Mubadalah.id – Ada ungkapan populer di banyak ceramah rumah tangga: “Suami yang sabar ketika istri marah, akan diganjar pahala yang besar.” Sayangnya, nasihat ini sering disalahpahami menjadi pembenaran untuk pasif: “Biarkan saja istri marah-marah, saya diam saja, toh diam ini berpahala.”
Lebih parah lagi ungkapan: “Banyak-banyakin istri marah, biar pahala kita cukup dengan diam dan sabar, langsung segunung tuh pahala suami. Lumayan, daripada berpahala dengan memberi dan berbuat sesuatu”.
Akibatnya, tidak jarang seorang suami membanggakan diri sebagai lelaki sabar, padahal yang dilakukannya hanyalah abai — membiarkan pasangannya bergulat dengan lelah, penat, beban emosional, dan tumpukan masalah yang sebenarnya bisa diurai bersama.
Dalam perspektif Mubadalah, kesabaran bukanlah pasif dan membisu. Kesabaran adalah kesediaan untuk hadir, mendengar, merespon, dan turut terlibat menyelesaikan sumber masalah.
Relasi suami-istri bukanlah satu pihak “berhak marah” dan pihak lain “wajib diam”, tetapi sebuah persekutuan dua orang dewasa yang sama-sama berhak dimengerti, didengar, dan ditenangkan, serta terlibat aktif mengurangi sebab kemarahan dan menghadirkan kenyamanan dan kebahagiaan.
Kemarahan Punya Sebab
Marah, dalam banyak relasi rumah tangga, sering kali bukan datang tiba-tiba. Jarang sekali seorang istri marah tanpa pemicu. Di balik suara meninggi, nada sinis, atau tatapan tajam, hampir selalu ada penat yang mengendap: beban kerja rumah yang tak habis-habis, anak-anak yang rewel, tekanan pekerjaan di luar rumah, atau bahkan rasa terabaikan karena suami sendiri terlalu sibuk dengan gawai atau pekerjaan, atau urusan sosial keumatan.
Dalam Islam, ash-shabr (sabar) adalah menahan diri dari reaksi buruk dan tetap berada pada jalan kebaikan. Maka, sabar seorang suami justru teruji dengan bagaimana ia mengambil tanggung jawab atas apa yang bisa ia bantu perbaiki. Diam saja sambil menikmati gelar “sabar” adalah sikap setengah hati, dan tidak ada ajaran Nabi Saw yang mendukung kepasifan seperti itu.
Nabi Muhammad Saw sendiri bukan tipe yang hanya berdiam. Beliau menenangkan kegelisahan istrinya, mendengarkan keluhan, bahkan membantu pekerjaan rumah. Kana fi khidmati ahlihi — Beliau selalu siap membantu keluarganya. Inilah bentuk sabar aktif: hadir, peduli, dan membantu.
Jika kemarahan adalah sebuah “kemungkaran” yang tidak baik dalam relasi, kedua belah pihak harus aktif mencari sebab dan mengubahnya (fal yughayyir-hu), baik berupa tindakan (bi-yadihi), atau berbicara baik-baik (bi-lisanihi), atau dengan hati dan perasaan (bi-qalbihi).
Bersabar adalah Tindakan Aktif
Coba kita balik logikanya. Jika istri marah karena lelah, apa guna suami hanya diam? Bukankah lebih berpahala jika suami mendekat, mendengar, kemudian bertanya: “Apa yang membuatmu lelah? Apa yang bisa aku bantu?”
Dengan pertanyaan sederhana ini, seorang suami membuka ruang dialog dan mengundang pasangannya untuk berbagi beban. Jika penyebabnya adalah anak-anak yang rewel, maka suami bisa mengambil alih menjaga anak.
Sedangkan jika penyebabnya adalah cucian menumpuk, suami bisa melipat lengan baju dan membantu. Jika penyebabnya adalah masalah di kantor, pekerjaan, tetangga, atau keluarga jauh, suami bisa menawarkan telinga dan pelukan.
Dalam prinsip Mubadalah, relasi suami-istri terbangun di atas kesalingan: saling mendengar, saling membantu, saling menenangkan. Sabar adalah upaya untuk menahan diri dari menyakiti, sekaligus bertindak menenangkan hati pasangan.
Sabar yang Berpahala Lebih Besar
Ada orang yang bilang: “Diam kan gratis, dapat pahala sabar. Kalau membantu kan capek, keluar modal tenaga.”
Betul, diam itu mudah. Tetapi pahala dari diam tidak sebanding dengan pahala membantu orang lain. Bukankah: tangan yang bekerja lebih dicintai Allah Swt dibanding tangan yang hanya diam atau meminta-minta.
Demikian pula dalam rumah tangga: suami yang ikut menyapu, mencuci, atau menggantikan istri menjaga anak — pahalanya berlipat ganda. Ia berpahala sabar, berpahala kerja, berpahala membahagiakan istri, dan berpahala meneladani akhlak Nabi Saw.
Mengurai Marah, Menjahit Cinta
Dalam bingkai Mubadalah, kemarahan bukan untuk dilawan atau diabaikan, tetapi untuk diurai akarnya. Saat marah diurai, hubungan pun kembali hangat.
Suami dan istri bukan lawan yang saling menjatuhkan, atau subjek-objek piala kesabaran. Mereka adalah sahabat seperjalanan. Dalam sahabat, diam berlebihan hanya menciptakan jarak. Sementara sabar yang aktif — penuh empati dan aksi nyata — menjahit kembali ikatan hati yang sempat koyak oleh lelah dan penat.
Maka, wahai para suami, jika melihat istrimu marah, jangan hanya bangga diam dan menahan diri. Bersabarlah dengan cara terbaik: hampiri dia, genggam tangannya, dengarkan ceritanya, bantu bebannya, dan usap letihnya.
Itulah sabar yang sebenarnya: sabar yang menyejukkan, membahagiakan, dan berpahala besar. Itulah sabar yang Islami dan teladan Nabi Saw. Tentu saja, secara Mubadalah, berlaku juga sebaliknya, ketika istri melihat suaminya marah-marah, perlu mengenali sebabnya, dan terlibat aktif meredakanya, sesuai kemampuannya.
Tidakkah sabar yang Mubadalah ini jauh lebih baik daripada sabar yang diam, abai, dan membiarkan, sehingga kemarahan terus terjadi lagi dan lagi?
Sulit?
Emang sulit, tapi masa tidak mau memulai dan mencobanya, sebagai bukti cinta, bakti keimanan, dan atau minimal komitmen berpasangan. []