Mubadalah.id – Pada Kamis, 19 Juni 2025 esok hari, nasib gerakan perempuan Islam di dunia akan ikut ditentukan melalui perkara pengadilan Sisters in Islam (SIS) yang berperkara dengan lembaga otoritas agama di Negara bagian Selangor.
Melansir dari laman Facebook Ibu Lies Marcoes, sejak 11 tahun lalu pihak SIS telah mengajukan permohonan uji materi kepada Pemerintah Federal Selangor atas fatwa yang menilai bahwa SIS sebagai organisasi yang sesat karena beraliran atau berpikiran liberalisme.
Fatwa itu menurut Ibu Lies sangat aneh karena pada kenyataannya aktivitas mereka hanya melakukan upaya dan pembelaan untuk pemenuhan hak-hak perempuan. Sebagaimana Islam mengajarkan keharusan membela yang lemah. Untuk mengetahui perempuan itu dilemahkan tentu harus dengan pikiran yang terbuka.
Secara terbuka, Lies Marcoes memberikan dukungan bagi SIS Malaysia. Menurutnya ini bukan semata perkara setempat dan eksklusif melainkan juga perkara bagi gerakan perempuan Islam di dunia.
Lies menambahkan, SIS telah 40 tahun menjadi bagian dari gerakan perempuan Islam di dunia tak terkecuali di Indonesia. Mereka bermitra dengan jaringan-jaringan gerakan perempuan Islam berbasis pesantren seperti KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) bahkan jauh sebelum KUPI berdiri.
Para aktivis SIS aktif mengikuti kegiatan untuk penguatan kapasitas mereka dalam pemenuhan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. Mereka bergaul luas dengan lingkungan pesatren, Perguruan Tinggi Islam, atau dengan sejumlah NGOs perempuan Islam seperti Fahmina Institute, Rahima, Rumah Kitab dan Puan Amal Hayati pimpinan Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Selain itu banyak lagi jaringan baik di lingkungan NU maupun Muhammadiyah.
Prinsip Keadilan dalam Islam
Melalui kasus ini, pemerintah Malaysia khususnya negara Federal Selangor tampaknya sedang menguji sejauh mana mereka berpihak kepada upaya keadilan dan kemanusiaan bagi perempuan melalui keputusan mereka terhadap gugatan SIS.
Kemenangan atau kekalahan SIS adalah kemenangan atau kekalahan akal sehat. Kewarasan untuk menegakkan keadilan sebagaimana perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam membela kelompok yang dilemahkan. Khususnya kaum perempuan, anak-anak dan kaum yang terpinggirkan.
Pembelaan Sister in Islam (SIS) sangat jelas: mereka menggunakan prinsip-prinsip keadilan dalam Islam dan sistem hukum yang berlaku di Malaysia. Karenanya kemenangan SIS dalam gugatan ini niscaya bukan hanya bagi SIS melainkan bagi seluruh perempuan Islam di dunia.
Hal senada Faqihuddin Abdul Kodir sampaikan melalui laman akun media sosialnya. Menurut Faqihuddin, SIS bukan hanya organisasi, ia adalah praktik dari Islam yang rahmah dan akhlak karimah. Suara nalar waras, akal budi, dan tentu saja: ajaran Islam tentang keadilan. Terutama bagi perempuan yang terlantar dan mereka yang mustadafin.
Beberapa hari ke depan ini, SIS akan berdiri di ruang sidang pengadilan. Mereka mempertahankan haknya untuk terus bernalar, bersuara, menafsir dan terutama mempraktikkan agama untuk membela hak-hak perempuan dan memberdayakan mereka. Tujuannya agar bisa hidup bermartabat secara sosial, politik, dan keagamaan.
Ujian bagi Visi Keadilan Islam
Faqihuddin menambahkan sejak sebelas tahun lalu, ada fatwa sesat yang membayang-bayangi SIS yang justru mempraktikkan ajaran Islam tentang menolong yang lemah, mengangkat yang terpinggirkan, membela yang terinjak-injak, terutama para perempuan dan anak-anak.
