Mubadalah.id – Pada tahun 1872, Victoria Woodhull 34 tahun, seorang aktivis perempuan dari Partai Kesetaraan Hak Amerika berani mencalonkan diri menjadi Presiden. “Sekarang, saya mengumumkan pencalonan saya sebagai Presiden. Pasti akan banyak kritik, tapi saya yakin, ketulusan saya tidak perlu dipertanyakan lagi.” Ujarnya.
Pernyataan itu menggegerkan jagat politik di Amerika, pasalnya, kalimat itu terlontar dari mulut seorang perempuan di kala perempuan Amerika saja belum memiliki hak untuk memilih dalam pemilihan umum.
Meski ia kalah dalam pertarungan itu, namun langkahnya diikuti oleh kurang lebih 200 perempuan lain yang berani tampil untuk mencalonkan diri menjadi presiden. Hasilnya tetap nihil. Hingga kini Amerika Serikat belum pernah memiliki presiden perempuan.
Calon Presiden Perempuan di Indonesia
Tahun 1955, Indonesia menggelar Pemilihan Umum untuk pertama kalinnya. Hingga tahun 2001, baru pertama kali ada seorang presiden perempuan bernama Megawati Soekarnoputri. Dia menjadi Wakil Presiden ketika presiden Abdurrahman Wahid dilengserkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Maka secara otomatis ia didaulat untuk menggantikannya menjadi presiden ke 5 saat itu.
Megawati juga menjadi calon presiden perempuan pertama yang kalah dalam pemilihan presiden secara langsung tahun 2004. Dalam beberapa kali pemilihan umum hingga tahun 2024, belum ada lagi calon presiden perempuan lagi yang berani maju dalam pemilihan presiden.
Padahal peluang itu ada. Menurut kalkulasi lembaga survei, para perempuan ini potensial untuk maju sebagai calon presiden, antara lain; Susi Pudjiastuti, Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini, Sri Mulyani, Puan Maharani. Rekam jejak mereka dalam memimpin sudah banyak diketahui oleh rakyat Indonesia.
Penilaian terhadap potensi itu memang tidak muncul dari diri para perempuan itu sendiri. Mereka bersikap pasif. Lembaga-lembaga survei lah yang lebih aktif menyuarakan peluang mereka. Saya tidak tahu persis kendalannya.
Dugaan saya, mereka kurang percaya diri, atau malas bertarung melawan para kandidat lali-laki yang lebih agresif dalam mempromosikan diri. Mereka kalah gesit dengan para lelaki yang aktif bergerilya melobi para pimpinan partai politik. Akhirnya peluang para perempuan itu meredup secara perlahan hingga terlupakan.
Dinamika Pencalonan Perempuan
Dalam dinamika politik pencalonan perempuan untuk menjadi calon presiden, saya bisa memahami kegundahan Neni Nur Hayati, Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia. Menurutnya, ketiadaan calon presiden perempuan adalah sebuah paradoks. Bayangkan, ada banyak calon perempuan yang potensial, cakap dan mumpuni.
Tingkat partisipasi perempuan bisa menembus angka 102,58 juta dari 204,81 juta, lebih dari 50 %. Dalam pandangannya, gagasan, innovasi dan terobosan yang perempuan ajukan untuk menjawab permasalahan kebangsaan ini tidak kalah bagus. Kehadiran mereka bisa menyempurnakan inklusivitas pemilu. Selama ini banyak perkara yang tidak bisa tersuarakan karena para perempuan tidak bisa hadir secara langsung.
Saya mengamini pendapat Teh Neni, bahwa kualitas demokrasi tidak cukup hanya diukur dengan perhelatan elektoral rutin lima tahunan. Sistem politik yang sehat harus kita bangun dengan penerapan prinsip kebebasan, keadilan dan kesetaraan untuk semua orang.
Kehadiran calon presiden perempuan yang memiliki rekam jejak kepemimpinan baik dan berintegritas akan mampu meningkatkan kualitas demokrasi. Menghadirkan representasi calon presiden perempuan tidak hanya untuk menggugurkan syarat administrasi, tetapi juga untuk menghadirkan kekuatan penyeimbang, sehingga praktik control and balance dalam mengelola kekuasaan bisa terwujud.
Melawan Budaya Patriarki
Konstitusi Indonesia membebaskan semua warga negara untuk maju menjadi calon presiden. Secara norma, perbedaan jenis kelamin bagi calon bukanlah kendala. Namun demikian, dalam praktiknya, sungguh tidak mudah bagi seorang perempuan untuk maju sebagai calon presiden. Mereka harus melalui jalan terjal dan berliku mulai dari saat menghadapi dinamika di internal partai politik.
Jika secara aturan tidak ada larangan, lalu di mana letak persoalan dasarnya? Salah satunya ada pada budaya politik yang mengesankan bahwa politik adalah domain laki-laki. Pandangan keliru itu berdampak pada trust alias rasa percaya banyak pihak, sehingga mampu memengaruhi proses penjaringan dan pilihan politik dalam Pemilu.
Mengapa budaya itu masih tetap ada? Mungkin juga terpengaruhi oleh pemahaman agama. Banyak orang meyakini bahwa berdasarkan pemahaman ajaran agamanya, seorang perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Saya membebaskan siapapun untuk meyakini ajaran agama sesuai yang pemahaman masing-masing.
Faktor lain terkait dengan fakta tentang kuantitas kepemimpinan perempuan dalam sejarah kekuasaan negara. Jumlah pemimpin tertinggi perempuan memang belum banyak. Dari data yang terhimpun, sejarah kepemimpinan negara masih didominasi oleh laki-laki. Saat ini, baru ada 13 negara dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang memiliki kepala pemerintahannya seorang perempuan.
Semoga Ada Calon Presiden Perempuan di Pemilu 2029
Ketika budaya politik yang bias laki-laki itu kita akui sebagai kendala, maka perlu ada upaya efektif untuk mengikisnya. Para pemimpin perempuan pada level apapun harus mempu membuktikan diri bahwa kualitas kepemimpinan yang baik dan amanah itu tidak bergantung pada jenis kelamin. Mitos bahwa perempuan itu lemah karena lebih memilih bermain dengan perasaan, bisa kita patahkan dengan praktik kepemimpinan yang sebaliknya.
Para perempuan Indonesia tidak perlu merengek meminta peluang. Karena peluang itu tidak pernah hilang. Mereka hanya perlu bekerja keras untuk mematahkan mitos-mitos yang sangat merugikan perempuan. Mengelola kepemimpinan pemerintahan adalah perkara ketrampilan interpersonal dalam membangun hubungan dan kerjasama dengan para pihak sehingga mampu menghasilkan kemaslahatan bagi warga yang dipimpinnya.
Dalam hal ini, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki kekuatan dan kelemahan. Garis pembedannya ada pada bangunan watak, karakter, kebiasaan sehari-hari dan hasil akhir, bukan pada perbedaan jenis kelamin. Kesempatan harus terbuka luas bagi siapapun.
Penilaian kinerja seorang pemimpin harus berdasarkan pada atribusi, bukan pada stereotip yang mengabaikan potensi dan kekuatan seorang pemimpin. Semoga ada calon presiden perempuan yang berani maju pada Pemilu 2029 nanti. Keberanian perempuan untuk mencalonkan itu penting untuk meruntuhkan mitos dan budaya keliru yang sudah ada sejak lama. []