Bagi kebanyakan perempuan yang menikah dan hamil anak pertama, kemungkinan untuk mengalami baby blues syndrome dan depresi pasca melahirkan tentu ada. Kemungkinan ini bisa menimpa wanita manapun yang sedang mengalami fase tersebut. Berdasarkan pemaparan dr. Allert Benedicto Ieuan Noya pada laman Alodokter, baby blues syndrome berbeda dengan depresi pasca melahirkan. Baby blues syndrome merupakan sindrom ringan dengan gejala ibu merasa lelah, sedih, dan khawatir terkait cara merawat bayi dengan baik disebabkan terjadinya banyak perubahan setelah melahirkan. Kondisi ini menyebabkan ibu memiliki swing mood, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, bahkan menangis tanpa alasan. 80% ibu yang melahirkan anak pertama mengalami sindrom ini.
Tentunya hal ini sangat berbahaya, karena akan mengganggu kesehatan sang ibu khususnya, baik itu kesehatan fisik maupun psikis, dan juga kesehatan bayi, pasangan, ataupun orang-orang yang berada di sekitar sang ibu pada umumnya. Tidak hanya berbahaya bagi kesehatan ibu dan anak saja, tapi juga keselamatan keduanya. Ibu yang memiliki sindrom atau bahkan depresi pasca melahirkan ini, dapat melakukan hal-hal yang membahayakan bagi dirinya dan bayinya.
Dapat kita flashback kembali beberapa pemberitaan di tanah air, mulai dari penguburan bayi, pembacokan suami, bahkan tragedi gantung diri yang diduga karena kondisi kejiwaan sang ibu pasca melahirkan. Tentunya banyak faktor yang melatar-belakangi hal tersebut, namun kondisi kejiwaan sang ibu pasca melahirkan tentunya menjadi suatu hal yang penting dan harus diperhatikan.
Guna mengantisipasi supaya hal ini tidak terjadi, leluhur kita ternyata telah memikirkan, mempraktekkan, dan membuktikannya tanpa kita sadari. Warisan leluhur yang syarat akan makna ini memiliki banyak manfaat untuk menangkal terjadinya baby blues syndrome ataupun depresi pasca melahirkan yang dialami oleh sang ibu. Tidak hanya dilakukan setelah melahirkan saja, tetapi juga saat sang bayi masih dalam kandungan.
Pada masa Pra melahirkan, atau dengan kata lain saat sang ibu sedang mengandung. Banyak tradisi (ritual, anjuran, dan pantangan) yang dilakukan masyarakat Jawa saat mendapati salah satu perempuan dalam masyarakat atau keluarganya sedang mengandung. Tradisi ini berhubungan erat dengan kesehatan dan keselamatan bagi ibu serta janinnya. Sebut saja ritual empat bulanan, tingkeban (tujuh bulanan), dan juga sembilan bulan (lolos). Tradisi ritual leluhur ini telah dikombinasikan dengan nilai-nilai Agama, sehingga tidak melunturkan nilai-nilai filosofinya.
Dalam ritual tersebut, baik empat bulanan, tingkeban, dan lolos, kita bisa mendapatkan nilai-nilai penting dalam kehidupan. Pertama, tentang bagaimana kita mensyukuri anugerah yang diberikan oleh-Nya melalui rahim seorang wanita. Guna menyampaikan bentuk dari rasa syukur ini diadakanlah ritual-ritual tersebut sebagai sarana untuk melantunkan doa dan harapan yang digantungkan hanya kepada-Nya.
Agar ungkapan syukur dapat diijabah dengan baik, maka diundanglah sanak saudara, kerabat, dan tetangga untuk ikut serta mendoakan atas keselamatan ibu dan janinnya. Dan di sini nilai kedua dapat dirasakan, yakni tentang bagaimana manusia dapat berbagi kebahagiaan dan harapan dengan sesama.
Membahagiakan sesama dengan cara demikian akan meningkatkan rasa bahagia pada ibu hamil. Secara otomatis imunitas fisik dan psikisnyapun meningkat. Dengan demikian sang ibu dapat menjalani masa kehamilannya dengan baik, karena ia akan selalu merasa didukung, didoakan, diharapkan, dan ditemani di masa-masa sulit yang ia alami.
