Mubadalah.id – Perayaan hari ibu menjadi suatu momen sakral yang ditunggu-tunggu oleh anak-anaknya. Biasanya mereka akan berlomba-lomba memberikan hadiah dan kesan terbaik untuk ibunya. Namun sayangnya, hal ini nggak berlaku bagi ibu yang melahirkan anak disabilitas.
Ibu yang melahirkan anak disabilitas, sebagian besar mereka akan mendapatkan cemoohan, diskriminasi, serta stigma negatif yang dilekatkan pada dirinya. Bahkan tidak sedikit, mereka dianggap telah cacat melahirkan anak yang tidak sempurna pada umumnya, disalahkan, dicaci maki, karena tidak bisa menjaga calon bayi yang dikandungnya.
Saya bisa membayangkan betapa beratnya menjadi ibu yang melahirkan anak disabilitas, selain ia harus berjuang untuk merawatnya, ia juga harus kuat menahan semua bentuk stigma negatif kepadanya.
Ya, hal ini seperti yang ibu saya alami, ia harus berjuang untuk itu semua. Ibuku melahirkan anak disibalitas, ia adalah anak terakhir di keluarga kami. Kami biasanya menyebutnya si bungsu.
Untuk menghadapi berbagai stigma negatif yang ia hadapi, ibuku merupakan sosok perempuan yang sangat kuat. Bahkan ia tak gentar untuk terus merawat dengan penuh kasih sayang kepada si bungsu. Ibuku tidak menganggap adikku bukan anak yang kurang, melainkan ia adalah manusia sempurna sama seperti aku dan adikku yang lain.
Cerita Hadirnya Si Bungsu
Perjuangan menjadi seorang Ibu terhadap anak disabilitas tentunya lebih banyak yang dikeluarkan mulai dari tenaga, pikiran, waktu, bahkan biaya yang amat besar. Bermula lahirnya si bungsu, dia dilahirkan di RSUD 45 Kuningan dan diharuskan rawat inap, karena lahir dalam keadaan tak lazim bayi pada umumnya.
Si bungsu lahir dalam keadaan sekujur tubuh yang membiru, zat gula hanya 40%, serta kejang-kejang, dan yang paling mengkhawatirkan lahir dalam keadaan tak bersuara sedikitpun. Hal ini tentunya membuat keluarga terutama ibu khawatir atas keadaan yang ditimpanya, tanpa berpikir panjang si bungsu pun langsung dievakuasi oleh tim medis perawatan khusus ini berlangsung selama lima belas hari dan memakan biaya per-harinya Rp.200.000.
Setelah di cek oleh tim medis serta bantuan alat yang kian canggih, ternyata si bungsu didiagnosa mengalami mikrosefali. Melansir dari halodoc, microsefali merupakan kondisi yang menyebabkan kepala bayi memiliki ukuran tidak normal, bahkan ditandai dengan penyusutan otak yang menyebabkan organ otak tidak berkembang dengan sempurna. Oleh karena itu, hal ini membuat tumbuh kembang si bungsu melambat, mulai dari berbicara, berjalan, hingga berdiri.
Perjuangan Ibu terhadap Si Bungsu
Melihat kondisi yang kian melemah, Ibu pun melakukan cek up pasca lahirnya si bungsu. Ibu melakukannya setiap bulannya guna melihat perkembangan kesehatannya. Tentu saja hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk Ibu, beliau berangkat sendiri dengan berat badan si bungsu yang kian menaik serta tanpa bantuan kursi roda, karena memang si bungsu selalu aktif.
Dengan keadaan sendiri, beliau tetap gigih bersemangat demi kesehatan si bungsu, secara kebetulan memang pada saat itu bapak yang tengah disibukkan pekerjaan di luar kota, sedangkan aku pun pada saat itu masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTS) yang belum mengerti hal-hal yang berkaitan dengan si bungsu, sehingga tidak bisa membantunya.
