Mubadalah.id – Tidak bisa dipungkiri, kita memang menyaksikan bahwa secara politik, sejak reformasi digulirkan pada1998, Indonesia telah berhasil mendudukkan perempuan di puncak kepemimpinan politik nasional, sebagai presiden, meski sempat memunculkan kontroversi di kalangan sebagian masyarakat muslim.
Perubahan sistem politik dari sentralisasi ke desentralisasi sebagai produk penting reformasi telah melahirkan ruang yang semakin terbuka. Terutama bagi tampilnya perempuan di tampuk kepemimpinan publik di daerah-daerah.
Kini semakin banyak perempuan menempati posisi pengambil keputusan politik, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Beberapa perempuan menjadi gubernur, bupati, atau wali kota. Serta sejumlah jabatan penting lain, dengan prestasi yang relatif gemilang.
Keputusan affirmative action: kuota 306 kursi bagi perempuan telah berhasil diundangkan, meskipun belum cukup memuaskan dan perlu peningkatan.
Dalam aspek hukum, Indonesia telah merativikasi konvensi CEDAW melalui UU no. 7 tahun 1984 dan sejumlah ratifikasi konvensi dan kovenan internasional lainnya.
Kemudian, ratifikasi-ratifikasi ini telah membawa dampak penting bagi kemajuan kaum perempuan. Dari sini, sejumlah kebijakan publik/politik kemudian berhasil lahir.
Komisi Nasional Perempuan mencatat bahwa dalam sepuluh tahun reformasi, telah dihasilkan 29 kebijakan baru untuk menangani dan menghapuskan kekerasan terhadap perempuan: 11 kebijakan di tingkat nasional, 15 di tingkat daerah, dan 3 di tingkat ASEAN.
Kebijakan-kebijakan publik baru tersebut ialah: 8 undang-undang baru yang menegakkan hak perempuan terkait kekerasan dan diskriminasi: UU HAM (1999), UU No. 11 tahun 2005 tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, UU No. 12 tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, UU Pengadilan HAM
(2000), UU Penghapusan KDRT (2004), UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (2006), UU Perlindungan Anak (2002). UU Penempatan dan Perlindungan TKI ke Luar Negeri (2004), dan UU Perlindungan Saksi & Korban (2006).
Selain itu, terdapat 2 kebijakan presiden tentang pengarusutamaan gender (2000). Dan pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau “Komnas Perempuan” (1998). Satu putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan uji materi yang mempermasalahkan pembatasan poligami dalam UU Perkawinan.
Sehingga ditegaskan bahwa asas yang berlaku dalam UU Perkawinan ialah monogami (2007), 14 kebijakan daerah tentang pemberian layanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan di 11 daerah: tingkat provinsi, kabupaten, hingga desa (2002-2006), dan 1 Perda tentang buruh migran yang berperspektif HAM dan gender di Lombok Barat, NTB (2007). []