Mubadalah.id – Tulisan ini akan membahas mengenai keutamaan shaf pertama bagi perempuan dalam bentuk cerita yang kami sertakan dengan dalil hadis.
Sembari menunggu beduk maghrib, Kang Rohim terlibat perbicangan dengan kang Rohman.
“Man, menurutmu, kenapa ya, tempat shalat perempuan di masjid kita berada sejajar dengan laki-laki, dan terpisah dinding kayu di sebelah kiri?”
“Ah masa gitu aja ditanyakan,” celah Rohim kurang bersemangat.
“Soalnya posisi shaf perempuan dan laki-laki di masjid tidak semuanya seragam.”
“Maksudmu apa, Him?”
“Minggu lalu saya shalat berjamaah di masjid kota. Saya lihat jamaah perempuan berada di bagian belakang dan hanya dibatasi kain setinggi badan”
[baca: https://mubaadalahnews.com/2017/01/tujuan-syariat-adalah-membebaskan-dan-melindungi-perempuan/ ]
“Aku jadi inget, masjid di kampung mertuaku juga begitu. Bahkan di tempat lain saya pernah mendapati batas pemisahnya hanya kisaran satu meter,” sahut Rohman, sembari menerawang.
Keduanya sejenak hening. Sama-sama memikirkan, kenapa berbeda konsep shof untuk perempuan? Apakah ada perbedaan pendapat soal penempatan shaf perempuan dengan penyesuaian desain masjid? Kalau selama ini shaf terdepan diyakini punya keutamaan yang lebih, berarti masjid di kota memonopoli keuataman shaf hanya untuk laki-laki? Pikiran-pikiran itu kini menggelayuti mereka berdua.
Hening pecah karena salam kyai Manaf. Keduanya begegas mencium tangan kyai setelah membalas salam.
“Kebetulan nih, Him, kita bisa nanya soal ini ke Kyai.”
Melihat keduanya berbisik, Kyai Manaf melempar tanya, “ada apa?”
“Hmm begini kyai,” cerita Rahim, “kami bingung, sebenarnya mana yang dianjurkan dalam shaf shalat untuk perempuan, apakah sejajar atau di belakang laki-laki?”
Kyai mengambil duduk di antara Rohman dan Rahim lalu bertutur. Kyai memulai dengan menyitir sebuah hadits,
“Sebaik-baiknya shaf pria adalah shaf terdepan dan seburuk-buruknya adalah shaf yang terakhir, dan sebaik-baiknya shaf wanita adalah shaf yang terakhir, dan seburuk-buruknya adalah shaf terdepan.” (HR. Ahmad). Ada yang berpendapat bahwa shaf paling belakang adalah baik untuk perempuan untuk menghindari hal-hal yang bersifat maksiat antar keduanya, atau dengan kata lain menjaga kehormatan keduanya. Namun, menurut hemat saya,” ucap kyai sambil mengelus jenggotnya, “hal itu untuk menjaga ketertiban shaf berjamaah saja. Menurut Imam Maliki, Hambali dan Syafi’i, hadits yang menyebutkan tentang urutan shaf perempuan di belakang laki-laki adalah sunnah dan tidak membatalkan shalat seandainya shaf perempuan sejajar dengan laki-laki. Demikian pula jika ada seorang perempuan atau barisan perempuan berada di shaf laki-laki tidak batal shalatnya orang yang berada di sampingnya atau belakangnya atau di depannya maupun shalat si perempuan itu sendiri, melainkan hanya berkurang kesempurnaannya. (Fiqhul Islam Wa ‘Adillatuhu Jilid 2 Hal. 361).”
Lalu bagaimana jika di masjid atau mushola ada pembatas (tabir) yang memisahkan? Menurut Syaikh Abdullah bin Jibrin [Fatawa Ash-Shiyam, Syaikh Abdullah Al-Jibrin, hal. 94], jika keadaannya demikian (terpisah tabir), sehingga perempuan mengandalkan pengeras suara dalam mengikuti imam shalat, maka shaf pertama adalah yang lebih utama daripada shaf yang belakangnya. Laki-laki maupun perempuan sama-sama dianjurkan untuk mendapat keuatamaan shaf pertama sebagaimana HR Abu Dawud “Sesungguhnya Allah dan malaikat bersalawat untuk shaf-shaf pertama”.
Rohman dan Rahim masih khusyu’ menyimak. Kyai Manaf kemudian berdiri dan melangkah masuk masjid. Ia menghentikan kaki di langkah ketiga, menengok ke arah Rohman dan Rohim sembari menukil sebuah hadits, “Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala adzan dan shaf pertama, kemudian untuk mendapatkannya harus diundi, niscaya mereka akan mengadakan undian.” (Muttafaq ‘alaih).