Mubadalah.id – Menjalani pernikahan sehat tentu menjadi impian setiap individu, hidup bersama pasangan yang merupakan pilihan hati merupakan harapan terbesar. Tinggal bersama pasangan dan melahirkan anak-anak yang hebat dengan membentuk sebuah keluarga kecil. Harapan ini menjadi motivasi setiap kita perempuan untuk segera menikah, bukankah demikian?
Belum lagi tuntutan usia yang menjadi patokan harus segera menikah membuat para perempuan. Tapi tahukah pada zaman sekarang mengapa banyak sekali narasi-narasi yang banyak orang sampaikan khususnya bagi perempuan yang menyampaikan bahwa mereka memilih untuk tidak menikah.
Apakah karena zaman yang kita anggap semakin bebas? Atau karena banyak dari kita sudah melek akan ketimpangan yang sering terjadi di dalam rumah tangga?
Sebelum itu kita wajib sepakat terlebih dahulu bahwa keputusan atau pilihan seseorang memilih untuk menikah atau tidak menikah adalah pilihan pribadi yang sangat kompleks. Di mana hal ini dapat terpengaruhi oleh berbagai faktor yang berbeda setiap individunya.
Di sini saya ingin mengajak teman-teman untuk membicarakan salah satu alasan mendasar mengapa perempuan memilih atau belum untuk segera menikah. Yaitu ketika melihat sosok ibu tidak bahagia dalam pernikahannya.
Pandangan terhadap Pernikahan
Orang tua merupakan guru pertama bagi anak. Di mana lingkungan keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter anak dan mempengaruhi pandangan mereka terhadap pernikahan. Interaksi, nilai-nilai dan pola hubungan yang anak alami dalam keluarga dapat membentuk fondasi mental dan emosional mereka terhadap institusi pernikahan.
Lalu bagaimana jika selama anak tumbuh kembang diiringi dengan ratapan tangis seorang ibu? atau sepanjang hari anak hanya mendengar ungkapan penyesalan dari seorang ibu atas pernikahannya? dan kita juga sering mendengar bahwa banyak dari ibu yang memilih untuk bertahan dalam rumah tangga dengan alasan “demi anak”. Apakah hal tersebut tidak mempengaruhi psikis anak?
Jika anak melihat ibu yang bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia, besar kemungkinan dapat menimbulkan pertentangan internal dalam hal identitas dan nilai. Anak akan kesulitan memahami kontradiksi antara harapan untuk kebahagiaan dan realitas rumah tangga.
Di mana hal itu akan mempengaruhi pandangan mereka tentang komitmen, cinta dan interaksi dalam hubungan, sehingga yang ada hanyalah ketidakbahagiaan dalam keluarga dan mengalami masalah kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi dan lain sebagainya.
Hubungan Ibu dan Anak
Meski tanpa kita jelaskan anak dapat merasakan apa yang ibunya rasakan. Hubungan antara ibu dan anak sering kali tertandai oleh ikatan emosional yang kuat. Di mana anak perempuan cenderung lebih peka terhadap ekspresi emosional dan perasaan ibunya.
Dan pada beberapa kejadian banyak anak yang justru mengikuti pola perilaku dari ibunya. Jika ibunya hanya menerima ketika mengalami ketimpangan, kekerasan, dan ketidakadilan, maka anak akan menganggap bahwa perlakuan tersebut merupakan hal yang wajar dan pola tersebut akan terus berkelanjutan.
Jika sudah demikian siapakah yang harus bertanggung jawab? Tentu saya tidak ingin menyudutkan satu pihak, setiap keluarga pasti memiliki permasalahan, ujian, pola didikan, latar belakang keluarga yang berbeda yang tidak bisa kita samaratakan.
Namun, jika berbicara tentang pernikahan bukan hanya tentang resepsi mewah atau tinggal bersama. Karena setiap pasangan yang memilih untuk menikah akan dihadapkan dengan dinamika yang beragam seperti nilai-nilai keluarga, budaya, lingkungan, dan personalitas individu.
Memahami Esensi Pernikahan
Maka dari itu, sebelum ke jenjang pernikahan penting bagi kita dapat memahami esensi dari setiap pernikahan. Pemenuhan hak atas istri, seperti hak atas hidup yang aman dan bebas dari kekerasan, hak atas kesehatan, hak atas kebebasan berpendapat dan berpartisipasi. Selain itu hak atas perlakuan yang adil dan kesetaraan, hak atas hubungan seksual yang sehat dan saling setuju, hak atas perlakuan hormat dan dihargai.
Jika hak tersebut dapat terpenuhi dalam lingkungan pernikahan, dampaknya dapat menciptakan lingkungan keluarga yang lebih sehat dan positif. Anak akan tumbuh stabil dan penuh cinta sehingga tercipta rasa aman secara emosional bagi perkembangan psikologis dan kesejahteraan bagi anak. Anak akan melihat bahwa relasi sehat itu ada dan menyenangkan.
Dan bagi kita anak yang menjadi korban dari ketidakharmonisan keluarga, atau bagi kita yang ingin menikah. Hal sederhana yang bisa kita lakukan adalah secara perlahan mengubah cara pandang terhadap pernikahan dan menjalin hubungan yang sehat dengan pasangan.
Ada banyak cara yang bisa kita lakukan. Salah satunya adalah mengikuti pendidikan tentang hubungan sehat, mengembangkan keterampilan komunikasi, membuka diri terhadap belajar dan pertumbuhan pribadi lainnya. Meskipun prosesnya tidak sederhana, tapi secara perlahan bisa kita lakukan.
Perlu kita ingat bahwa memiliki anak bukan hanya sebatas memberi makan dan memberikan pendidikan formal, ada kesehatan fisik dan psikis yang akan selalu menjadi tanggung jawab orang tua. []