Mubadalah.id – Secara sederhana, kita ibaratkan negara adalah sebuah organisasi besar yang di dalamnya terdapat banyak struktur organisasi masyarakat. Dari sekian struktur masyarakat yang banyak dalam negara, keluarga sebagai unit terkecil. Sebuah unit yang terbangun di atas perjanjian yang namanya perkawinan atau pernikahan. Meskipun sebagai unit atau organisasi masyarakat terkecil, keluarga memiliki posisi yang utama dalam sebuah negara.
Merujuk hasil penelusuran Quraish Shihab yang telah tertulis dalam buku Membumikan al-Qur’an, ia berkesimpulan bahwa seluruh pakar dari berbagai disiplin ilmu, termasuk pakar agama Islam menyimpulkan bahwa keluarga adalah jiwa masyarakat dan tulang punggungnya.
Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati oleh suara bangsa atau sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangannya, adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa tersebut. Itulah yang menjadi alasan sehingga agama Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pembinaan keluarga, bahkan sebelum terbentuk yang namanya keluarga.
Al-Qur’an Ketika Menyoal tentang Keluarga
Al-Qur’an menganjurkan agar kehidupan keluarga menjadi bahan pemikiran setiap insan dan darinya dapat mengambil pelajaran berharga. Karena Al-Qur’an berpandangan bahwa kehidupan kekeluargaan, di samping menjadi salah satu tanda dari sekian banyak tanda-tanda kebesaran Ilahi, juga merupakan nikmat yang harus dapat dimanfaatkan sekaligus disyukuri.
Penjelasan ini dapat kita renungkan dari ayat ar-Rum: 21.
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”, (QS. Ar-Rum: 21)
Kesiapan Calon Pasangan Sebagai Fondasi Keluarga
Islam melalui syari’atnya, menetapkan sekian banyak petunjuk dan peraturan tentang nilai-nilai filosofi keluarga. Petunjuk dan peraturan ini dalam rangka membentuk kehidupan keluarga yang harmonis, agar unit kecil dari suatu negara ini menjalankan fungsinya dengan baik.
Hal ini penting sekali mengingat kehidupan dalam keluarga yang bagi Quraish Shihab sebagai satu bangunan. Demi terpeliharanya bangunan itu dari hantaman badai dan goncangan gempa, maka ia harus berdiri tegak di atas satu fondasi yang kuat dengan bahan bangunan yang kokoh serta jalinan perekat yang lengket. Fondasi kehidupan kekeluargaan adalah ajaran agama, serta dengan kesiapan fisik dan mental para calon pasangan.
Bagi yang belum siap fisik, mental dan keuangannya, baginya Islam menganjurkan untuk bersabar dan tetap memelihara kesucian diri, agar tidak terjerumus kelembah-hinaan. Sedangkan bagi yang sudah mampu fisik dan mental serta keuangannya, Islam menganjurkan untuk menikah. Sebagaimana dalam suatu riwayat hadis, Nabi Muhammad pernah mengatakan:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وجاءٌ
“Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah lebih mampu menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa saja yang tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa. Karena puasa bisa menjadi tameng syahwat baginya” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Hak Kewajiban Perekat Hubungan Suami Isteri
Itulah gambaran dari kekuatan fondasi dan filosofi keluarga. Sedangkan kekokohan bahan-bahan bangunannya tercermin antara lain dalam kewajiban memperhatikan buah perkawinan itu. Yakni memperhatikan terhadap anak-anak sejak masih dalam kandungan sampai dewasa. Tujuannya tidak lain untuk menciptakan generasi yang berakhlak mulia.
Adapun jalinan perekat bagi bangunan keluarga menurut Quraish Shihab adalah hak dan kewajiban yang disyariatkan Allah terhadap suami dan isteri serta anak-anaknya. Hak dan kewajiban serta peraturan yang ditetapkan tidak lain memiliki tujuan untuk menciptakan keharmonisan dalam hidup berumah tangga yang pada akhirnya menciptakan suasana aman, bahagia dan sejahtera bagi seluruh masyarakat bangsa.
Menariknya, dalam al-Qur’an menamakan satu komunitas sebagai umat (al-ummah) dan menamakan ibu yang melahirkan anak keturunan sebagai umm (ibu). Kedua kata tersebut memiliki akar kata yang sama. Ibu yang melahirkan dan pembinaan anak, dan kehidupan rumah tangga merupakan tiang umat, tiang negara dan bangsa.
Sehingga tidak heran, bila kita menjumpai dalam literatur keagamaan terkenal dengan ungkapan al-mar’ah ‘imad al-bilad (perempuan adalah tiang negara). Maka selaras bila ada yang mengatakan al-usrah ‘imad al-bilad biha tahya wa biha tamut (keluarga adalah tiyang negara, dengan keluargalah negara bangkit ataupun runtuh).
Dalam keluarga seperti tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sinilah mereka mempelajari sifat-sifat mulia seperti kesetiaan, rahmat, dan kasih sayang. Dari kehidupan keluarga, seorang bapak memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya dan membahagiakan mereka pada saat dan setelah kematiannya.
Keluarga Sehat, Negara Kuat
Suatu keluarga tidak akan hidup tenang dan bahagia tanpa adanya suatu peraturan, kendali dan disiplin yang tinggi, begitu juga suatu negara. Kepincangan dalam menerapkan peraturan akan mengakibatkan kepincangan dalam kehidupan.
Keluarga sebagai unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat lagi sehat. Selama itu pula masyarakat bangsa akan menjadi sehat dan kuat pula.
Singkatnya, memimpin rumah tangga adalah satu tanggung jawab, demikian juga memimpin negara. Kepemimpinan suatu negara tidak mungkin tercapai apabila pemimpin-pemimpin daerah tidak berjalan searah dengan pimpin pusat.
Kepemimpinan di setiap daerah tidak akan berhasil apabila langkah-langkah keluarga bertentangan dengan kepemimpinan daerah. Demikian terlihat keterkaitan yang erat antara langkah suatu keluarga dengan langkah suatu negara. Karena keluarga tidak lain merupakan tulang punggung suatu bangsa. []