Masyarakat Muslim Indonesia tentunya tidak asing lagi mendengar nama sufi agung yang menjadi gurunya para jin dan manusia ini, Syekh Abdul Qadir Al-Jaylani, pendiri tarekat Qadiriyah yang namanya senantiasa disebut oleh para muridnya dalam setiap tawasul dan rabitah yang tertuju padanya. Terlahir dengan berbagai karamah, Syekh Abdul Qadir memiliki rekam perjalanan intelektual dan spiritual yang terabadikan dalam berbagai kitab yang menjadi karya agungnya, dan juga kitab-kitab Manakib yang ditulis oleh para murid-muridnya.
Beliau tidak saja menguasai ranah akidah, namun juga menguasai ranah syariah dan hakikat, sehingga tidak aneh jika dalam setiap karyanya, hal-hal yang dikemukakan olehnya dapat diterima oleh berbagai kalangan. Karya-karyanya memiliki ruh yang menggambarkan ketiga ranah keislaman tersebut, menyebabkan dalil agama yang diinterpretasikan olehnya menjadi tidak kaku dan adil bagi siapapun.
Salah satu karyanya yang menggambarkan hal tersebut adalah kitab Al-Ghunyah. Kitab ini bisa dikatakan sebagai kitab Fiqih Tasawuf, karena di dalamnya secara apik beliau memaparkan segala kajian Fiqih dengan menggunakan pendekatan ilmu Tasawuf. Hal ini memberikan makna bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan manusia untuk Tuhannya tersebut harus dilakukan dengan tetap memperhatikan etika terhadap relasi sosial yang ada.
Oleh karena itu, selain tentang keutamaan-keutamaan (fadilah) ibadah, beliau juga menyandingkan hal-hal sosial dalam ibadah dengan menggunakan istilah Adab. Seperti yang menjadi fokus pada tulisan ini, yakni tentang Adab di dalam relasi pernikahan. Adab adalah hal pokok yang dikaji dalam dunia Tasawuf, Adab menjadi buah dari segala laku seorang salik dalam menapaki makam-makam latihan penyucian diri.
Adapun Pernikahan merupakan kajian dalam ranah Fiqih. Penggabungan adab dan pernikahan melahirkan konsep relasi pernikahan yang mengedepankan etika sesama (suami kepada istri dan sebaliknya), tentang bagaimana sebuah relasi dapat terjalin dengan baik sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah Swt.
Berikut enam garis besar adab di dalam hubungan pernikahan yang disampaikan oleh Syekh Abdul Qadir Al-Jaylani dalam Al-Ghunyah:
Pertama, cara memperlakukan pasangan selama pernikahan (sejak akad berlangsung). Mereka yang akan menikah harus memiliki niat yang teguh, bahwa pernikahan yang akan dilaksanakan merupakan sebuah bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Juga harus memiliki niat untuk memperoleh keturunan-keturunan yang senantiasa tidak menyukutukan-Nya.
Kedua orang yang telah menikah dianjurkan untuk menjaga lisannya untuk tidak saling menyakiti, serta senantiasa berperilaku baik. Syekh Abdul Qadir Al-Jaylani sangat adil melihat hal ini, tidak hanya istri yang memiliki kewajiban demikian, melainkan juga suami. Beliau menguatkan pernyataannya dengan hadis yang berasal dari ‘Ubadah bin Katsir yang artinya: ”Laki-laki paling baik dari umatku adalah mereka yang paling baik kepada istrinya, dan perempuan paling baik dari umatku adalah mereka yang paling baik kepada suaminya….”
Bahkan Rasulullah Saw. mengangkat derajat wanita yang demikian dengan memberikan mereka keutamaan yang lebih utama daripada para bidadari yang jika diumpamakan adalah seperti keutamaan Rasulullah Saw. sendiri. Jika Rasul dan para penerusnya saja sangat memprioritaskan suami dapat berperilaku baik kepada istrinya dan juga sebaliknya, lantas tafsir siapakah yang kita gunakan untuk mengintimidasi dan berperilaku semena-mena terhadap pasangan?
Kedua, kerjasama yang baik antara suami dan istri. Segala hal yang dilakukan oleh suami dan istri selama pernikahan akan mendapatkan pahala yang sama bagi keduanya jika masing-masing dari mereka dapat bekerjasama dengan baik sesuai pembagian tugas yang disepakati.
Selama ini, kita hanya memahami hadis riwayat Tsabit dari Anas bin Malik ra. (perihal wanita yang mendatangi Rasulullah dan mengeluh karena merasa iri dengan para suami yang pergi berjihad sedangkan mereka hanya di rumah dan tidak dapat ikut berjihad, dan pada akhirnya Rasulullah Saw. menegaskan bahwa mereka memiliki pahala yang sama) sebagai kewajiban istri untuk melakukan hal-hal domestik di rumah.
Padahal ada hal penting yang ingin disampaikan dari hadis ini, yakni tentang bagaimana kesepakatan pekerjaan-pekerjaan yang berlaku dalam pernikahan. Pada saat itu konteksnya berbeda, Islam merupakan agama baru dan butuh agen-agen untuk memperkuat keberadaan agama ini. Bukan berarti perempuan tidak diperkenankan mengikuti jihad di medan perang, melainkan mereka memiliki tugas untuk menjaga anak-anak berikut aset kaum muslimin ketika mereka sedang berjihad.
Pointnya, antara suami dan istri harus ada kerjasama yang baik dan pembagian tugas yang baik agar kehidupan pernikahan dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Tentunya hal tersebut dengan mempertimbangkan segala kondisi dan kemampuan yang dimiliki oleh pasutri selama pernikahan. Tentang siapa yang akan melakukan pekerjaan A, B, dan C, semuanya kembali kepada kesepakatan pasutri masing-masing, dan semuanya bersifat fleksibel.
