Mubadalah.id – Setelah melewati kegiatan pengenalan dan materi dasar pada hari pertama Akademi Mubadalah Muda 2023, saya akan menuliskan refleksi akademi pada hari kedua. Para peserta akademi terlihat sangat bersemangat untuk megikuti materi berikutnya.
Kami melakukan ice breaking berupa senam bersama dengan panitia. Sesi ice breaking memang selalu ada tiap harinya. Dengan kegiatan jenis kegiatan ice breaking yang bermacam-macam, peserta akademi dapat meningkatkan mood dan semangat untuk memulai kegiatan selama Akademi Mubadalah Muda berlangsung.
Mengenal Lima Bentuk Ketidakadilan Gender Pada Perempuan
Kegiatan pertama pagi ini memulai dengan lanjutan materi dari identifikasi isu gender dalam konteks kehidupan sosial oleh Ibu Iklilah Muzayyanah. Beliau meminta kami untuk menonton sebuah video ilustrasi yang menampilkan perjalanan keluarga yang menganut paham patriarki. Kami menuliskan isu-isu apa saja yang terdapat dalam video tersebut untuk menguji seberapa besar ‘sensitifitas gender’ peserta akademi.
Selanjutnya, beliau meminta kami untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk yang menyebabkan ketidakadilan gender pada perempuan dengan menuliskan ‘statement’ pada lima gambar yang telah disediakan oleh panitia. Kelima faktor penyebab permasalahan gender tersebut adalah steorotype pada perempuan, subordinasi, marginalisasi, beban ganda, dan violence (kekerasan) pada perempuan.
Pertama, steorotype merupakan pelabelan negatif yang terjadi pada perempuan. Misalnya, perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, tidak berdaya, dan kurang akal. Kedua, subordinasi merupakan sikap merendahkan posisi/status sosial pada perempuan.
Misalnya, perempuan dianggap tidak pantas untuk menjadi seorang pemimpin. Ketiga, marginalisasi merupakan peminggiran perempuan dalam akses dan partisipasi publik. Misalnya, perempuan dianggap sebagai makhluk domestik yang hanya boleh mengerjakan tugas-tugas reproduksi.
Keempat, beban ganda merupakan pembebanan pada perempuan secara berlebihan dengan tugas-tugas yang tidak proporsional dan memberatkan.
Misalnya, perempuan pekerja selain memiliki tanggung jawab sebagai pekerja, perempuan dituntut untuk dapat mengurus anak, mengurus rumah, dan mengurus segala kegiatan baik dalam sektor publik atau reproduksi tanpa ada bantuan dari pihak suami. Dan yang terakhir terdapat kekerasan pada perempuan. Misalnya, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga hingga marital rape (pemerkosaan dalam pernikahan).
Mengenali Isu Gender dan Mengidentifikasi Gender
Pemateri selanjutnya datang dari Ibu Maria Ulfah Ansor. Beliau membawakan materi mengenai isu gender. Pada awal materi, kami belajar mengenal identitas gender (adanya laki-laki dan perempuan, hemafrodit dan transeksual, hingga transgender dan transvestive crossdresser).
Hal yang menarik dari paparan materi beliau adalah materi mengenai “Gender (G) atau Kodrat (S)”. Beliau menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran gender dan seksual tersendiri.
Misalnya, pada perempuan yaitu bahwa yang berhubungan dengan gender adalah konstruksi sosial (buatan masyarakat) seperti sifat lembut, emosional, penggoda, dan cerewet. Dalam hal kodrat, perempuan memiliki anugerah berupa organ reproduksi seperti vagina dan pengalaman reproduksi seperti menyusui, menstruasi, melahirkan, dan nifas.
Sedangkan pada laki-laki, peran gender atau konstruksi sosial yang sering kita dengar seperti kuat, pemimpin, mendapatkan warisan lebih banyak, rasional, menafkahi, membuahi, dan lebih berkuasa. Dalam hal kodrat, laki-laki memiliki organ reproduksi seperti memiliki penis dan memiliki jakun.
Jika kita lihat dengan seksama, seringnya tidak semua orang mengerti dan memahami perbedaan antara kodrat dengan gender. Meskipun terlihat sama, namun keduanya sangat berbeda.