Maka bagi Faqihuddin persidangan pada 19 Juni nanti, di Mahkaham Federal Malaysia, bukan hanya urusan administratif di negeri jiran. Negeri yang telah berjasa besar baginya.
”Karena Master saya dapatkan dari IIU Malaysia. Negeri yang mengasah kepekaan saya terhadap orang-orang lemah, karena tesis saya tentang risalah zakat bagi mustad’afin. Negeri yang mengenalkan saya, ilmu dan amal untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin dan keadilan, terutama bagi mustad’afin, seperti perempuan dan anak-anak.” Ungkapnya.
Dengan perspektif ini, Faqihuddin mengatakan bahwa persidangan SIS adalah ujian bagi visi keadilan Islam, bagi misi akhlaknya, bagi akal sehat, bagi kewarasan tafsir, bagi upaya menegakkan maqashid syariah. Mewujudkan kemaslahatan, menjaga martabat perempuan, menegakkan keadilan sosial.
SIS sudah puluhan tahun menjadi sahabat gerakan perempuan Islam di dunia, termasuk di Indonesia. Mereka berjalan beriringan dengan jaringan-jaringan pesantren, ulama perempuan, akademisi, dan berbagai lembaga-lembaga Islam di Indonesia yang sejak lama merawat tafsir agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Pengalamanku Belajar Bersama SIS Malaysia
Adapun pengalamanku belajar bersama Sister in Islam (SIS) Malaysia dua kali yang paling aku ingat, bahkan aku buatkan catatan tersendiri di laman media sosial. Berharap catatan itu akan terus menjadi jejak pengalaman berharga yang penuh makna. Pertama, Regional Youth Caucus Meeting pada Oktober 2019 dan kedua, Mubadalah Exchange pada Desember 2019.
Pada Oktober 2019, aku bersama Nurul Bahrul Ulum, Tia Istianah dan Andi Faizah berkesempatan untuk mengikuti kegiatan Regional Youth Caucus Meeting di Kuala Lumpur Malaysia. Ada beberapa hal yang menjadi catatan aku selama mengikuti rangkaian perjalanan ke Malaysia saat itu.
Pertama, isu besar agenda yang diusung Sister in Islam (SIS) Malaysia adalah bagaimana perempuan bangkit melawan ekstremisme yang hari ini semakin menguat di dunia.
Tubuh perempuan seolah diatur sedemikian rupa melalui sekian produk hukum, sehingga bagaimana mungkin perempuan akan bicara tentang hak-haknya (privat dan publik), autoritasnya atas pengetahuan, hukum dan kehidupannya di dunia, jika untuk sekadar memenuhi kebutuhan keperempuannya sendiri pun terabaikan. Yakni hak dasar itu meliputi pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
Di sini aku seperti teringat kembali tentang trend poligami, perkawinan anak, marital rape, KDRT, perceraian, nusyuz, dan sebagainya. Di mana perempuan selalu dalam posisi lemah dan menjadi subordinasi laki-laki. Ternyata kasus seperti itu tak hanya terjadi di Indonesia, semua negara Islam hampir punya problem sama.
Meski hari ini Indonesia sudah selangkah lebih maju daripada negara berpenduduk Islam lainnya, di mana dalam aturan poligami harus ada ijin dari istri pertama. Lalu batas minimal usia perkawinan bagi perempuan yang sudah dinaikkan dari 16 menjadi 19 tahun. Ini merupakan prestasi para pegiat dan aktivis perempuan di Indonesia, terutama koalisi 18+ yang digawangi oleh Koalisi Perempuan Indonesia.
Kedua, isu kelompok minoritas yang baru saya akrabi selama kegiatan berlangsung.
Aku sampai tercekat ketika Nisha Ayub, seorang transgender dari Malaysia yang menyampaikan presentasi dan menceritakan tentang persekusi dan hukuman yang kerap diterima kelompok mereka.
Bahkan para pelaku persekusi itu adalah sekelompok pelajar usia belia yang melakukan kekerasan fisik hingga korban harus dilarikan ke rumah sakit dan mendapatkan penanganan medis serius. Itu yang terlihat, diketahui dan terlaporkan. Masih banyak kasus yang tersembunyi. Bukan tak mungkin peristiwa yang sama juga terjadi di Indonesia.