Tradisi lainnya yakni berupa pituo, atau serangkaian anjuran dan pantangan yang hendaknya dilakukan oleh ibu hamil dan suami. Di antaranya ialah anjuran membawa peniti atau gunting, awalnya saya sendiri tidak mengetahui maksud dari anjuran ini, ketika saya mengalaminya kemudian saya pahami, hal ini dimaksudkan agar kedua benda yang memiliki sisi tajam ini dapat membantu sang ibu jika berada dalam bahaya.
Ada pula pantangan atau larangan untuk menyebrang laut, memancing, memburu, membunuh binatang, duduk di depan pintu, merendam pakaian kotor terlalu lama, mbatin, menggaruk perut atau bokong, menjahit, membeli perlengkapan bayi, keluar pada malam hari, memakai tas yang terlilit di leher, dan masih banyak lagi. Adanya pantangan ini umumnya disertakan dengan alasan yang menurut kita tidak masuk akal, ibu tidak boleh mbatin, nanti anaknya suka mbatin, maksudnya ialah agar ibu tidak stress selama kehamilan.
Demikian pula pantangan untuk ayah maupun ibu agar tidak menyebrang lautan, pada zaman dahulu, menyebrang lautan adalah suatu aktivitas yang memakan waktu lama dan bertujuan untuk suatu pekerjaan yang tidak tentu kepan kembalinya, pantangan ini dimaksudkan agar suami senantiasa berada di sisi istri untuk menemani dan menjadi suami siaga.
Sedangkan pantangan membeli peralatan bayi jauh sebelum kelahiran, ya karena pada saat itu USG belum ada, sehingga dikhawatirkan akan mubazir barang-barang yang telah dibeli tadi. Larangan berburu, dan membunuh binatang, sebagai peringatan buat para calon ayah untuk tidak melakukan kekerasan dan perbuatan yang membahayakan bagi dirinya, istrinya, dan calon anaknya.
Singkatnya, adanya larangan-larangan ini dimaksuskan agar calon ayah dan ibu lebih berhati-hati, dan sang ayah senantiasa memberikan dukungan, baik melalui kehadirannya, maupun perbuatan yang dilakukannya. Dengan demikian, sang ibu tentunya akan mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan selama kehamilan.
Pasca melahirkan. Ketika bayi telah dilahirkan, tentunya lebih banyak tradisi yang diberlakukan. Ada ritual marhabaan sejak hari pertama hingga hari ketujuh kelahiran, saweran lepasnya tali pusar, Aqikah, dan ritual lainnya yang dimaksudkan untuk mencari keberkahan dengan melantunkan ayat-ayat suci dan doa. Ritual-ritual ini melibatkan keluarga besar dan masyarakat sekitar.
Semakin banyak yang mendoakan, tentunya ibu, ayah, dan keluarga lainnya merasakan meningkatnya kebahagiaan diri atas anak yang terlahir di keluarganya. Hal ini akan membuat sang ibu bersyukur atas anak yang ia miliki, rasa sayangnya tumbuh, dan segala bentuk kekhawatiranpun akan terminimalisir.
Sebagai bentuk dukungan kepada ibu yang baru melahirkan, tidak cukup mengadakan tradisi ritual saja. Pituo yang berupa anjuran dan larangan juga diberlakukan sesuai keadaan sang ibu. Seperti keharusan memakai stagen, atau bahkan kaki yang diikat. Kelihatan menyiksa memang, namun sekali lagi bisa disesuaikan, hal ini dimaksudkan agar ibu tidak banyak bergerak, agar ia banyak beristirahat, supaya luka atau juga kondisi perutnya lekas membaik.
Pun ada yang ditemani hingga 40 hari pasca melahirkan, sekali lagi hal ini dimaksudkan agar ibu dapat terbiasa dengan kondisi barunya, dapat selalu dipantau kesehatan jiwa dan fisiknya, dapat dipantau juga dibantu untuk merawat dan mengurus bayinya. Adanya tradisi demikian membuat ibu bagaikan dimanja dan diperhatikan banyak orang, sehingga ia tidak akan mendapat tekanan, stress, dan perasaan putus asa pada saat merawat sang bayi.
Tidak hanya sang ibu, sang bayi pun mendapat perhatian khusus dari orang-orang disekitar. Banyaknya orang yang tilik bayi dengan memanjatkan berbagai macam doa dan harapan, membuat bayi bahagia. Sebagaimana hasil penemuan Masaru Emoto tentang keajaiban air, air yang diucapkan kalimat-kalimat baik akan berbentuk Kristal yang indah, sebaliknya, air yang diucapkan kalimat-kalimat buruk cenderung memiliki partikel yang tidak beraturan.
