Mubadalah.id – Ketika perempuan memasuki dunia pekerjaan, interview pertama yang menjadi pertanyaan adalah “bagaimana Anda bisa membagi waktu antara bekerja dan mengurus keluarga?” Sedangkan pertanyaan klise semacam itu tidak pernah ditanyakan kepada laki-laki. Mengurus keluarga secara makna dalam konstruksi sosial berdenotasi sebagai tugas pengasuhan anak, keluarga dan beban kerja domestik.
Seolah tanggung jawab domestik dan pengasuhan adalah tugas mutlak seorang perempuan. Aku pernah bertanya “siapa sih yang buat aturan bahwa dapur itu tugasnya perempuan?” Kecenderungan konstruksi gender yang terbentuk antara maskulin (kuat) sebagai hal yang harus ada pada laki-laki dan feminin sifat lemah lembut yang melekat pada sifat perempuan.
Memberatkan tanggung jawab domestik yang selama ini cenderung tidak bernilai, mudah dan aman sebagai tanggung jawab perempuan. Sedangkan ranah publik yang katanya berat bernilai dan berisiko harus menjadi tugasnya laki-laki.
Beban kerja domestik pada perempuan
Kalaupun perempuan ingin atau harus terlibat dalam kerja-kerja produksi atau publik. Maka tak jarang ada pandangan masyarakat bahkan dari perempuan sendiri untuk tidak boleh melupakan kerja domestik. “sesibuk apapun di luar, tanggung jawab rumah tak boleh lupa”. Setidaknya itu menjadi kalimat pertama dari ibu-ibu kompleks yang kadang suka julid dengan tetangganya.
Sudah lumrah rasanya jika pandangan terhadap perempuan bekerja di luar rumah, juga harus tetap bertanggung jawab untuk kerja-kerja domestik. Bukannya mendapat apresiasi, pandangan misiogonis akan tetap lekat dengan perempuan. dengan berbagai pesan untuk tetap bisa menyelesaikan keduanya dengan baik, namun harus tetap mengutamakan tugas rumah.
Perempuan akan selalu menjadi subjek utama yang salah jika terjadi permasalahan dalam rumah tangganya. “pantas saja suaminya selingkuh dia hanya sibuk bekerja”, “sibuk kerja, anaknya tidak terurus” , “pantas saja anaknya nakal, ibunya kurang perhatian sih” dan berbagai kalimat lainnya yang menyalahkan peran perempuan.
Tidak jarang penggunaan dalil-dalil agama untuk mempertegas tanggung jawab perempuan dalam rumah tangga terutama menjadi pelayan bagi suami dan keluarga. Bahkan anggapan tempat terbaik bagi perempuan adalah di rumah, jika ingin mendapat label perempuan mulia.
Jika kita amati dari kaca mata awam, hal ini menjadi fenomena biasa bahkan mungkin memang begitu seharusnya. Padahal kenyataannya ini adalah persoalan ketimpangan gender yang terjadi pada perempuan yang mana beban ganda adalah ketimpangan yang tidak masyarakat sadari.
Secara alamiah alam bawah sadar yang telah terbentuk berabad-abad lamanya dalam membedakan peran dan tugas perempuan dan laki-laki. Fakta ini menjadikan ketidakadilan gender secara tidak sadar sebagai suatu hal yang normal. Normal jika peran perempuan sebaiknya di rumah saja dan normal ketika hanya laki-laki yang boleh bekerja di luar rumah alias pencari nafkah. Justru menjadi tidak normal jika tidak sesuai dengan cara pandang masyarakat (konstruksi sosial) yang telah terbentuk.
Konstruksi sosial terhadap peran laki-laki dan perempuan
Cara pandang semacam ini, tentu saja tidak hanya merugikan perempuan saja, tetapi juga merugikan laki-laki jika tidak mampu memenuhi harapan dari konstruksi sosial yang ada. Laki-laki yang tidak bekerja akan mengalami subordinasi sebagai orang yang lemah, tidak bertanggung jawab hingga tidak pantas di hargai.
