• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Rekontekstualisasi Tradisi Pesantren dan Implementasi Pesantren Ramah Anak

Pesantren yang dulu kerap kita gaungkan sebagai tempat paling aman, kini justru dianggap menjadi tempat paling rawan bagi anak. 

Dhonni Dwi Prasetyo Dhonni Dwi Prasetyo
24/10/2024
in Publik
0
Tradisi Pesantren

Tradisi Pesantren

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pesantren merupakan salah satu pilar penyangga pendidikan sentral di Indonesia. Sejak dahulu hingga saat ini. Bahkan masa-masa mendatang, kehadiran pesantren disinyalir senantiasa membawa dampak positif bagi perkembangan dan kemajuan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan agama dan karakter.

Tak hanya itu, secara historis pun, banyak sekali catatan yang menyatakan bahwa pesantren turut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Latar belakang demikian inilah yang kian menjadikan pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan yang semakin tahun agaknya semakin digandrungi masyarakat muslim negeri ini.

Pesantren hari ini kita anggap sebagai opsi lembaga pendidikan paling ideal oleh sebagian masyarakat muslim. Mengingat bahwa pergaulan anak muda zaman sekarang yang makin mengkhawatirkan. Kebanyakan orang tua kini cenderung memilih pesantren sebagai ‘tempat berlindung’ yang aman bagi anak-anaknya.

Sebab, selain menjadi tempat mengenyam ilmu agama, pesantren juga memiliki ‘daya tarik’ tersendiri melalui kemampuannya dalam memberikan proteksi penuh selama 24 jam kepada para anak didik (santri).

Daya Tarik Pesantren

Hal inilah yang membuat para orang tua berbondong-bondong memondokkan putra-putri tercintanya di pondok pesantren. Semata-mata mereka hanya ingin anaknya bertumbuh kembang dengan baik dengan diberikan ‘asupan’ ilmu keagamaan dan pendidikan karakter. Selain itu senantiasa terjaga dari pengaruh-pengaruh negatif dunia luar.

Akan tetapi, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, dunia pesantren yang lazim kita percaya sebagai lembaga pendidikan yang paling ideal bagi anak, justru mengalami ‘guncangan’ yang begitu mengerikan. Bagaimana tidak, telah jamak kita ketahui bahwa saat ini tidak semua pesantren aman bagi anak.

Baca Juga:

Menciptakan Ruang Nyaman Belajar dan Aman dari Perundungan di Pesantren

Santri Gen-Z Memaknai Ulang Semangat Resolusi Jihad

Hari Santri, Kekerasan Seksual dan Harapan Pada Pemerintah Baru

Pesantren Inklusif, Santri Setara: Refleksi Menyambut Hari Santri Nasional 2024

Demikian ini sebab ulah beberapa oknum nakal dari kalangan sebagian pesantren yang ‘tega’ melakukan hal-hal tak terpuji dan jauh dari nilai-nilai kepesantrenan itu sendiri.

Akibat ulah nakal beberapa oknum tersebut, reputasi pesantren terkikis secara general dalam pandangan masyarakat luas. Kepercayaan masyarakat perlahan menurun dan para orang tua akan terhinggapi rasa khawatir. Mereka berpikir dua kali ketika hendak memondokkan anaknya. Pesantren yang dulu kerap kita gaungkan sebagai tempat paling aman, kini justru dianggap menjadi tempat paling rawan bagi anak.

Reputasi Pesantren

Terlepas dari tercemarnya reputasi pesantren akibat ulah oknum nakal pihak pesantren, kita perlu mengetahui tindakan tak terpuji yang mereka lakukan. Paling ‘santer’ mendapatkan sorotan publik akhir-akhir ini ialah tentang kasus perundungan (bullying) dan kekerasan seksual di dalam lingkungan pesantren.

Kasus perundungan di pesantren bukanlah hal normal dan semestinya tidak boleh kita normalisasi. Entah itu kita lakukan dalam ranah relasi horizontal (sesama santri), maupun relasi vertikal (pimpinan pondok melakukan tindakan perundungan kepada santri). Sebab, perundungan dalam wujud apapun itu, entah verbal maupun fisik, adalah perilaku tak terpuji dan jauh dari nilai-nilai kepesantrenan dan kemanusiaan.

Apalagi perihal kasus kekerasan seksual yang oknum pesantren lakukan, baik pengasuh/ pimpinan pesantren, ustadz yang mengajar, maupun lainnya. Adalah hal yang sangat tidak pantas dan memalukan. Mereka yang paham ilmu agama dan kita hormati sebagai guru. Yakni figur teladan yang seharusnya bisa kita gugu dan kita tiru, justru berubah menjadi pelaku perbuatan keji semacam itu.

Dua jenis kasus yang terjadi di lingkungan pesantren tersebut semestinya tidak boleh kita biarkan begitu saja. Sebagai manusia yang dianugerahi hati dan akal pikiran, harus serius menuntut keadilan bagi para korban.

Selain itu mendampingi korban dalam menjalani penyembuhan dari efek trauma berkepanjangan. Kita juga perlu dan mesti menentang keras sekaligus melakukan langkah-langkah preventif. Tujuannya agar tindakan-tindakan tak terpuji semacam itu tak semakin menjamur dan banyak terjadi.

