Mubadalah.id – Ijtihad fiqh yang kita pilih mestinya berpijak pada nilai keadilan, termasuk dalam hal pembagian pekerjaan rumah tangga. Kewajiban, maupun tugas-tugas harian domestik harus berdasarkan pada keahlian dan kemampuan, bukan pada jenis kelamin (QS. al-Baqarah, 2: 286).
Asumsi bahwa pekerjaan rumah tangga adalah kewajiban perempuan, apalagai kodrat, adalah sepenuhnya salah. Betapa Nabi Muhammad Saw telah mencontohkan bahwa di dalam rumah beliau selalu melakukan kerja-kerja rumah tangga, menjahit baju dan sandal, memerah susu, melayani istri dan melakukan pekerjaan-pekeraan rumah lain. (Mahmud Abu Syuqqah, 1991: juz VI, hal. 130).
Dalam suatu teks hadits Imam al-Bukhari, mengatakan: Dari al-Aswad berkata: aku bertanya kepada Aisyah ra: “Apa Nabi kerjakan ketika berada di dalam rumah?.”
Aisyah menjawab: “Dia selalu berada dalam tugas pelayanan terhadap keluarga, ketika datang waktu shalat, dia keluar untuk shalat”. (HR. Bukhari).
Tetapi bukan berarti perempuan dilarang untuk melakukan kerja-kerja domestik di dalam rumah, atau laki-laki diharuskan untuk mengambil alih kerja-kerja tersebut. Fiqh adil gender yang dimaksud, adalah fiqh yang memandang kehidupan berumah tangga sebagai kehidupan bersama antara istri dan suami.
Fiqh yang menganjurkan kedua pasangan untuk memiliki komitmen untuk saling melayani, menyenangkan dan memuaskan. Termasuk dalam kerja-kerja domestik di dalam rumah tangga. Jika suami ingin dibuatkan kopi misalnya, istri juga mungkin ingin dibantu menjemurkan pakaian.
Atau sebaliknya. Yang penting dalam relasi yang adil gender, tidak ada seseorang yang berada dalam posisi untuk selalu melayani yang lain, termasuk dalam persoalan rumah tangga. Istri menjadi pelayan selamanya, kapanpun dan di manapun. Dan suami sebagai majikan yang selalu menuntut dan meminta. Dan tidak berlaku sebaliknya.
Sumber: Buku Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.