Mubadalah.id – Cerita Ramadan tahun ini rasanya memang tidak terlalu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan rasa-rasanya Ramadan tahun ini datang secara tiba-tiba. Namun ada yang menarik seputar penetapan awal Ramadan yang menjadi awal bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah puasa ini. Di mana awal Ramadan berbarengan juga dengan hari Nyepi umat Hindu di Indonesia.
Pemandangan tarawih di rumah pada saat perayaan Nyepi di Bali menjadi gambaran betapa perbedaan keyakinan bukanlah suatu yang harus nihil terjadi. Namun keberadaanya menjadi spirit untuk saling menabur kebaikan dengan saling memberikan jalan lapang kepada agama masing-masing dalam menjalankan ibadahnya.
Perbedaan penetapan awal bulan puasa antara dua organisasi besar islam di Indonesia yang bersamaan dengan jatuhnya hari Nyepi tentu menjadi momentum yang tak bisa terlewat ceritanya begitu saja. Pastinya akan selalu ada hal menarik untuk dibahas. Termasuk dalam hal toleransi.
Masyarakat Semakin Dewasa Menyikapi
Alih-alih menjadi bahan perdebatan, perbedaan awal bulan Ramadan ini malah menjadi bahan guyonan di media sosial, mulai dari guyonan berupa meme sampai pada konten-konten baper seputar Ramadan. Semua ikut mengacak-acak perut karena kelucuan-kelucuan yang ada di media sosial. Ya begitulah seharusnya, perbedaan tidak perlu menjadi alasan untuk memulai perdebatan, namun seharusnya bisa menjadi hiburan yang bisa dinikmati.
Sudah semakin dewasa masyarakat bersikap menanggapi perbedaan yang tejadi. Tambahan cerita seru yang pernah saya alami sendiri. Beberapa waktu yang lalu salah seorang teman yang beragama Nasrani mengirimi WA. Ucapan selamat beribadah dan do’a agar kami berlimpahkan kesehatan supaya terus bisa menjalankan ibadah puasa. Kata-katanya sungguh mampu membuat senyum ini tersimpul.
“sayang sekali, ia tidak bisa ikut puasa”.
Gumamku dalam hati. Hanya saja kembali lagi pada kesadaran hati bahwa kita harus menghargai apa yang orang lain yakini, karena sejatinya semua agama baik dan selalu mengajarkan pada kebaikan.
Mengingat kebaikan-kebaikan dalam berelasi dengan agama lain, dalam buku “Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat berbeda Agama” karya Kiai Faqih juga menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad saw sendiri mengajarkan melalui teladan yang beliau berikan. Yakni dengan mendo’akan baik kepada pemeluk agama lain.
Bahkan nabi juga tetap menghormati jenazah pemeluk agama yang bebeda. Sehingga akhlak-akhlak yang nabi contohkan tersebut sudah sepatutnya kita teladani.
Pemaksaan dan Kekerasan Bertopeng Agama
Sangat miris memang, jika kemudian kita melihat di media televisi terdapat beberapa warung yang dipaksa tutup hanya karena alasan banyak orang berpuasa. Padahal tidak semua pembeli sedang menjalankan puasa, termasuk terdapat perempuan-perempuan yang sedang haid dan haram untuk menjalankan puasa. Pelaku pemaksaan penutupanpun kadang tak lain juga umat muslim sendiri.
Lebih parah lagi tidak hanya pemaksaan penutupan warung-warung makan semacam itu, sikap intoleransi masyarakat muslim seakan sudah menjadi akhlak beragama. Seperti yang pernah terjadi pada masyarakat Nasrani Gunung kidul, Yogyakarta yang pernah mengalami pengusiran dan pelarangan mendirikan gereja di sana. Cerita sedihnya tertulis juga dalam buku “Mengurai Benang Kusut Intoleransi” karya Agnes Dwi Rusjiyati dkk.
Sedikit cerita, kami sempat menumpang salat di rumah yang bergandengan dengan gereja itu. Sikap hangat dari pemilik rumah yang merupakan keluarga Nasrani amat lekat dalam ingatan kami. Namun tak bisa memungkiri apa yang terjadi, masih banyak juga terjadi pemaksaan dan kekerasan atas nama agama di tempat-tempat lain.
Umat muslim terlibat perusakan gereja dan bahkan persekusi terhadap masjid ataupun musala yang memiliki paham berbeda. Lantas dimanakah toleransi?
Kembali pada gambaran masyarakat dewasa ini yang menjadikan perbedaan sebagai candaan, semoga saja yang kami lihat terkait pemaksaan dan persekusi atas nama agama adalah gambaran intoleransi yang sudah terjadi dan kami harap tidak akan terulang lagi. []