Rekonstekstualisasi Tradisi Pesantren

Dalam hemat penulis pribadi, kita perlu melakukan rekontekstualisasi tradisi pesantren dan mengimplementasikan konsep ‘pesantren ramah anak. Mengapa rekontekstualisasi tradisi pesantren ini perlu kita lakukan?

Sebab tradisi pesantren yang sebenarnya sudah tidak relevan. Bahkan sudah tak boleh lagi kita lakukan, namun masih saja tetap ada dan terus terjadi. Dalam kasus perundungan misalnya, ini erat kaitannya dengan tradisi takziran atau senioritas yang menjadi ciri khas pesantren.

Pada era dulu, mungkin takziran secara fisik adalah hal yang lazim terjadi di pondok pesantren. Namun, saat ini, seharusnya takziran semacam itu tidak perlu kita lakukan lagi. Kita bisa memilih opsi takziran lain yang lebih mendidik bagi para santri tatkala mereka melangggar suatu aturan. Seperti memberikan skorsing, ditakzir membaca wirid tertentu, dan lain sebagainya.

Tradisi Senioritas

Demikian pula dengan tradisi senioritas. Tradisi ini sudah sangat tak patut kita lestarikan di lembaga pendidikan manapun, termasuk pesantren. Mindset yang perlu kita tanamkan pada santri-santri senior adalah membimbing dan mengayomi adik-adik tingkatnya. Bukan malah berperilaku ‘menang-menangan’ seenaknya, apalagi hingga melakukan perundungan kepada mereka.

Kemudian, dalam kasus kekerasan seksual juga misalnya. Ini biasanya terjadi karena adanya mindset sam’an wa ta’atan yang ‘diwajibkan’ oleh pimpinan pesantren kepada para santrinya secara membabi buta. Melalui relasi kuasa sebagai guru, oknum kiai nakal ini mendoktrin para santri agar mau menuruti apapun yang dia katakan, termasuk perihal perbuatan tak senonoh itu.

Bila tidak berkenan, para santri terancam dan dicap sebagai santri yang durhaka kepada guru dan kelak tidak akan berkah ilmunya. Para santri yang takut ancaman dan labelisasi durhaka tersebut pada akhirnya terperdaya.

Kebiasaan culas semacam ini tak boleh kita langgengkan dalam dunia pendidikan pesantren. Demikian ini agar kasus kekerasan seksual tidak semakin menjamur dan banyak terjadi. Maka dari itu, penulis menawarkan beberapa gagasan yang menjadi manifestasi dari konsep “pesantren ramah anak”. Minimal ‘bersih’ dari kasus perundungan dan kekerasan seksual.

Pertama, menggerakkan sosialisasi tentang larangan perundungan dan edukasi seks secara berkala kepada para santri

Tentang perundungan ini, para santri harus kita berikan pemahaman bahwa perbuatan merundung bukanlah budaya santri sehingga tidak boleh kita lakukan dan harus kita putus mata  rantainya.

Tentang kekerasan seksual, para santri kita berikan pemahaman bahwa mematuhi kiai itu ada batasnya, yakni dalam hal baik dan benar. Bila menjumpai  oknum kiai yang mengajak ‘aneh-aneh’, tak wajib kita patuhi, bahkan harus kita laporkan. Supaya implementasi dari sosialisasi efektif, maka kita memerlukan pula kegiatan controlling secara berkala oleh pihak pengawas pesantren (seperti RMI, Ditjen Pontren, dsb).

Kedua, izin pembukaan yayasan pondok pesantren harus lebih ketat dan selektif

Tidak semua orang bisa seenaknya membuka pondok pesantren. Layaknya mendaftar CPNS, seseorang yang ingin membuka yayasan pondok pesantren harus ‘lulus’ berbagai tahapan tes kelayakan terlebih dahulu. Selain itu, yayasan pondok pesantren yang sudah ada juga perlu di-monitoring tentang aktivitas kepesantrenan yang dilaksanakan di dalamnya. Bila tidak sesuai, dicabut saja izinnya dan ditutup selamanya.

Ketiga, keterlibatan peran orang tua dalam mengawal anaknya dalam menempuh pendidikan pesantren

Orang tua harus lebih perhatian kepada anaknya yang sedang belajar di pondok pesantren. Di antara wujud perhatian orang tua ialah dengan selektif memilih pesantren. Sebab, sekali salah dalam menempatkan anak di pesantren abal-abal, bisa saja berakibat fatal.

Demikian ulasan mengenai rekontekstualisasi tradisi pesantren dan implementasi konsep “pesantren ramah anak” era modern sebagai refleksi bagi kita dalam peringatan hari santri nasional tahun ini. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. []

 

 

 

Tags: Hari SantriHari Santri Nasional 2024perundunganPesantren Ramah AnakTradisi Pesantren
Dhonni Dwi Prasetyo

Dhonni Dwi Prasetyo

Alumnus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan, Trangkil, Pati, Jawa Tengah & Alumnus Pendidikan Bahasa Arab Universitas Negeri Semarang

Terkait Posts

Jam Masuk Sekolah

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

7 Juni 2025
Iduladha

Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

7 Juni 2025
Masyarakat Adat

Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

7 Juni 2025
Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Siti Hajar

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

7 Juni 2025
Relasi Kuasa

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

7 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jam Masuk Sekolah

    Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • 7 Langkah yang Dapat Dilakukan Ketika Anda Menjadi Korban KDRT
  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID