Mubadalah.id – Negara bertanggung jawab terhadap pendidikan – terutama pendidikan agama – penyandang disabilitas. Apabila negara belum siap atau tidak melaksanakan tanggung jawabnya, maka pihak yang harus bertanggung jawab terhadap disabilitas adalah individu atau pihak-pihak terkait yang memahami masalah disabilitas itu.
Dalam literatur Islam hal ini diatur dalam konsep “maslahah dan mafsadah yang diketahui oleh sebagian orang”. Siapa yang mengetahuinya maka wajib memperjuangkan maslahah itu dan menghindarkan orang dari mafsadah tertentu.
Dalam Qawa`id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Izzuddin Abdus Salam menjelaskan
Maslahah dan mafsadah terbagi pada beberapa bagian: Pertama, maslahah dan mafsadah yang diketahui baik oleh pembelajar atau oleh orang yang tidak belajar.
Kedua, maslahah dan mafsadah yang hanya diketahui oleh orang yang belajar. Ketiga, maslahah atau mafsadah yang hanya diketahui oleh para wali Allah, karena Allah SWT menjamin petunjuknya bagi orang yang berjihad di jalanNya.
Allah SWT berfirman, “Dan bagi orang orang yang berjihad di jalan kami, pasti akan kami tunjukkan jalan-jalan kami.”
Karena para wali Allah itu selalu berusaha untuk mempelajari syariat Allah berserta hikmahnya, oleh sebab itu pengetahuan dan ijtihad mereka mengenai maslahah dan mafsadah jauh lebih sempurna.
Di samping itu, orang yang mengamalkan apa yang ia tahu akan diberi oleh Allah ilmu yang tidak ia ketahui sebelumnya. Maka, apakah sama antara orang bertakwa dengan orang fasik? Tidak, demi Allah tidaklah sama, baik dari segi derajat, kehidupan maupun kematian. Sedangkan para ulama adalah pewaris para Nabi.
Hak warga negara memperoleh pendidikan secara jelas tercatat di dalam Undang-undang. Dengan begitu semua warga negara tanpa terkecuali penyandang disabilitas harus memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan.
Sehingga, kita berharap lembaga pendidikan baik formal dan non-formal lebih bisa mengemban amanah tersebut dan bertanggung jawab. Serta tidak menelantarkan anak didiknya. []