Mubadalah.Id– Berikut ini penjelasan terkait hadits dalam perspektif Mubadalah. Hadits secara bahasa berarti berita, tetapi lebih populer sebagai perkataan (qawlun), perbuatan (fi’lun), dan persetujuan (taqrirun) Nabi Muhammad Saw.
Tetapi secara praktis, seringkali hadits digunakan untuk semua catatan yang terekam dalam kitab-kitab hadits, terutama Kitab Enam (Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmudzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah).
Dengan definisi praktis ini, maka kita seringkali menganggap semua catatan tentang para Sahabat radhiyallāhu ‘anhum dan generasi tabi’in (setelah sahabat) juga masuk sebagai hadits, selama tercatat dalam kitab-kitab hadits.
Dari sini, mengapa para ulama hadits juga menyamakan definisi hadits dengan khabar dan atsar, sebagai sesuatu yang diriwayatkan mengenai Nabi Saw, para Sahabat radhiyallāhu ‘anhum dan para tabi’in rahimahumullāh.
Jika mengikuti definisi populer di atas juga, perkataan dan perbuatan para Sahabat radhiyallāhu ‘anhum juga masuk hadits, jika terjadi pada masa Nabi Saw dan dibiarkan tanpa koreksi. Jenis ini yang disebut sebagai persetujuan, atau taqrīr, Nabi Saw.
Melalui konsep taqrīr Nabi Saw ini sekaligus definisi praktis di atas, kitab-kitab hadits sesungguhnya masih sangat terbuka untuk diteliti sebagai pondasi teologi Islam yang otoritatif mengenai kiprah para perempuan awal Islam.
Seorang ulama dan pemikir Mesir, ‘Abd al-Halim Muhammad Abu Syuqqa (1925-1995), memandang kiprah para perempuan awal Islam ini sebagai hadits-hadits praktikal (al-ahādīts al-‘amaliyah al-tathbīqiyyah) tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam Islam.
Melalui konsep al-ahādīts al-‘amaliyah al-tathbīqiyyah ini, pernyataan dan perbuatan para Sahabat perempuan, seperti Khadijah ra, Aishah ra, Umm Haram ra, Nusaibah bt Ka’b ra, Umm Salamah ra, Asma bt Abi Bakr ra, dan yang lain bisa dianggap sebagai contoh dari petunjuk praktis kenabian.
Ia bisa menjadi teladan kenabian bagi generasi-generasi Muslim dalam mengembangkan pola relasi laki-laki dan perempuan.
Melalui konsep ini juga, terbuka lebar kerja-kerja Hadits untuk penguatan relasi kemitraan, kerjasama, dan kesalingan antara laki-laki dan perempuan. Karena selama ini, pengetahuan yang mainstream mengenai perempuan awal Islam, lebih suram, hanya terlibat pada kerja-kerja domestik, dan lebih banyak dideskripsikan sebagai sumber godaan (fitnah), kurang akal dan agama.
Bisa saja, disusun ulang tema-tema Hadits agar menjadi lebih tegas dan jelas dalam mendeskripsikan ragam kehidupan dan aktivitas perempuan pada masa kenabian.
Ada banyak tema tentang karakter, kondisi, dan aktivitas perempuan pada masa itu, di dalam rumah tangga dan di ruang-ruang publik. Ada tema tentang kepintaran perempuan, keikhlasan, ketekunan, keikutsertaan dalam hijrah dan jihad, belajar, bekerja, mengelola rumah tangga, dan bahkan menafkahi keluarga.
Semua pengalaman perempuan pada masa Nabi Saw, jika dieksplorasi lebih lanjut bisa menjai fiqh tersendiri yang lebih menyuarakan jati diri dan karakter perempuan.
Penyusunan ulang tema-tema hadits juga bisa dilakukan menggunakan skema perspektif mubadalah. Penyusunan dimulai dari hadits-hadits yang eksplisit (manthūq) mengenai kemitraan dan kerjasama relasi (tashrīh al-musyarākah) dan yang menyebut secara eksplisit laki-laki dan perempuan (tashrīh al-jinsyan) sebagai pondasi untuk memaknai teks-teks yang implisit dari sisi kerjasama dan kemitraan.
Dengan tema-tema yang tersusun ulang ini, akan lebih terlihat jelas deskripsi teologis Islam, melalui hadits-hadits, mengenai relasi kemitraan dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan, baik dalam ranah domestik, maupun publik.
Sehingga, kerja-kerja pemberdayaan perempuan dan keadilan relasi menjadi lebih kuat basis teologisnya, dengan merujuk pada teks-teks hadits, di samping pada ayat-ayat al-Qur’an.
Demikian penjelasan terkait hadits dalam perspektif Mubadalah. Semoga keterangan hadits dalam perspektif Mubadalah ini memberikan manfaat. []