Ketiga, etika saat melakukan hubungan seksual. Hubungan seksual yang dihalalkan adalah hubungan seksual yang terjalin dalam hubungan pernikahan. Perihal hubungan seks juga menjadi pembahasan yang disorot oleh Syekh Abdul Qadir Al-Jaylani, mengapa? Karena segala hal yang berkaitan dengannya dapat mempengaruhi keharmonisan rumah tangga, dan juga sebagai wadah untuk memperoleh keturunan.
Adapun perannya sebagai perkara untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, Syekh Abdul Qadir Al-Jaylani memberikan tahapan-tahapan yang baik, yakni berdoa sebelum dan sesudah melakukan hubungan seks, mengunakan penutup sebagai etika dan menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan, tidak melakukan hal-hal buruk, juga memperhatikan kepuasan sang istri.
Umumnya hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah perihal syahwat kaum wanita yang sembilan kali lebih besar daripada kaum pria diartikan sebagai jumlah syahwat wanita secara kuantitas dan kualitas, padahal maksud dari hadis ini ialah agar kaum pria/suami sungguh-sungguh tidak egois saat melakukan hubungan seks. Mereka harus memperhatikan kebutuhan biologis sang istri yang umumnya tidak terpuaskan karena kepuasan suami yang menjadi indikator utama pada umumnya, untuk menyampaikan hal ini maka disampaikanlah pernyataan demikian oleh Rasulullah Saw.
Keempat, adab saat berniat memiliki keturunan. Tujuan dari pernikahan salah satunya adalah memiliki keturunan yang salih dan salihah. Sejak kehamilan, Syekh Abdul Qadir Al-Jaylani mewanti-wanti pasangan pasutri untuk menjaga makanan. Tidak hanya toyib/bernutrisi saja, tetapi juga halal (tidak haram, makruh, ataupun syubhat). Bahkan lebih jauh lagi, pemeliharaan makanan hendaknya dijaga semenjak pasutri tersebut melangsungkan akad pernikahan.
Kesehatan yang diperoleh berdasarkan konsumsi makanan yang demikian tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik saja, tetapi juga kesehatan psikis dan spiritual para anggota keluarga. Untuk memiliki anak yang salih dan salihah, semuanya sangat tergantung dari aspek lainnya seperti yang terdapat pada pembahasan adab pernikahan ini, seperti cara orang tua berinteraksi, bekerjasama, dan menyelesaikan segala masalah yang terdapat dalam pernikahan.
Karena, orang tua yang baik akan melahirkan anak yang baik pula, dan semuanya tergantung dari kondisi orang tua secara jasmani dan rohani. Syekh Abdul Qadir Al-Jaylani juga memberikan motivasi para istri agar bersabar saat hamil, melahirkan, menyusui, karena kondisi-kondisi tersebut adalah kondisi luar biasa dan istimewa yang memiliki pahala sangat besar bagi kaum perempuan.
Kelima, etika ketika pasangan pasutri mengalami masalah rumahtangga. Perpaduan Fiqih dan Tasawuf sangat ditonjolkan di sini. Ketika salah satu pasangan nusyuz, ada beberapa langkah yang ditawarkan Syekh Abdul Qadir Al-Jaylani untuk menjaga agar keluarga tetap harmonis.
Langkah-langkah ini merupakan problem solving yang dapat dijadikan referensi bagi pasutri yang sedang mengalami masalah, yakni: saling menasehati dengan baik; jika tidak memiliki dampak apapun maka kemudian suami istri hendaknya pisah ranjang, dalam artian memberikan waktu kepada masing-masing untuk merenungkan permasalahan yang terjadi, juga memberikan waktu agar masing-masing dapat mendinginkan fikiran serta emosi yang sedang memuncak.
Apabila dua langkah ini belum berhasil, maka lakukanlah hal-hal yang dapat membuat pasangan sadar atas kesalahannya (zaman dulu umumnya dan dalam teksnya menggunakan cara memukul, namun Syekh Abdul Qadir memberikan catatan, memukul di sini adalah memukul bukan untuk melukai, tapi sebagai suatu isyarat, tentang alternatif yang harus sungguh-sungguh dilakukan agar pasangan yang nusyuz dapat kembali taat dan memenuhi kewajibannya dalam pernikahan; jika tidak jua memberikan hasil apapun, maka hendaknya pasutri menggunakan mediator untuk membantu mereka menengahi masalah ini dengan melibatkan keluarga dari masing-masing suami dan istri.
Keterlibatan keluarga ini menunjukkan bahwa masalah yang terjadi bukanlah masalah yang dapat mereka selesaikan. Namun, keterlibatan keluarga dapat memberikan solusi yang dapat digunakan untuk mempertahankan keluarga, karena keluarga pasti menginginkan yang terbaik untuk anggota keluarganya. Adapun perceraian, merupakan tahapan akhir jika permasalahan tersebut sungguh tidak dapat diselesaikan dan menimbulkan banyak madarat bagi kehidupan rumah tangga bersangkutan.
Keenam, tetap tertuju pada tujuan pernikahan, yakni kekayaan dari aspek ibadah, keturunan yang salih-salihah, keseimbangan spiritual, emosi, materi, yang keseluruhannya didapatkan dari hubungan pernikahan yang harmonis didasarkan pada ketakwaan kepada Allah Swt. Jika masing-masing dari pasutri selalu melihat hal-hal tersebut sebagai tujuan pernikahan, tentunya mereka akan saling menjaga, saling mengasihi, dan saling membantu sebagai kesatuan dalam ikatan pernikahan. Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishshawwaab. []