Pamflet Halal bi Halal ALIMAT (Gerakan Kesetaraan dan Keadilan Keluarga Indonesia) daring tampak menonjol dibanding beragam acara virtual lain yang hilir-mudik di linimasa media sosial. Pasalnya, acara yang digelar pada Minggu, 14 Juni 2020 pukul 13.00-15.00 WIB itu terkesan sangat inklusif buat kaum jomlo. Di tengah derasnya promosi seminar nikah muda dan poligami yang kerap menempatkan perempuan sebatas sebagai objek. Mulai dari didesak lekas menikah hingga dituntut merelakan dirinya jadi istri kedua, ketiga, atau keempat.
Acara daring itu mengambil tajuk Pembacaan Shalawat Musawah dan Mubaadalah sekaligus Bedah Buku “Memilih Jomblo” karya KH. Husein Muhammad. Dalam buku yang berjudul lengkap Memilih Jomblo (Kisah Para Intelektual Muslim yang Berkarya Sampai Akhir Hayat) itu Kiai Husein menghamparkan kisah hidup para intelektual muslim baik laki-laki maupun perempuan yang memilih membujang sampai akhir hayatnya. Mulai dari intelektual yang namanya mungkin sangat akrab di telinga kita hingga yang kurang akrab.
Mereka berasal dari beragam latar belakang, ada yang muhhadist, sufi, filosof, dan banyak lagi. Seorang muhhadist yang sangat mencintai ilmu, Imam Nawawi atau yang dikenal dengan An-Nawawi Ad-Damasyqiy bahkan tidak sempat memikirkan kenikmatan pernikahan untuk dirinya. Meskipun sejatinya ia bukan menolak syariat nikah atau tidak mau menikah.
Kitab-kitab yang dikarangnya bahkan tidak sedikit yang menyinggung masalah pernikahan. Hanya saja kegigihannya menuntut ilmu menenggelamkan hal-hal yang tidak ada kaitan substantif dengan itu. Walhasil, saat menghadap Sang Pemilik Hidup di usia 45 tahun, ia masih membujang (Ulama Zuhud Sehingga Belum Sempat Menikah, alhikmah.ac.id, 25 Januari 2012).
Menikah itu Pilihan
Dalam pembukaan pemaparannya, Kiai Husein sudah menyatakan sikap spiritual-intelektualnya. Di saat banyak narasi yang mempopulerkan seruan pernikahan bahkan nikah muda dengan landasan Alquran dan hadis, ia menempuh jalan lain. Salah satunya dengan menyusun buku Memilih Jomblo yang juga dikupas dengan pisau analisis teks keislaman dan konteks kehidupan sosial.
Menurut beliau, kita harus membiasakan diri menyampaikan beragam pandangan. Lalu mendialogkannya supaya tidak terjadi praktik saling menyesatkan antara satu golongan dengan golongan lain. Ini sekaligus menjadi bekal bagi kita yang belum membaca bukunya supaya tidak latah menduga Kiai Husein punya visi mempropagandakan gerakan tidak menikah dengan menunggangi kisah-kisah para intelektual muslim di masa silam.
Selain An-Nawawi, ada sufi perempuan masyhur Rabi’ah Al-Adawiyah. Sepeninggal suaminya, ia tidak menikah lagi hingga akhir hidupnya meskipun banyak lelaki saleh datang melamarnya. Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya begitu paripurna, hingga tak satupun lelaki yang berhasil meraih hati ketika menyatakan maksud hendak menikahinya. Sufi perempuan yang dikenal dengan ajaran mahabbah ila Allah itu mengalami mabuk cinta kepada Allah dan ia merasa tidak memerlukan apapun di muka bumi ini, termasuk cinta laki-laki.
Ada cerita menarik saat tiga ulama besar datang melamarnya. Mulanya Rabi’ah menanyakan siapa di antara ketiganya yang paling alim. Saat didapati sebuah nama, ia lantas mengajukan empat pertanyaan yang akan menentukan penerimaan atau penolakannya terhadap lamaran sang ulama.
Mulai dari apakah kematian Rabi’ah membawa ketetapan iman atau tidak, apakah ia mampu menjawab pertanyaan Munkar dan Nakir di dalam kubur, ia termasuk orang yang menerima kitab amal di tangan kanan atau kiri, dan akan tergolong umat yang masuk surga atau neraka.
Hasan Al-Bashri, sang alim ulama itu hanya bisa meminta maaf sembari menyerahkan kepastian jawaban atas hal-hal gaib itu kepada Allah SWT. Respons Rabi’ah atas jawaban Hasan Al-Bashri menggelikan –utamanya bagi saya pribadi yang kadar imannya sangat rentan. “Bagi orang yang sedang kalut memikirkan empat masalah ini, mana ada kesempatan untuk berumah tangga?” (Ketika Tiga Ulama Besar Melamar Rabi’ah al-‘Adawiyah, nu.or.id, 23 Januari 2017).
Demikian halnya dengan apa yang dialami oleh sebagian Perempuan Kepala Keluarga (PEKA) di Indonesia. Nani Zulmirnani, anggota ALIMAT sekaligus pendamping PEKA menceritakan pernikahan-pernikahan mafsadat yang ia temui dalam masyarakat akar rumput.