Sesi Breakout Room
Lantas ketika mengikuti sesi breakout hari ketiga, aku memilih isu seksualitas dan agama. Aku hanya ingin tahu bagaimana agama melihat perbedaan orientasi gender dan seks. Semua sepakat bahwa seksualitas itu adalah privacy masing-masing orang, dan kita harus menghormati.
Sedangkan peran serta mereka, karya dan kreativitas tetap harus kita apresiasi selama itu positif, dan memberikan kontribusi nyata dalam kehidupan. Ketika sudah saling mengenal begitu, saya yang sempat phobia juga, pada akhirnya bersedia terbuka, bahwa mereka juga manusia biasa yang punya hak atas hidup dan kehidupannya.
Bahkan dalam kesempatan sesi breakout di hari pertama aku mengikuti bedah film dokumenter tentang lima identitas gender di Bugis Makassar. Film ini dibuat oleh salah satu partisipant dari Jakarta, Kiki Febriyanti. Dalam film tersebut menceritakan tentang lima jenis gender, antara lain laki-laki, perempuan, calalai, calabai dan bissu.
Calalai itu perempuan yang kecenderungan sifat dan perannya seperti laki-laki, sedangkan calabai laki-laki yang sifat dan perannya seumpama perempuan. Sementara bissu tidak memiliki kelamin, karena ia orang suci yang mengantarkan doa-doa dalam ritual penghayat Bugis.
Jejak kisah ini berdasarkan pada manuskrip kuno La Galigo, yang merupakan kitab suci suku Bugis kuno. Pengetahuan ini benar-benar hal baru bagiku, dan senang bisa mengetahui kekayaan local wisdom negeri sendiri.
Terakhir, tentang aktivitas media hari ini, termasuk didalamnya media sosial, yang bisa kita jadikan sebagai upaya pencegahan ekstremisme melalui informasi dan pengetahuan tentang nilai-nilai yang selama ini kita yakini benar.
Yakni, mengedepankan nilai tawasuth atau moderat, tidak terlalu kanan maupun kiri. Strateginya dengan membuat konten kreatif dan bahasa yang bisa diterima oleh semua kalangan. Terutama generasi z, di mana 10 hingga 20 tahun ke depan, di pundak merekalah masa depan dunia ini akan tergenggam.
Kami Bersama Sister in Islam Malaysia
Sebagai perempuan yang mengaku diri santri Mubadalah, aku mengamini bagian penutup dalam postingan founder Mubadalah.id Faqihuddin Abdul Kodir. Bahkan kami ambil narasi tersebut untuk menjadi konten dukungan dan solidaritas di media sosial Mubadalah.id, khusus teruntuk perjuangan Sister in Islam (SIS) Malaysia.
Jika SIS menang, maka yang menang adalah semangat Islam yang membela mustadh’afin — perempuan, anak-anak, kaum yang dilemahkan. Jika SIS kalah, maka yang kalah adalah keadilan Islam, akhlak Nabi Saw untuk para perempuan lemah, akal sehat dan nurani keadilan.
Tapi bagi kami, sebagaimana yang Faqihuddin tuliskan, SIS tak pernah kalah. Sebab ia berdiri di pihak kerahmatan, keadilan, kebenaran, dan berpijak pada ayat-ayat yang meneguhkan kasih sayang, keadilan, dan penghormatan pada martabat manusia.
Dari lubuk hati kami semua yang jauh di Indonesia, kami kirimkan doa, cinta, dan solidaritas untuk SIS Malaysia. Melalui tulisan ini juga, kami mengajak seluruh jaringan KUPI, lembaga-lembaga yang pernah dikunjungi atau berkunjung untuk sharing pengetahuan serta pengalaman bersama SIS, atau individu-individu siapapun yang tersentuh dengan masa depan SIS untuk ikut mendukung, dan mendoakannya.
Demi Islam yang rahmah dan ramah, adil, dan menguatkan hak-hak perempuan. []