Mubadalah.id – Mubaadalah merupakan ijtihad Kiai Faqihuddin Abdul Kodir dalam membaca teks-teks keagamaan (Islam) dengan menyapa atau menghadirkan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai subjek. Sebab keduanya merupakan khalifah fil ardh, sehingga laki-laki dan perempuan sama-sama diberikan kesempatan untuk kemaslahatan, baik di dunia dan juga akhirat. Inilah bagian dari membumikan Islam dengan perspektif Mubadalah.
Jadi pandangan-pandangan yang menyebutkan bahwa perempuan hanya sebagai pelengkap, pendamping, penggoda, lemah, tak layak jadi pemimpin, bahkan tak punya akal. Maka pandangan tersebut jauh dari intisari ajaran Islam. Padahal ayat-ayat Al-Quran dan Sunahnya tak memandang sebelah mata keberadaan perempuan.
Lalu kenapa tafsiran Alquran dan hadis yang berkembang di masyarakat kebanyakan yang misoginis?
Melihat kondisi tafsiran-tafsiran demikian, maka Kiai Faqih (panggilan akrabnya) mengusulkan atau menawarkan metode mubaadalah dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Karena Allah SWT adalah Tuhan bagi laki-laki dan perempuan dan Nabi Muhammad SAW diutus untuk keduanya, bukan untuk laki-laki saja. Sehingga tafsirannya pun untuk kebaikan dan kemaslahatan bagi laki-laki dan perempuan.
Meminjam istilah Arkoun, metode ini semacam dekonstruksi makna. Hanya saja, metode mubaadalah bukan untuk menghancurkan makna-makna yang ada, tetapi lebih kepada tawaran interpretasi makna baru, khususnya teks-teks dogmatis-misoginis.
Cara kerja penafsirannya tidak serta merta mencomot atau mengambil beberapa teks dan mengesampingkan teks lainnya. Namun, cara kerja harus komprehensif, tidak parsial. Misalkan jika salah satu ayat (Alquran/hadis) berbicara soal pernikahan (qawaid) atau keadilan (mabadi) maka harus mencari ayat-ayat lain yang berbicara pada makna yang sama.
Sebelum melangkah kesana, maka kita harus menentukan terlebih dahulu maqashid syariah (tujuan utama syariah). Sehingga tafsiran-tafsiran yang kita lakukan tidak mendiskriminasi jenis kelamin tertentu.
Sebab metode mubaadalah bukan sekadar timbal-balik, resiprokal, kesalingan atau membolak-balikkan antara laki-laki dan perempuan. Namun tujuan penafsirannya harus memihak pada jenis kelamin yang dilemahkan, dalam hal ini perempuan selalu jadi korban.
Dunia ini bukan hanya untuk laki-laki saja, tetapi perempuan juga. Perempuan pun berhak dan bebas menentukan pilihan hidupnya baik di ranah publik ataupun domestik begitupun sebaliknya. Jika laki-laki layak menjadi pemimpin negara atau pemerintah, agama, perusahaan, bahkan keluarga. Maka perempuan pun layak diberikan kesempatan yang sama sebagaimana laki-laki.
Karena menjadi pemimpin yang menentukan itu bukanlah pada jenis kelamin. Melainkan pada kapasitas dan kredibilitasnya. Itu salah satu contohnya.
Contoh lainnya adalah perempuan juga diciptakan bukan hanya mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan rumah (domestik) seorang diri. Mengerjakan tugas-tugas domestik pun bukan semata-mata untuk membantu istrinya, karena hal itu merupakan tanggung jawab bersama di dalam keluarga antara suami dan istri atau anak (laki-laki/perempuan) dan orangtua.
Itulah contoh kasuistik bagaimana perempuan mendapatkan perlakukan tak adil di dunia ini. Belum lagi, perempuan mendapatkan stigmatisasi atau sterotipe, subordinasi, marginalisasi, kekerasan dan double burden (beban ganda) yang menurut Ibu Nyai Nur Rofiah sebagai lima bentuk kedzaliman terhadap perempuan.
Oleh karena itu, saya kira sangat penting untuk membumikan ajaran Islam dengan perspektif mubaadalah. Sebab dunia ini membutuhkan kerjasama, kesalingan, kolaborasi, partisipasi dan keterlibatan antara laki-laki dan perempuan, baik itu urusan domestik ataupun publik. Sehingga perempuan dan laki-laki berhak mendapatkan keadilan, kemaslahatan, keamanan, dan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat.
Membumikan Islam dengan pendekatan mubaadalah semata-mata bukan mendorong dunia dari patriarkhi menjadi matriarkhi. Melainkan demi terciptanya keadilan dan kemaslahatan bagi keduanya, laki-laki dan perempuan. Kehadiran mubadalah sangat penting agar dunia ini berjalan seimbang dan tak timpang.
Bukankah Islam itu merupakan agama yang memberikan rahmat bagi alam semesta, termasuk laki-laki dan perempuan di dalamnya. Jadi sudah seharusnya membumikan Islam dengan pendekatan mubaadalah sangat penting untuk terus kita perjuangkan. Karena Islam hadir untuk perdamaian dan kebaikan bukan untuk menghegemoni satu sama lain. Jadi marilah kita adil sejak dalam pikiran. Karena sesungguhnya keadilan itu lebih dekat dengan ketakwaan.[]