Demikian pula pada manusia (khususnya bayi) yang berat tubuhnya hampir 60-70% dalam tubuhnya merupakan air, hal yang diperdengarkannya akan sangat berpengaruh pada kondisi jiwanya. Bayi yang demikian akan lebih tenang, tidak terlalu rewel, dan hal ini juga akan berpengaruh pada ketenangan sang ibu.
Sebagian orang kerap melihat tradisi-tradisi ini sebagai perbuatan menyekutan Tuhan dan perbuatan Bid’ah, karena tidak terdapat dalilnya dan tidak juga dicontohkan oleh Sang Nabi Akhir Zaman. Penulis tidak ingin fokus pada hal tersebut, yang disoroti pada tulisan ini ialah nilai-nilai yang terdapat di dalamnya.
Pertama, tradisi yang ada menunjukkan tentang Keesaan Tuhan yang Maha Segalanya, Ia yang menciptakan, Ia yang Berkuasa memberikan Kebahagiaan dan Kesengsaraan, Ia tempat untuk berharap dan bergantung, Ia Maha Segala-galanya. Peribadatan yang ditujukan pada Tuhan dibalut dengan kondisi dan budaya masyarakat yang ada.
Budaya merupakan suatu hal yang dilahirkan masyarakat berdasarkan kebutuhan dan senantiasa dilestarikan sebagai identitas kelompok. Selama budaya beserta nilai-nilainya tidak bertentangan dengan syara’, maka budaya tersebut bukanlah suatu hal yang harus dihindari.
Kedua, tradisi yang melibatkan banyak orang memberikan banyak manfaat kepada mereka, baik itu manfaat secara materi dan non materi. Manfaat materi, dengan diadakannya ritual-ritual budaya dan agama, akan melibatkan para penjual bahan makanan, para pemasak, para pengatur acara, para pengisi acara, para tokoh agama, dan lainnya.
Keterlibatan ini mengakibatkan adanya perputaran ekonomi, dengan demikian uang dapat bergerak dan dapat dimanfaatkan masyarakat secara lebih luas. Adapun secara non materi, masyarakat dapat menjalin komunikasi, hubungan sosial, serta bermanfaat bagi sesama. Hal ini tentunya sangat bermanfaat dalam menjalani kehidupan, masyarakat akan memiliki rasa saling memiliki, saling bertanggungjawab, dan saling tolong-menolong. Bukankah manjalin silaturahim atau bersosialisasi bersama masyarakat dengan baik itu menambah umur? (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, tradisi-tradisi yang disebutkan diatas ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan ibu serta bayinya (tradisi yang demikian merupakan pengejawantahan dari maqashid syariah, yakni tentang bagaimana memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, berikut harta yang dimiliki). Dukungan dari orang-orang terkasih, khususnya sang suami, melalui cara-cara yang berlaku di masyarakat dan tidak bertentangan dengan agama tidak lain agar sang ibu terhindarkan dari baby blues syndrom maupun dpresi pasca melahirkan.
Sehingga, fase-fase yang dilalui dalam kehidupan, khususnya berumah –tangga menjadi fase yang bahagia dan membahagiakan tidak hanya bagi suami dan istri, tetapi juga orang-orang di sekitar mereka. Sebagaimana disampaikan oleh Abraham H. Maslow dalam bukunya Motivation and Personality, kebahagiaan, cinta, dan keselamatan merupakan kebutuhan pokok yang pemuasannya memberikan dampak pada kesehatan, sebaliknya justru akan menimbulkan frustasi dan penyakit.
Oleh karena itu, guna mengantisipasi penyakit-penyakit psikis dan fisik agar tidak terjadi pada diri kita dan orang-orang yang kita sayangi, maka tidak ada salahnya kita bersama tetap melestarikan tradisi-tradisi baik beserta nilai-nilainya. Jika bukan kita, siapa lagi yang akan nguri-nguri peninggalan leluhur yang menjadi identitas bangsa?
Tradisi-tradisi dalam tulisan ini, baik berupa perbuatan maupun simbol yang penuh makna, merupakan sarana untuk bertaqarrub dan bersyukur kepada-Nya, tentunya dibalut dengan nilai agama dan budaya lokal sebagai bentuk relasi yang membahagiakan kepada Tuhan dan sesama. Tidak lain agar Ia selalu menambah kenikmatan-kenikmatan yang tiada terkira kepada kita sebagaimana janji-Nya (QS. Ibrahim 7-8). []