selalu menjadi pihak yang kita salahkan. Bahkan stigma pelakor seringkali melekat pada perempuan orang ketiga.
Menurut Ester, istilah pelakor ini pertama kali tercetuskan oleh seorang anak bernama Shafa Harris. Saat itu ia berpapasan dengan perempuan yang dia anggap telah merebut ayahnya, lalu secara spontan dia mencerca perempuan tersebut dengan menyebutnya sebagai pelakor. Tidak butuh lama istilah ini menjadi populer, bahkan hingga saat ini.
Lima Alasan Mengapa Istilah Pelakor Populer
Sebetulnya ada lima alasan, mengapa stiga pelakor sampai saat ini masih populer dan menjadi alat yang memperkuat persaingan antar-perempuan.
Pertama, stigma ada karena orangnya, objek yang distigma ini ada, nyata dan eksis. Kita memang tidak bisa menyangkal bahwa ada perempuan yang menjalin hubungan dengan laki-laki beristri. Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa ada hubungan suami istri yang memburuk setelah perslingkuhan terbongkar.
Masyarakat patriarki selalu melihat bahwa dalam kasus perslingkuhan perempuan adalah pihak yang salah. Artinya meski yang mengkhianati adalah suami, fokus masyarakat akan beralih pada perempuan, baik menyalahkan istri ataupun perempuan kedua.
Kedua, istilah pelakor memenuhi semua hasil imajinasi kolektif tentang perempuan, laki-laki dan seksualitas. Masyarakat patriarki menganggap bahwa perempuan kedua adalah penggoda. Dengan begitu ketika laki-laki berselingkuh, hal tersebut dianggap wajar. Dalam kata lain, kucing kita kasih ikan pasti ia makan.
Mekanisme Perlindungan Diri Perempuan
Menurut Ester istilah pelakor ini cocok dengan gambaran yang sudah berakar tersebut, sehingga sangat mudah kita terima dan terus kita populerkan.
Ketiga, masyarakat patriarki sudah terbiasa melihat perempuan sebagai penggoda. Sehingga masyarakat umum menganggap bahwa perempuan kedua “layak” mendapatkan stigma pelakor. Bahkan sebagian orang juga menolerasi stigma itu dengan mengatakan “Memang ada juga sih perempuan selingkuhan yang kelewatan”.
Keempat¸ Stigma pelakor mudah kita terima karena dengan stigma ini kita bisa menyalahkan perempuan lain. Penyalahan ini merupakan salah satu mekanisme perlindungan diri yang sebagian istri butuhkan.
Dalam kasus perselingkuhan, perempuan yang terkhianati mengalami luka-luka narsistik (blwaaure narcissique), harga dirinya terluka dan dalam waktu yang bersamaan juga melukai aspek feminitas terdalamnya. Dengan begitu, dalam kondisi terancam ini, secara alami manusia digerakkan untuk mempertahankan, membela dan menyelamatkan diri. Salah satunya adalah dengan menyalahkan pihak lain. Dalam hal ini perempuan kedua.
Kelima, popularitas stigma pelakor adalah wujud identifikasi dan solidaritas sesama perempuan terhadap istri yang terkhianati, sekaligus menunjukkan bagaimana rapuh dan ambigunya konsep persaudaraan antar-perempuan dalam masyarakat patriarki.
Dalam satu waktu kita memang memihak pada istri yang terkhianati, tapi kita juga menyematkan stigma pelakor pada perempuan lain. Hal ini memperlihatkan bagaimana perempuan sudah terpecah belah sedemikian rupa oleh budaya patriarki. Sehingga persaingan antar-perempuan terus terjadi dan semakin kuat.
Jadi, sebelum menyalahkan dan menghujat perempuan yang terlibat dalam perselingkuhan selebritas, setidaknya kita harus memahami faktor lain yang punya peran besar. Yaitu budaya patriarki yang masih kita langgengkan di masyarakat. Meskipun perbuatan perempuan atau siapa pun sebagai selingkuhan juga enggak patut kita benarkan. []