Mubadalah.id – Pesantren merupakan salah satu pilar penyangga pendidikan sentral di Indonesia. Sejak dahulu hingga saat ini. Bahkan masa-masa mendatang, kehadiran pesantren disinyalir senantiasa membawa dampak positif bagi perkembangan dan kemajuan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan agama dan karakter.
Tak hanya itu, secara historis pun, banyak sekali catatan yang menyatakan bahwa pesantren turut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Latar belakang demikian inilah yang kian menjadikan pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan yang semakin tahun agaknya semakin digandrungi masyarakat muslim negeri ini.
Pesantren hari ini kita anggap sebagai opsi lembaga pendidikan paling ideal oleh sebagian masyarakat muslim. Mengingat bahwa pergaulan anak muda zaman sekarang yang makin mengkhawatirkan. Kebanyakan orang tua kini cenderung memilih pesantren sebagai ‘tempat berlindung’ yang aman bagi anak-anaknya.
Sebab, selain menjadi tempat mengenyam ilmu agama, pesantren juga memiliki ‘daya tarik’ tersendiri melalui kemampuannya dalam memberikan proteksi penuh selama 24 jam kepada para anak didik (santri).
Daya Tarik Pesantren
Hal inilah yang membuat para orang tua berbondong-bondong memondokkan putra-putri tercintanya di pondok pesantren. Semata-mata mereka hanya ingin anaknya bertumbuh kembang dengan baik dengan diberikan ‘asupan’ ilmu keagamaan dan pendidikan karakter. Selain itu senantiasa terjaga dari pengaruh-pengaruh negatif dunia luar.
Akan tetapi, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, dunia pesantren yang lazim kita percaya sebagai lembaga pendidikan yang paling ideal bagi anak, justru mengalami ‘guncangan’ yang begitu mengerikan. Bagaimana tidak, telah jamak kita ketahui bahwa saat ini tidak semua pesantren aman bagi anak.
Demikian ini sebab ulah beberapa oknum nakal dari kalangan sebagian pesantren yang ‘tega’ melakukan hal-hal tak terpuji dan jauh dari nilai-nilai kepesantrenan itu sendiri.
Akibat ulah nakal beberapa oknum tersebut, reputasi pesantren terkikis secara general dalam pandangan masyarakat luas. Kepercayaan masyarakat perlahan menurun dan para orang tua akan terhinggapi rasa khawatir. Mereka berpikir dua kali ketika hendak memondokkan anaknya. Pesantren yang dulu kerap kita gaungkan sebagai tempat paling aman, kini justru dianggap menjadi tempat paling rawan bagi anak.
Reputasi Pesantren
Terlepas dari tercemarnya reputasi pesantren akibat ulah oknum nakal pihak pesantren, kita perlu mengetahui tindakan tak terpuji yang mereka lakukan. Paling ‘santer’ mendapatkan sorotan publik akhir-akhir ini ialah tentang kasus perundungan (bullying) dan kekerasan seksual di dalam lingkungan pesantren.
Kasus perundungan di pesantren bukanlah hal normal dan semestinya tidak boleh kita normalisasi. Entah itu kita lakukan dalam ranah relasi horizontal (sesama santri), maupun relasi vertikal (pimpinan pondok melakukan tindakan perundungan kepada santri). Sebab, perundungan dalam wujud apapun itu, entah verbal maupun fisik, adalah perilaku tak terpuji dan jauh dari nilai-nilai kepesantrenan dan kemanusiaan.
Apalagi perihal kasus kekerasan seksual yang oknum pesantren lakukan, baik pengasuh/ pimpinan pesantren, ustadz yang mengajar, maupun lainnya. Adalah hal yang sangat tidak pantas dan memalukan. Mereka yang paham ilmu agama dan kita hormati sebagai guru. Yakni figur teladan yang seharusnya bisa kita gugu dan kita tiru, justru berubah menjadi pelaku perbuatan keji semacam itu.
Dua jenis kasus yang terjadi di lingkungan pesantren tersebut semestinya tidak boleh kita biarkan begitu saja. Sebagai manusia yang dianugerahi hati dan akal pikiran, harus serius menuntut keadilan bagi para korban.
Selain itu mendampingi korban dalam menjalani penyembuhan dari efek trauma berkepanjangan. Kita juga perlu dan mesti menentang keras sekaligus melakukan langkah-langkah preventif. Tujuannya agar tindakan-tindakan tak terpuji semacam itu tak semakin menjamur dan banyak terjadi.
