Apakah cinta dan keimanan mampu menyelamatkan kita dari jeratan dosa dan kejahatan yang lahir dari ideologi-ideologi sesat?
Mubadalah.id – Pertanyaan di atas mungkin terasa berat, namun ini relevan jika kita melihat fenomena di sekitar kita. Kita sering mendengar tentang orang-orang yang, atas nama ideologi dan keyakinan yang dianggapnya benar, tega melakukan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi. Seolah-olah mereka punya pembenaran atas kejahatan yang mereka lakukan—sebuah logika bengkok yang menghalalkan segala cara demi “tujuan mulia” versi mereka sendiri.
Fenomena ini sejatinya adalah masalah yang sejak dahulu sering diperbincangkan oleh banyak pemikir dan pujangga. Salah satu karya yang membuat satire tentang dilema ini adalah ‘Crime and Punishment’ karya Fyodor Dostoevsky. Karya sastra yang terbit pada 1866 ini terus bergema hingga kini.
Dostoevsky menyajikan potret psikologis tentang kejahatan, rasa bersalah, dan penebusan dosa. Saking kompleks dan detailnya unsur psikologis dalam novel ini, bahkan Sigmund Freud, di salah satu suratnya kepada Stefan Zweig, mengakui Dostoevsky sebagai psikolog sastra terbesar sepanjang masa setelah Shakespeare karena “Dostoevsky tidak dapat dipahami tanpa psikoanalisis… ia mengilustrasikannya sendiri dalam setiap karakter dan setiap kalimat.”
Di awal novel, Dostoevsky mengajak kita menyelami pikiran Rodion Romanovich Raskolnikov, seorang mantan mahasiswa hukum yang hidup dalam kemiskinan di St. Petersburg. Kamarnya yang sempit, lebih mirip lemari daripada tempat tinggal, menjadi saksi bisu pergulatan batinnya.
Karena hidup dengan utang yang menumpuk—bertambah dengan rentenir cerewet yang selalu memarahinya—Raskolnikov mulai merenungkan sebuah pemikiran radikal. Ia merasa muak dengan ketidakadilan sosial dan mulai mengembangkan teori tentang manusia “biasa” dan manusia “luar biasa”.
Hukum Moral
Menurutnya, manusia luar biasa itu seperti Napoleon, yang memiliki hak untuk melangkahi (atau melanggar) hukum moral demi mencapai tujuan-tujuan besar yang akan membawa manfaat bagi kemanusiaan. Teori yang ia tulis dalam sebuah artikel bertajuk ‘On Crime’ ini menjadi semacam pembenaran intelektual atas rencana mengerikan yang akan ia lakukan.
Targetnya adalah Aliona Ivanovna, seorang rentenir tua yang ia anggap sebagai lintah darat—sosok yang tidak berguna dan jahat. Raskolnikov meyakinkan diri bahwa dengan membunuh Aliona dan merampas hartanya, ia bisa menggunakan uang tersebut untuk memulai hidup baru, menyelesaikan pendidikannya, dan bahkan membantu orang lain. Ia melihat tindakan ini bukan sebagai kejahatan, melainkan sebagai langkah awal bagi seorang manusia “luar biasa” untuk melawan tatanan moral.
Namun ironisnya, sebelum ia membunuh Aliona, Raskolnikov sudah diliputi keraguan dan ketakutan. Ia bertanya-tanya pada diri sendiri, “Mungkinkah, mungkinkah, aku akan benar-benar mengambil kapak, memukul kepalanya, membelah tengkoraknya… menginjak darah kental yang hangat… oh Tuhan, mungkinkah?”
Malam yang menentukan itu akhirnya tiba. Dengan hati berdebar dan tangan yang gemetar, Raskolnikov bertandang ke apartemen Aliona Ivanovna untuk melakukan aksi kejinya. Ia membawa sepotong kayu yang dibungkus rapi untuk mengalihkan perhatian Aliona. Saat Aliona sibuk membuka bungkusan kayu itu, Raskolnikov menghantam kepalanya dengan kapak.
Namun, tragedi ini tidak berhenti di situ saja. Lizaveta Ivanovna, saudari tiri Aliona yang lugu dan penurut, tiba-tiba masuk ke ruangan. Dalam kepanikan, Raskolnikov juga membunuhnya. Ketakutan pun menguasai tubuhnya karena pembunuhan kedua yang tidak ia rencanakan ini. Waktu cepat berlalu, ia akhirnya berhasil melarikan diri dari TKP, membawa serta, bukan hanya darah, tetapi dosa dan rasa bersalah.
Kegelisahan Batin
Setelah kejadian itu, Raskolnikov tidak menemukan kedamaian yang ia inginkan. Sebaliknya, ia terjerumus ke dalam kegelisahan batin yang parah. Demam dan halusinasi pun menghantuinya, membuatnya terasing dari dunia. Ia merasa bahwa hubungannya dengan orang lain terputus, bahkan dari ibu dan adiknya, Pulcheria dan Dunia, yang sangat ia cintai.
Surat dari ibunya, yang memberitahukan kabar pernikahan Dunia dengan seorang laki-laki kaya bernama Peter Petrovich Luzhin demi membantu Raskolnikov, justru menambah beban penderitaannya. Ia melihat pengorbanan adiknya sebagai hal yang memuakkan, terutama karena ia tahu Luzhin adalah laki-laki picik dan angkuh. Perasaan bersalah, paranoia, dan ketakutan terus menghantuinya. Setiap suara langkah dan ketukan pintu membuatnya gemetar.