Tak jarang laki-laki yang turut membantu pekerjaan domestik atau bahkan turut serta mengurus anak mendapat anggapan sebagai suami yang takut istri bagi mereka yang sudah menikah.
Dalam relasi rumah tangga yang cenderung patriarkis, ketidakikutsertaan laki-laki dalam kerja domestik dan mengurus anak adalah hal yang normal. Dan nilai seorang laki-laki ditentukan oleh kerja dan penghasilannya sehingga tanggung jawab mutlak nafkah menjadi beban laki-laki.
Lalu bagaimana dengan perempuan yang harus menjadi penopang ekonomi keluarga? Apa boleh meninggalkan tugas pengasuhan anak untuk mewujudkan peran yang adil gender?
Perlu kita sadari bahwa parenting dan kerja domestik merupakan dua hal yang berbeda. Parenting merupakan pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap anaknya. Yang nanti akan mempengaruhi pola perilaku dan cara hidup seorang anak. Sedangkan kerja domestik merupakan kerja-kerja rumah tangga yang menjadi penopang dalam parenting dan kerja publik.
Kerja domestik yang mengharuskan perempuan menghabiskan banyak waktu untuk bekerja di rumah, menjadi alasan logis mengapa pengasuhan anak menjadi beban perempuan. Bahkan selama ini perempuan dianggap sebagai madrasah pertama bagi anak sehingga beban dan tanggung jawab mutlak pendidikan anak ada pada perempuan.
Pengasuhan anak dalam konsep mubadalah
Padahal dalam konteks mubadalah, maksud dari madrasah pertama adalah yang paling dekat dengan anak yaitu lingkungan keluarga atau siapapun itu yang dekat dengan anak. Sehingga keluarga adalah madrasah pertama bagi anak.
Tren terbaru mengenai dampak fatherless terhadap psikologi ana menunjukkan bahwa adanya kesadaran akan pentingnya kehadiran ayah dalam pengasuhan anak. Sehingga menjadi tidak tepat jika pengasuhan hanya di bebankan para perempuan saja.
Merujuk pada beberapa pilar penyangga pernikahan dalam mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawadah warahmah yaitu saling belaku baik dan saling bermusyawarah. Maka sikap dan komunikasi yang baik menjadi landasan dasar untuk dalam membina keluarga.
Berbagi peran dalam pengasuhan bukan berarti melimpahkan tugas pengasuhan secara mutlak pada perempuan. Melainkan saling mengambil tanggung jawab sesuai dengan kemampuan tanpa memberatkan salah satu ataupun semua pihak secara adil. Dan hal ini hanya bisa dilakukan melalui bermusyawarah dalam perasaan dan sikap yang baik untuk memperoleh keputusan yang bijak.
Keluarga jelas menjadi lingkungan yang paling dekat dengan anak. Bicara keluarga, maka pengasuhan anak menjadi tugas bersama antara suami dan istri atau laki-laki dan perempuan. Sehingga keduanya harus berpartisipasi aktif dalam memberikan pengasuhan dan mendidik anak.
Jika perempuan yang bekerja di luar rumah juga harus tetap memprioritaskan keluarganya sebagai seorang ibu atau anak. Maka hal yang sama juga berlaku bagi laki-laki untuk tetap berperan dalam pengasuhan sebagai ayah.
Dalam pembentukan karakter anak, anak adalah copy paste terbaik dalam mewarisi sifat orang tuanya. Anak akan mengamati bagaimana ayah berelasi dengan Ibunya dan bagaimana Ibu juga berelasi dengan ayahnya. Sehingga saling memperlakukan dengan baik antara suami dan istri dan tidak melempar tanggung jawab berdasarkan jenis kelamin kelak menjadi teladan yang dapat menjadi contoh untuk generasi selanjutnya dalam mewujudkan peradaban yang berkeadilan. []