Mubadalah.id – Malam-malam abad 20 M, di pesisir selatan Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, ejaan demi ejaan alif, ba, ta, tsa… anak-anak yang sedang belajar mengaji, menggema di sabuah milik jiou (ulama). Kala itu, banyak jiou yang menjadikan sabuah-nya sebagai madrasah tempat anak-anak belajar agama Islam.
Aktivitas pendidikan Islam di sabuah sangat berarti dalam transmisi keilmuan Islam masyarakat pesisir selatan Bolaang Mongondow. Dan, jika kita melihat hal ini dari segi diskursus her-story Nusantara, menariknya dalam aktivitas transfer pengetahuan di sabuah ada kiprah perempuan di dalamnya.
Pendidikan Islam di Sabuah
Agaknya, pembaca belum banyak yang tahu tentang sabuah. Sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional khas jiou yang pernah eksis di pesisir selatan Bolaang Mongondow pada abad 20 M. Untuk itu, pada bagian ini saya akan sedikit menjelaskannya.
Sabuah secara sederhana berarti pondok untuk tempat berteduh di kebun. Namun, di Bolaang Mongondow, beberapa orang membangun sabuah-nya tidak sekadar sebagai tempat berteduh, melainkan sudah hampir seperti vila yang mereka pakai untuk tempat tinggal di kebun. Barangkali, ini sebab pengaruh kebiasaan orang Bolaang Mongondow yang suka menetap lama di kebunnya.
Pada abad ke-20 M, para jiou yang merupakan ulama setempat banyak yang menjadikan sabuah-nya sebagai madrasah. Jadi, anak-anak yang ingin belajar agama, kala itu, mereka harus menetap di sabuah milik jiou yang menjadi guru mereka. Salah satu sabuah yang pada masanya cukup terkenal di pesisir selatan Bolaang Mongondow, adalah Sabuah Imam Udeng Paputungan. Dia merupakan pemimpin agama (jiou imam) di Desa Pinolosian.
Sabuah Imam Udeng itu sendiri sudah aktif sebagai madrasah sejak sebelum tahun 1959 M. Namun, sayangnya, tidak bertahan di tengah arus perubahan zaman, sehingga saat ini sudah tidak ada (pun sabuah milik jiou yang lain).
Sabuah Imam Udeng ukurannya besar dan tinggi, tidak seperti pondok pada umumnya. Di sabuah ini, murid-murid Imam Udeng yang mencapai 20-an orang setiap angkatan menetap, hingga masa pendidikan mereka selesai. Murid laki-laki beristirahat di lantai bawah, dan perempuan di lantai atas sabuah. Jadi, di Bolaang Mongondow kala itu, tidak hanya laki-laki saja, namun perempuan juga mendapat ruang pendidikan Islam di sabuah.
Aktivitas pendidikan Islam di Sabuah Imam Udeng, dan sabuah jiou yang lain, amat penting dalam transmisi keilmuan Islam di Bolaang Mongondow kala itu. Sebab, melalui sabuah keluar banyak lulusan yang paham pokok ajaran Islam serta amalan harian, bisa membaca al-Qur’an, dan tahu tradisi Islam Bolaang Mongondow.
Perempuan yang Mengajar Mengaji di Sabuah
Menarik dalam hal her-story Nusantara, ada peran perempuan yang mewarnai aktivitas transmisi keilmuan Islam di sabuah. Hal ini sebagaimana yang Satia Paputungan, anak Imam Udeng, sampaikan. Bahwa, katanya ibunya, istri Imam Udeng yang bernama Anini Paputungan, ikut terlibat aktif mengajar murid-murid sabuah membaca al-Qur’an.
Satia Paputungan sendiri yang pada dasarnya juga merupakan murid di Sabuah Imam Udeng, ikut membantu mengajar adik-adik tingkatnya. Bahkan, ketika sudah besar dan menikah dengan Imam Aju Abug, dia yang merupakan alumni sabuah bersama suami juga mengadakan pendidikan Islam di sabuah mereka sendiri. Dan, di Sabuah Imam Aju, Satia Paputungan turut menjadi guru mengaji.
Dalam mengajar mengaji di sabuah, Anini Paputungan dan Satia Paputungan biasa menggunakan metode yang mereka sebut Makadam. Sebagaimana metode tersebut yang Imam Udeng dan Imam Aju gunakan di sabuah mereka.
Satia Paputungan sedikit menjelaskan bagaimana cara mereka mengajar mengaji: “Dikenalkan dulu huruf hijaiyah alif, ba, ta, tsa, dan seterusnya (tanpa ada tanda baca). Nanti setelah (murid-murid hafal semuanya) kemudian (mereka belajar huruf) yang sudah ada tanda. (Misalnya), alif di atas ‘a’, alif di bawah ‘i’, alif ‘u’, jadi a, i, u…, (untuk ba) ba, bi, bu, (dan seterusnya).”
Melalui metode Makadam, Anini Paputungan dan Satia Paputungan membimbing banyak murid sabuah hingga bisa membaca al-Qur’an. Aktivitas transmisi keilmuan Islam tersebut, kala itu, menjadikan keduanya guru mengaji bagi banyak orang di pesisir selatan Bolaang Mongondow, khususnya di Desa Pinolosian dan sekitarnya.
Kiprah Keulamaan Perempuan di Sabuah
Apa yang Anini Paputungan dan Satia Paputungan lakukan mungkin nampak sederhana bagi sebagian orang. Menjadi guru mengaji di sabuah. Namun, dari segi kebermanfaatan hingga diskursus sejarah perempuan, itu bukan hal yang biasa saja.
Dari segi kebermanfaatan, jelas yang keduanya lakukan memberi manfaat penting bagi masyarakat Muslim setempat. Sebab, melalui peran keduanya sebagai guru di sabuah banyak orang di pesisir selatan Bolaang Mongondow bisa membaca al-Qur’an, dan juga paham amalan ibadah harian.
Dan, dari segi diskursus her-story Nusantara, kiprah Anini Paputungan dan Satia Paputungan cukup menjelaskan kalau, pada permulaan hingga akhir abad 20 M, sebenarnya sudah ada peran keulamaan (sebagai guru agama) yang perempuan mainkan dalam jalannya sejarah perkembangan Islam di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Jadi, peran Anini Paputungan dan Satia Paputungan di sabuah, yang pada masanya eksis sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional setempat, itu sesuatu yang luar biasa. Itu termasuk bukti peran keulamaan perempuan dalam sejarah Islam di Bolaang Mongondow. Sebuah keping sejarah perempuan yang sepatutnya tidak kita abaikan dalam her-storiography Islam Nusantara. []