Trilogi Fatwa KUPI
Pemateri terakhir datang dari Kiai Faqihuddin Abdulkodir, beliau merupakan seorang ulama yang mencetuskan konsep mengenai Mubadalah. Dan pada sesi ini, para peserta memiliki banyak kesempatan untuk menggali hal tersebut lebih jauh dan mendalam langsung dari beliau.
Mulanya, kami belajar mengenai bagaimana cara-cara untuk menulis dengan perspektif adil gender. Waktu itu beliau menjelaskan,
“Anggaplah konstruksi gender, ini dapat terjadi pada akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat. Begitupun dengan hal yang sama dengan ketidakadilan. Jadi kita bisa membuka atau memulai tulisan kita dengan perspektif yang beragam. Karena, mungkin orang hanya fokus pada satu permasalahan saja. Saya berharap, hal ini dapat membuka wawasan Anda untuk memiliki ide lanjutan atau mengingatkan pada orang bahwa Anda baru bicara satu sisi, masih ada sisi lain yang belum selesai”
Selanjutnya, beliau memberikan kami insight dalam menulis, “Dan yang kita tahu pada semua faktor ini (gender, tahapan pemberdayaan perempuan, dan ruang lingkup masyarakat/sosial) pada konteks apa yang harus kita lakukan, bagaimana cara kita menstrasnformasikan kondisi-kondisi dari semua konstruksi ini yang zalim (tidak adil gender) menjadi adil gender.”
Paparan beliau sangat memberikan kami insight bagaimana cara agar tulisan kami dapat mengadvokasi nilai-nilai ketidakadilan gender dengan baik. Setelah materi penguatan dan pemaparan penulisan selesai, beliau menyambung pada materi Trilogi Fatwa KUPI.
Mengenal Konsep Tauhid dalam Perspektif KUPI
Beliau mengenalkan kami pada konsep tauhid terlebih dahulu, mengajak kami berdiskusi mengenai bagaimana ajaran tauhid yang kita pahami dalam berbagai perspektif. Hal inilah yang membuat saya sangat menikmati momen-momen belajar dan mengkaji bersama beliau.
“Ma’ruf merupakan cara untuk menemukan konsep-konsep yang baik dan dapat diterima baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan. Itulah sebabnya, mari kita mengajak laki-laki dan perempuan untuk kebaikan bersama (menemukan poin kebaikan). Misalnya dalam konteks khalifah fil ard, ayat dimana Allah meminta manusia menjadi khalifah fil ard tidak hanya ditujukan pada laki-laki saja, namun juga ditujukan pada perempuan. Keduaanya diminta oleh Allah untuk melakukan kebaikan. Inilah yang dinamakan konsep Mubadalah.
Mubadalah memiliki kosep yang banyak dan beragam. Tetapi, kita harus dapat mengenali konteksnya, tidak hanya setara dan sama. Karena usia yang berbeda, jenis kelamin berbeda, ras berbeda, adanya difabel dan non-difabel. Maka kita memerlukan konsep keadilan hakiki. Konsep keadilan hakiki mempertimbangkan seluruh pengalaman perempuan harus naik untuk dibicarakan dan menjadi otoritas dalam ilmu pengetahuan agama.
Konsep Trilogi fatwa KUPI menekankan bahwa jika Anda ingin berargumentasi dengan Islam, maka jangan hanya sekedar mengutip pada Qur’an atau Hadits. Tapi bagaimana menemukan poin ma’rufnya? Bagaimana dengan keterlibatan laki-laki dan perempuan? Dan bagaimana pertimbangan pengalaman reproduksi perempuan?”
Berbicara mengenai konsep Mubadalah dan Trilogi Fatwa Kupi, maka kita berbicara bagaimana menafsirkan nilai-nilai ma’ruf dan berkeadilan. Dari paparan beliau, saya sangat bersyukur dapat menjadi salah satu peserta akademi.
Nilai-nilai Trilogi Fatwa KUPI ini tidak hanya saya tuangkan dalam tulisan saja, namun besar keinginan saya untuk dapat menyebarkan kepada siapa saja. Semoga Allah melindungi dan memberkahi kehidupan Kiai Faqih dan para orang-orang yang menerapkan, mengajarkan, dan menyebarkan nilai-nilai tersebut. Satu kata untuk hari kedua di AMM 2023, Masyaa Allah! []