Sebagian dari PEKA ini memilih menjomblo atau menjanda karena memiliki pengalaman traumatis tentang pernikahan. Setidaknya, lanjut Nani, kurang lebih 70% dari sekitar 13.000 PEKA di Indonesia memiliki pengalaman traumatis terkait kehidupan berumah tangga. Ada pula yang berprinsip tidak menikah lagi karena fokus mengasuh anak dan mempertahankan keberlangsungan keluarganya saat ini.
Alasan Menjomlo
Tidak selalu status jomblo itu disandang oleh orang-orang yang belum menikah. Semisal banyak anak muda usia 20-an yang sering curhat tidak kunjung menemukan jodoh sehingga belum bisa melaksanakan pernikahan. Tetapi lebih jauh dan pelik dari itu.
Jika banyak anak muda yang masih jomblo karena dikendalikan oleh hawa nafsu untuk memiliki pasangan terbaik, indah parasnya, baik budinya, kaya harta, dan lain sebagainya. Jomlo-jomlo di luar kategori ini justru lebih serius permasalahannya. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, data statistik yang dihimpun para aktivis pendamping PEKA merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah perempuan yang menjadi kepala keluarga meningkat drastis.
Apabila sebelumnya status ini disandang perempuan berusia lanjut, kini justru diwarnai oleh perempuan berusia antara 18-25 tahun. Sebagian besar status jomblo yang mereka sandang disebabkan oleh perceraian. Senada, jumlah perempuan kepala keluarga berusia 60-an tahun juga meningkat.
Di tengah pemaparan Nyai Nani Zulminarni yang saya simak dari youtube Cak Masykur, sontak saya mengingat beberapa tetangga yang belum lama ini mengalami perceraian. Dua kasus yang terdekat dari rumah yakni perempuan seusia saya atau sekitar 24 tahun dan kisaran 35 tahun. Padahal sebelum ini, para tetangga melihat dua pasangan suami istri ini baik-baik saja bahkan terkesan sangat harmonis. Namun, kenyataan membuktikan kebalikannya.
Alasan-alasan menjomlo ini senada dengan apa yang disampaikan Kiai Husein dengan merujuk pada kisah-kisah para intelektual muslim di masa silam. Jika banyak anak muda yang masih menjomblo karena kesibukannya menuntut ilmu, bekerja untuk mendalami pengetahuan, membaca dan menulis. Para perempuan kepala keluarga yang menjadi salah satu konsentrasi program ALIMAT menyandang status jomlo karena patah hati atau justru menjadi korban dari pernikahan yang tidak bahagia.
Tantangan Para Jomlo
Baik jomlo karena belum menikah, cerai talak atau cerai mati, semuanya memikul beban yang tidak mudah. Mereka semua mendapat stigma atau pelabelan dari masyarakat atas status tersebut. Belum menikah dianggap perawan atau perjaka tua, menikah lalu bercerai atau ditinggal mati menyandang label janda dan duda. Label yang panjang buntutnya.
Dalam hal ini, seringkali perempuan mendapat tekanan yang lebih berat dibandingkan laki-laki. Misalnya saja, di lingkungan perdesaan tempat saya tinggal, masyarakat masih bisa memaklumi keberadaan perjaka tua dibandingkan dengan perawan tua. Termasuk agenda menggosipkan para janda yang lebih massif gaungnya daripada menyinggung status para duda. Hal ini rupanya bukan tanpa apa.
Pembacaan Nyai Nani Zulminarni terhadap buku Memilih Jomblo (Zoora Book, 2015) menguarkan benang merah antara kondisi saat ini dengan masa silam. Dari kisah-kisah intelektual muslim yang dipaparkan Kiai Husein dalam bukunya, Nyai Nani mendapati simpulan. Rupanya sejak ribuan tahun lalu, dampak menyandang status jomlo antara laki-laki dan perempuan itu berbeda. Lebih berat yang dihadapi perempuan.
Selain stigma yang menyiksa, para perempuan janda juga dihadapkan pada regulasi. Status perkawinan dijadikan sebagai dasar penyaluran program pemerintah. Para janda berusia lanjut biasanya dimasukkan ke dalam Kartu Keluarga (KK) anaknya dikarenakan pengurusan KK pribadi cukup susah regulasinya. Padahal dalam kehidupan sehari-hari, mereka tinggal terpisah. Tidak jarang janda berusia lanjut ini tinggal seorang diri, sementara anaknya berada di jauh.
Di masa pandemi seperti sekarang, para janda lansia ini sangat terdampak sosial-ekonominya. Mereka yang seharusnya layak mendapat bantuan sosial (bansos) dari pemerintah justru tidak bisa mendapatkannya karena namanya masuk ke dalam KK anaknya. Di mana anaknya dianggap tidak layak jadi penerima bansos karena bekerja. Mendapati kenyataan demikian, para perempuan kepala keluarga ini tidak hanya tersisih dari sistem sosial, tetapi juga negara. []