Mubadalah.id – Perempuan dan politik dulu menjadi stigma yang buruk di tengah masyarakat. Perempuan yang terjun di ranah politik seolah menyalahi kodratnya sebagai seorang perempuan. Namun kini, seiring berkembangnya zaman dan luasnya pengetahuan masyarakat. Sedikit demi sedikit, pelan tapi pasti pemerintah mulai mengubah kebijakan untuk andil perempuan dalam ranah politik.
Berbicara masalah politik, jelang pemilu yang akan dilaksanakan 2024 mendatang, situasi politik di Indonesia semakin seru. Pasalnya, banyaknya plot twist yang muncul tidak terduga. Seperti perubahan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) mengenai ketentuan umur cawapres (Calon Wakil Presiden).
Pun hal-hal yang tak terduga yang muncul dari Bapak Jokowi. Hal tersebut menarik perhatian masyarakat. Sehingga masyarakat juga semakin kritis terhadap capres (Calon Presiden) dan cawapres yang mencalonkan diri.
Tentu, hal tersebut merupakan kemajuan yang baik di bidang politik Indonesia. Seluruh kalangan masyarakat turut berpartisipasi dalam mengkritisi capres dan cawapres 2024 mendatang. Namun dari angle lain, apakah perempuan juga telah diberikan hak dan ruang yang sama dalam berpartisipasi di ranah politik?
Bagaimana kuota politik bagi perempuan?
Pemerintah semakin menyempurnakan affirmative action terhadap perempuan dalam bidang politik dari waktu ke waktu. Affirmative action ini memberikan kuota minimal 30% bagi perempuan untuk berpolitik baik dalam partai politik maupun parlemen.
Salah satu contoh upaya afirmasi dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen adalah dengan menerapkan zipper system dalam pencalonan. Yaitu penerapan kuota minimal 30% untuk calon legislatif perempuan pada Pemilu. Dalam hal ini, affirmative action merupakan tindakan afirmasi melalui sarana atau cara yang memberikan kuota ruang khusus bagi perempuan untuk berpolitik. Sayangnya, pemberian kuota 30% tersebut masih sulit terpenuhi.
Kenapa masih sedikit?
Kuota politik perempuan masih terhitung sedikit. Banyak faktor external yang mempengaruhi rendahnya partisipasi perempuan dalam ranah politik. Sehingga masih terhitung sulit untuk memenuhi kuota 30% tersebut. Selain itu, kurangnya dukungan dari partai politik maupun seluruh elemen masyarakat terhadap perempuan menjadi kendalanya.
Budaya patriarki yang masih mendarah daging di Indonesia juga menjadi salah satu penghambat terbesar. Persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan cenderung membatasi peran perempuan pada urusan rumah tangga. Teks-teks agama yang terkesan patriarki semakin memberikan pressure kepada perempuan. Sehingga perempuan tidak berani terjun dalam ranah politik.
Bolehkah perempuan terjun dalam ranah politik?
Pada dasarnya Allah SWT memberikan hak yang sama baik pada laiki-laki maupun perempuan. Allah SWT mengkaruniai perempuan akal, Allah SWT juga memberi mandat kepada perempuan sebagai khilafah di bumi. Lantas mengapa keberadaan perempuan di ruang publik dan politik masih dimarginalisasi?
Laki-laki dan perempuan keduanya adalah subjek yang setara dalam pandangan agama. Termasuk dalam kaidah tentang kemaslahatan publik. Kaidah fiqh mengenai kemaslahatan publik tersebut berbunyi “tasharruf al-imām ‘alā al-ra’iyyah manūthun bi al-maslahah”.
Sebagaimana laki-laki, perempuan pun seharusnya berhak mendapatkan manfaat atau kemaslahatan darinya. Menurut Faqihuddin Abdul Kodir, pernyataan tersebut dapat berarti bahwa, kemaslahatan dan keadilan publik tidak akan benar-benar terwujud, tanpa adanya campur tangan perempuan di dalamnya.