Dalam jangka waktu 3 tahun, si bungsu terus melakukan cek up, tak hanya itu ia sering di rawat inap juga. Selain melakukan cek up, ibu menyempatkan waktunya untuk mendampingi si bungsu menjalani proses terapi, baik itu terapi berbicara, berjalan, bahkan berdiri. Sampai pada tahap di mana pindah ke RS terdekat yaitu RS Sekar Kamulyan.
Di RS Sekar Kamulyan pun sama melakukan cek up, terapi yang berlangsung selama 4 tahun. Hingga si bungsu mencapai usia 7 tahun. Belum lagi membeli alat bantu bicara seharga Rp. 250.000 serta sepatu khusus penyandang disabilitas seharga Rp. 1.700.000.
Apresiasi terhadap Ibu yang Membesarkan Si Bungsu
Segala upaya telah ibu beserta keluarga lakukan, tak lupa bentuk dukungan dari masyarakat. Bahkan bantuan dari pemerintah bagi Si Bungsu. Hal ini menunjukan bentuk penghormatan bahwasannya baik ibu yang melahirkan serta si bungsu yang ia lahirkan dalam keadaan penyandang disabilitas itu berharga.
Terlebih kejadian ini menjadi pelajaran bagi saya sang kakak, untuk terus mendukung penuh rasa kepedulian kepekaan kasih sayang bagi keduanya. Sehingga tak ada lagi perasaan insecure terhadap yang berbeda dengannya atau bahkan merasa sendirian.
Bagi saya ibu telah sangat hebat melakukan yang terbaik untuk si bungsu, oleh karenanya saya terus mencoba mengapresiasi mulai dari hal-hal terkecil.
Apresiasi yang saya berikan mulai dari afirmasi-afirmasi positif terhadap beliau, mengucapkan terimakasih. Serta dukungan penuh padanya, lalu membersamai selama proses cek up dan terapi berlangsung.
Bentuk apresiasi lain yang aku berikan tentu tidak terlepas dari perkembangan si bungsu, yakni bergantian mengasuhnya, memberi makan atau obat yang ia minum. Bahkan pernah cek up berangkat berdua bersama si bungsu, karena ada hal lain yang perlu ibu selesaikan, dan menyusul. Serta apresiasi yang tak kalah penting bagi ibu ialah untuk terus mendoakannya.
Pandangan Islam dalam Mengapresiasi terhadap Ibu
Mengapresiasi terhadap segala bentuk dukungan terhadap ibu tentunya tidak terlepas dari ajaran Islam, hal ini tercatat dalam QS. Luqman ayat 14 yang berbunyi :
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.”
Dari ayat di atas sangatlah jelas perintah berbuat baik terhadap orang tua, terutama ibu. Karenanya peranan seorang ibu amat berharga, beliau telah berjasa melahirkan anaknya dengan rela mengorbankan jiwa serta raga nya. Dan ini tentunya berlaku terhadap ibu yang melahirkan anak penyandang disabilitas. Beliau berhak atas segala bentuk penghormatan yang diberikan terhadap ibu yang melahirkan anak pada umumnya.
Rasanya tak pantas membeda-bedakan ibu yang melahirkan anak penyandang disabilitas dengan ibu yang melahirkan anak pada umumnya. Karena secara pribadi yang saya rasakan keduanya telah berjasa besar terhadap anaknya. Bahkan dapat saya katakan, ibu yang melahirkan anak penyandang disabilitas adalah ibu yang hebat dan kuat. Karena beliau harus melewati pengalaman yang tak pernah ibu-ibu lain alami.
Oleh karena itu, marilah kita untuk terus mendukung, membersamai terhadap ibu yang melahirkan anak penyandang disabilitas, untuk tidak lagi memberikan stigma negatif pada dirinya.
Pesanku untuk ibu, terima kasih ya telah hadir dan kuat menjalani ini semua dengan kesabaran, ketulusan. Serta keikhlasan yang amat mendalam dari hidupmu, kami sangat menyayangimu. []