Mubadalah.id – Bagi sebagian besar kelompok dan orang-orang konservatif kerapkali lupa atau melupakan bahwa sistem kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita hari ini telah mengadopsi, sekaligus menerima secara konsensus istilah-istilah dan konsep-konsep asing (barat).
Beberapa di antaranya adalah soal pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), demokrasi, presidensial atau parlementer, dan sebagainya.
Begitu juga Bhinneka Tunggal Ika. Istilah tersebut berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “berbeda-beda, tetapi tetap satu.” Bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam telah lama memanfaatkan konsep-konsep ini untuk menata kehidupan bersama mereka sampai hari ini.
Negara kita juga telah menjalin kerja sama dengan negara-negara asing, terutama Amerika, Eropa, Tiongkok, Korea, Jepang, dan lain-lain. Baik secara politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sebagainya.
Sikap menolak segala hal yang berbau asing atau produk pemikiran asing merupakan sikap yang sama sekali tidak ilmiah sekaligus tidak islami. Sikap tersebut merupakan cara pandang yang mengerdilkan diri sendiri dan menutup kemahaluasan rahmat Tuhan.
Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa Allah Swt memberikan “hikmah” (ilmu pengetahuan) kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan orang yang diberikan hikmah, berarti ia diberi banyak sekali kebaikan (QS. al-Baqarah (2): 269).
Pada masa lampau, ketika dinasti-dinasti Islam berdiri di Baghdad, Andalusia, atau Turki, kaum Muslimin menjalin kerja sama pertukaran ilmu pengetahuan dan kebudayaan dengan bangsa-bangsa asing. Terutama Yunani, India, dan Tiongkok.
Para khalifah mengundang para sarjana, cendekiawan, filsuf, dan para ahli bahasa asing ke istananya untuk menerjemahkan karya-karya intelektual asing itu.
Para khalifah tidak sekadar menjadikan mereka penerjemah kekhalifahan. Tetapi juga mengangkat mereka sebagai penasihat, dokter, dan teman berdiskusi para khalifah serta para pembantunya. []