Mubadalah.id – Pada zaman yang serba modern dan canggih di saat manusia seharusnya sudah memiliki pemikiran yang lebih terbuka, ternyata masih terdapat sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa pendidikan adalah hambatan menuju pernikahan, tidak terkecuali di Indonesia. Terlebih pada sebagian keluarga muslim dan keluarga yang budaya patriarkhinya masih mengakar kuat. Kadang muslim dan muslimah jomblo mengalami dilema dalam hidup antara memilih nikah atau melanjutkan sekolah yang lebih tinggi.
Pendidikan dalam hal ini adalah pendidikan formal yang membutuhkan proses dan waktu tertentu sesuai dengan level dan bidang studi yang diminati. Pernikahan dimaknai sebagai tahap akhir dan paling ditunggu dalam proses kehidupan manusia, terutama bagi perempuan.
Budaya patriarkhi mewarisi pola pikir subordinat dalam masyarakat kita yang membuat perempuan menjadi pihak yang memiliki banyak keterbatasan gerak, termasuk dalam bidang pendidikan.
Perempuan-perempuan yang kemudian memilih jalan untuk fokus terhadap pendidikan tinggi dan terlihat mengabaikan urusan pernikahan banyak dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki tujuan hidup.
Pernikahan dianggap sebagai pencapaian tertinggi perempuan. Tidak peduli sebanyak apapun prestasi dan pencapaian seorang perempuan dalam bidang pendidikan dan karir, jika masih lajang, belum menikah, prestasi mereka tidak ada artinya.
Status lajang pun dijadikan alat ‘serangan balik’ orang-orang yang mungkin iri terhadap pencapaian para perempuan berpendidikan.
Dalam Islam sendiri, menuntut ilmu hukumnya wajib. Sebagai muslim, apalagi yang pernah nyantri, seharusnya sudah seringkali mendengar hadits “tholabul ilmi faridlotun ‘alaa kulli muslimin wa muslimat“.
Hadits ini mewajibkan menuntut ilmu –baik itu ilmu diin maupun ilmu haal—bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan. Sementara pernikahan hukum asalnya adalah mubah. Pendidikan formal tentunya menjadi salah satu cara individu muslim untuk menunaikan kewajiban dalam agama Islam untuk menuntut ilmu.
Sedangkan pernikahan, sebagai suatu hal yang hukum asalnya mubah, seharusnya tidak diposisikan sebagai suatu pencapaian tertinggi, terlebih bagi perempuan. Sebagian masyarakat kita masih berpikir bahwa menikah, punya anak, menjadi istri dan ibu biologis, adalah pencapaian tertinggi bagi perempuan.
Mereka yang masih melajang, setinggi apapun pencapaian dalam karir dan pendidikannya masih dianggap ‘belum apa-apa’ jika belum bersuami – dilanjut dengan ‘jika belum punya anak’—. Stigma perawan tua dan tidak laku siap disematkan bagi mereka yang masih melajang hingga batas umur tertentu.
Konstruksi budaya patriarkhi menyuburkan asumsi bahwa pernikahan menjadi pencapaian tertinggi seorang perempuan. Ini harus diluruskan.
Kalau tidak segera diberantas asumsi jelek ini, perempuan yang masih melajang akan terus ‘diserang’ pertanyaan-pertanyaan absurd yang mengganggu seperti “kapan nikah?”, “Kapan nyusul?” dan pertanyaan basa-basi lain yang begitu menyinggung dan menyakiti.
Status pernikahan yang merupakan hal sakral dan suci tak jarang kemudian menjadi ajang pamer dan kesombongan.
Menurut saya, hal yang lebih mendasar dari dua kutub pilihan pendidikan tinggi atau pernikahan adalah keyakinan terhadap Tuhan. Jika memang kita semua percaya ketentuan Tuhan, tentu tak akan ada lagi stigma yang selama ini dilekatkan pada jomblowers.
Semua jalan hidup kita, pendidikan atau pernikahan merupakan proses yang tidak terlepas dari ketentuan Tuhan. Kita juga tidak tahu pasti sejauh mana ikhtiar seseorang dalam mewujudkan cita-citanya, entah itu pendidikan dan karir yang gemilang atau bertemu dengan jodoh yang ingin dinikahinya.
Oleh karena itu, sebaiknya kita menghindari jenis pertanyaan basa-basi yang justru menyakiti saudara kita sendiri untuk lebih menghargai pilihan hidup seseorang. Dan yang paling penting, agar tidak mencederai keyakinan kita sendiri terhadap ketentuan Tuhan. Sementara kita tahu bahwa perkara jodoh adalah perkara yang sama misteriusnya seperti ajal yang kita tidak tahu entah kapan waktunya datang.[]