Tinjauan ulang hadis Nabi yang melarang kepemimpinan perempuan
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ أَبِى بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِى اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَيَّامَ الْجَمَلِ ، بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
Artinya, “Dari Utsman bin Haitsam dari Auf dari Hasan dari Abi Bakrah berkata: ‘Allah memberikan manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat yang kudengar dari Rasulullah SAW pada hari menjelang Perang Jamal, setelah aku hampir membenarkan mereka (Ashabul Jamal) dan berperang bersama mereka. Ketika sampai kabar kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, beliau bersabda ‘Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.’’ (HR Al-Bukhari).
Hadis tersebut seringkali digadang-gadang sebagai hadis yang melarang perempuan menjadi seorang pemimpin. Padahal apabila kita mau meninjau ulang hadis tersebut lebih dalam lagi, hadis tersebut tidak bermaksud demikian.
Menurut salah satu aktivis perempuan mesir, Hibah Rauf ‘Izzat hadis tersebut tidak sedang mengharamkan kepemimpinan perempuan. Tapi lebih pada pandangan ke depan bahwa Kekaisaran Persia akan hancur, di tangan pemimpin barunya yang kebetulan seorang perempuan.
Saat Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk menemui Kekaisaran Persia, mereka menunjukkan sifat angkuh dan tidak hormat. Mereka merobek-robek surat pemberian Rasulullah SAW. Serta mereka mengusir delegasi Rasulullah SAW secara tidah hormat.
Dengan alasan tersebutlah, Rasulllah SAW meramalkan kehancuran Kekaisaran Persia di masa mendatang. Hal tersebut pun benar adanya, beberapa saat kemudian seorang perempuan yang masih belia, lemah dan tidak memiliki dukungan politik yang kuat memimpin Kekaisaran Persia. Sehingga Kekaisaran Persia hancur dengan sendirinya.
Kepemimpinan perempuan menurut Faqihuddin Abdul Kodir
Islam tidak melarang perempuan menjadi pemimpin. Menurut Faqihuddin Abdul Kodir, selagi memiliki kapasitas, kemampuan dan harta yang cukup, maka tidak ada yang salah saat perempuan ingin ikut andil dalam menolong orang-orang yang lemah dan tidak berkecukupan. Karena hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab dia. Apabila dengan menjadi pemimpin menjadi sarana bagi perempuan untuk melakukan kebaikan-kebaikan tersebut, maka justru sangat dianjurkan.
Sama halnya dengan laki-laki, perempuan juga memiliki hak dan kewajiban sebagai seorang hamba yang setara. Menurut Faqihuddin Abdul Kodir hadis tersebut pada dasarnya tidak merujuk pada perintah bahwa kepemimpinan harus pada laki-laki. Namun, apabila kita membaca ulang hadis tersebut secara seksama, pada dasarnya hadis tersebut lebih mengarah pada tanggung jawab dari seorang pemimpin.
Bagaimana cara menjadi pemimpin yang mubadalah?
Merujuk pada buku Qira’ah Mubadalah karya Faqihuddin Abdul Kodir. Pemimpin yang mubadalah adalah pemimpin yang menjunjung tinggi nilai kerja sama, kebersamaan, kepercayaan, dan apresiasi. Bukan mereka yang mengedepankan autoritarianisme, kekuasaan, hegemoni dan ketakutan.
Kepemimpinan yang bersifat mubadalah adalah kepemimpinan yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi semua kalangan manyarakat, apalagi untuk masyarakat yang lemah dan tertindas.
Maslahah ‘ammah harus menjadi pondasi utama pada tiap kepemimpinan. Yakni kepemimpinan yang memastikan berjalannya kebijakan-kebijakan publik yang mengedepankan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh elemen masyarakat. Khususnya pada mereka yang kekurangan, termarginalisasi, lemah dan terabaikan.
Dengan begitu, politik sangat membutuhkan perempuan di dalamnya. Sebab dalam implementasi keadilan dan kesejahteraan, masyarakat memerlukan perspektif dari kaca mata perempuan.
Teks agama seharusnya dipandang secara positif bahwa laki-laki maupun perempuan sejatinya setara dalam ranah publik. Sehingga tidak ada lagi argumentasi yang mendeligitimasi kepemimpinan perempuan di ranah publik. Dengan begitu perempuan bebas dan berani mengekspresikan dirinya. []