Di tengah siksaan batin itu, muncul Porfiry Petrovich, seorang penyidik cerdas yang memahami psikologi manusia. Meskipun Porfiry mengetahui siapa pelakunya, ia tidak langsung menuduh Raskolnikov, melainkan mengajak Raskolnikov “bermain” permainan “kucing dan tikus”. Ia mengajak Raskolnikov berdiskusi tentang artikel ‘On Crime’-nya, seolah-olah ia memancingnya untuk mengakui kejahatannya.
Percakapan mereka penuh dengan sindiran halus dan tekanan psikologis. Meskipun intuisi Porfiry sangat tajam, tetapi karena ia tidak memiliki bukti konkret kejahatan Raskolnikov, ia membiarkan Raskolnikov berputar-putar di dalam labirin ketakutannya sendiri.
Satu-satunya harapan dan jalan menuju penebusan dosa Raskolnikov pun muncul. Jalan keselamatan itu datang melalui sosok Sofia Semionovna Marmeladov, atau Sonia. Ia adalah putri seorang pemabuk, Marmeladov, yang tewas tertabrak kereta. Ia terpaksa menjadi pelacur untuk menghidupi ibu dan adik-adiknya yang kelaparan.
Kebangkitan Spiritual
Raskolnikov merasa bahwa ia memiliki ikatan batin dengan Sonia: Mereka berdua sama-sama terkutuk. Kepada Sonia lah Raskolnikov mengakui kejahatannya. Pengakuan ini bukanlah permintaan maaf, melainkan untuk melepaskan beban yang menghimpit hatinya.
Sonia, dengan kasih sayang dan iman Kristennya, tidak menghakimi Raskolnikov. Sebaliknya, ia meminta Raskolnikov agar segera mengakui kejahatannya di hadapan publik dan menerima penderitaan itu sendiri sebagai jalan penebusan dosanya.
“Menderita dan menebus dosamu, itulah yang harus kau lakukan,” ujarnya.
Pergulatan Raskolnikov belum berakhir. Ia masih terus mencari pembenaran atas tindakannya. “Aku hanya membunuh seekor kutu, Sonia, makhluk tak berguna, menjijikkan, dan berbahaya,” katanya. Namun, di hadapan Sonia yang selalu tulus mendengarkannya, pertahanan Raskolnikov pun goyah.
Adegan ketika Sonia menceritakan kisah Lazarus di Alkitab menjadi salah satu titik balik Raskolnikov. Kisah ini seolah menyiratkan bahwa kebangkitan spiritual itu ada. Setidaknya bagi Raskolnikov.
Tokoh penting lain yang dimunculkan adalah Arkady Ivanovich Svidrigailov, mantan majikan Dunia yang pernah melecehkan Dunia. Svidrigailov muncul sebagai sosok misterius, amoral, dan sinis. Ia menjadi sisi gelap Raskolnikov, seseorang yang benar-benar hidup di luar batas moral yang merasa hampa dan akhirnya bunuh diri. Dialektika antara Svidrigailov yang menyerah pada kegelapan dan Raskolnikov yang akhirnya memilih jalan penderitaan untuk menebus dosanya menjadi salah satu inti perenungan Dostoevsky dalam buku ini.
Hiudp telah Menggantikan Teori
Puncak dari konflik batin Raskolnikov adalah ketika ia akhirnya menyerahkan diri ke kantor polisi. Momen ini adalah hasil dari pergulatan batinnya yang dipengaruhi oleh Sonia.
Proses peradilan pun berjalan, dan Raskolnikov dijatuhi hukuman kerja paksa di Siberia selama 8 tahun. Di pengasingan itu, babak baru kehidupan Raskolnikov dimulai. Awalnya, ia masih mempertahankan kesombongannya dan belum benar-benar menyesali perbuatannya. Namun, karena Sonia mendampinginya, serta penderitaan dan kehidupan keras di kamp tahanan, perlahan-lahan kepribadiannya pun berubah.
Novel ini ditutup dengan transformasi Raskolnikov. Penyakit fisik yang ia derita selama di penjara menjadi simbol dari proses penebusan dosanya. Mimpinya tentang wabah yang membuat seluruh dunia menggila, di mana setiap orang merasa dirinya paling benar dan saling membunuh satu sama lain atas nama keyakinannya masing-masing, menjadi refleksi dari kecacatan ideologis yang pernah ia alami.
Akhirnya Raskolnikov pun membuka lembaran baru. “Hidup telah menggantikan teori,” tulis Dostoevsky. Dia menyimpan Alkitab Perjanjian Baru milik Sonia di bawah bantalnya sebagai simbol harapan dan keimanan yang baru saja tumbuh.
Sekarang, mari kita kembali kepada pertanyaan awal: Apakah cinta dan keimanan mampu menyelamatkan kita dari jeratan dosa dan kejahatan yang lahir dari ideologi-ideologi sesat? Melalui perjalanan hidup Raskolnikov, Dostoevsky menjawab: Ya, namun, seperti yang kita sudah lihat, itu tidak mudah.
Melalui ‘Crime and Punishment’ ini, Dostoevsky mengingatkan kita bahwa akal dan teori, betapapun logisnya, akan sangat merusak apabila ia tercerabut dari spiritualitas dan kasih sayang.
Singkatnya, ini adalah kritik Dostoevsky terhadap rasionalisme dan nihilisme yang berkembang di zamannya. Bagi Dostoevsky, keselamatan dan penebusan dosa tidak datang dari teori-teori rasional, tetapi dari penerimaan kita terhadap penderitaan, cinta terhadap sesama, dan juga keimanan yang teguh. []