Mubadalah.id – Tujuan al-Qur’an diturunkan di muka bumi sejatinya ingin memperlihatkan ketidaksetujuan atas tindakan kekerasan terhadap perempuan.
Hal ini karena, di Arab sana adanya sebuah tradisi yang memperlihat jika laki-laki melakukan kekerasan kepada perempuan itu adalah suatu yang wajar. Namun tidaklah wajar jika kita hubungkan kondisi dan situasi hari ini, lebih tidak wajar lagi jika kita kaitkan dengan pesan keadilan, kerahmatan dan kasih sayang yang sedang Islam perjuangkan.
Maka manakala tradisi telah berubah, cara-cara seperti ini harus kita hapuskan, karena bertentangan dengan visi kemanusiaan Islam tersebut.
Menurut saya, saat ini suatu tindakan keliru atau salah oleh suami atau istri. Karena semestinya harus menyelesaikannya tidak lagi dengan cara kekerasan. Melainkan dengan cara-cara yang lebih beradab, demokratis, atau melalui mekanisme peradilan.
Pandangan mayoritas ahli hukum Islam (fikih) sampai saat ini cenderung masih berkutat pada pemahaman tekstual al-Qur’an.
Mereka berpendapat bahwa jika terjadi perbedaan atau pertentangan antara aturan-aturan yang bersifat umum (teks universal) dengan aturan-aturan yang bersifat khusus atau spesifik (teks partikular). Maka aturan yang khusus lebih utama dan kita pakai daripada yang umum.
Pandangan ini menurut Khalid Abdu Fadl Profesor Hukum Islam di Universitas UCLA, AS, ditolak oleh Abu Ishak al-Syathibi. Menurutnya:
“Ketentuan umum atau hukum universal bersifat pasti sedangkan petunjuk-petunjuk khusus bersifat relatif. Karena itu keumuman atau universalitas harus kita dahulukan. Dan harus kita beri bobot lebih besar dalam menganalisis petunjuk-petunjuk hukum yang bersifat khusus.”
“Aturan-aturan yang bersifat khusus tidak bisa membatasi atau mengkhususkan aturan-aturan yang bersifat umum. Tetapi bisa menjadi pengecualian-pengecualian yang bersifat kondisional bagi hukum-hukum universal.”