Rekonstekstualisasi Tradisi Pesantren
Dalam hemat penulis pribadi, kita perlu melakukan rekontekstualisasi tradisi pesantren dan mengimplementasikan konsep ‘pesantren ramah anak. Mengapa rekontekstualisasi tradisi pesantren ini perlu kita lakukan?
Sebab tradisi pesantren yang sebenarnya sudah tidak relevan. Bahkan sudah tak boleh lagi kita lakukan, namun masih saja tetap ada dan terus terjadi. Dalam kasus perundungan misalnya, ini erat kaitannya dengan tradisi takziran atau senioritas yang menjadi ciri khas pesantren.
Pada era dulu, mungkin takziran secara fisik adalah hal yang lazim terjadi di pondok pesantren. Namun, saat ini, seharusnya takziran semacam itu tidak perlu kita lakukan lagi. Kita bisa memilih opsi takziran lain yang lebih mendidik bagi para santri tatkala mereka melangggar suatu aturan. Seperti memberikan skorsing, ditakzir membaca wirid tertentu, dan lain sebagainya.
Tradisi Senioritas
Demikian pula dengan tradisi senioritas. Tradisi ini sudah sangat tak patut kita lestarikan di lembaga pendidikan manapun, termasuk pesantren. Mindset yang perlu kita tanamkan pada santri-santri senior adalah membimbing dan mengayomi adik-adik tingkatnya. Bukan malah berperilaku ‘menang-menangan’ seenaknya, apalagi hingga melakukan perundungan kepada mereka.
Kemudian, dalam kasus kekerasan seksual juga misalnya. Ini biasanya terjadi karena adanya mindset sam’an wa ta’atan yang ‘diwajibkan’ oleh pimpinan pesantren kepada para santrinya secara membabi buta. Melalui relasi kuasa sebagai guru, oknum kiai nakal ini mendoktrin para santri agar mau menuruti apapun yang dia katakan, termasuk perihal perbuatan tak senonoh itu.
Bila tidak berkenan, para santri terancam dan dicap sebagai santri yang durhaka kepada guru dan kelak tidak akan berkah ilmunya. Para santri yang takut ancaman dan labelisasi durhaka tersebut pada akhirnya terperdaya.
Kebiasaan culas semacam ini tak boleh kita langgengkan dalam dunia pendidikan pesantren. Demikian ini agar kasus kekerasan seksual tidak semakin menjamur dan banyak terjadi. Maka dari itu, penulis menawarkan beberapa gagasan yang menjadi manifestasi dari konsep “pesantren ramah anak”. Minimal ‘bersih’ dari kasus perundungan dan kekerasan seksual.
Pertama, menggerakkan sosialisasi tentang larangan perundungan dan edukasi seks secara berkala kepada para santri
Tentang perundungan ini, para santri harus kita berikan pemahaman bahwa perbuatan merundung bukanlah budaya santri sehingga tidak boleh kita lakukan dan harus kita putus mata rantainya.
Tentang kekerasan seksual, para santri kita berikan pemahaman bahwa mematuhi kiai itu ada batasnya, yakni dalam hal baik dan benar. Bila menjumpai oknum kiai yang mengajak ‘aneh-aneh’, tak wajib kita patuhi, bahkan harus kita laporkan. Supaya implementasi dari sosialisasi efektif, maka kita memerlukan pula kegiatan controlling secara berkala oleh pihak pengawas pesantren (seperti RMI, Ditjen Pontren, dsb).
Kedua, izin pembukaan yayasan pondok pesantren harus lebih ketat dan selektif
Tidak semua orang bisa seenaknya membuka pondok pesantren. Layaknya mendaftar CPNS, seseorang yang ingin membuka yayasan pondok pesantren harus ‘lulus’ berbagai tahapan tes kelayakan terlebih dahulu. Selain itu, yayasan pondok pesantren yang sudah ada juga perlu di-monitoring tentang aktivitas kepesantrenan yang dilaksanakan di dalamnya. Bila tidak sesuai, dicabut saja izinnya dan ditutup selamanya.
Ketiga, keterlibatan peran orang tua dalam mengawal anaknya dalam menempuh pendidikan pesantren
Orang tua harus lebih perhatian kepada anaknya yang sedang belajar di pondok pesantren. Di antara wujud perhatian orang tua ialah dengan selektif memilih pesantren. Sebab, sekali salah dalam menempatkan anak di pesantren abal-abal, bisa saja berakibat fatal.
Demikian ulasan mengenai rekontekstualisasi tradisi pesantren dan implementasi konsep “pesantren ramah anak” era modern sebagai refleksi bagi kita dalam peringatan hari santri nasional tahun ini. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. []