• Login
  • Register
Senin, 30 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

Prinsip Mubadalah membantu saya memahami bahwa perempuan berhak diperlakukan secara setara bukan hanya sebagai second choice.

Layyin Lala Layyin Lala
30/06/2025
in Personal
0
Second Choice

Second Choice

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kemarin malam saya memutuskan untuk mendengarkan lagu karya Rose Blackpink, Number One Girl. Sebuah lagu yang menceritkan tentang seseorang yang sangat mendambakan pengakuan, cinta, dan penerimaan dari orang yang ia cintai. Ia rela melakukan apa saja agar merasa diinginkan dan menjadi satu-satunya yang spesial di mata orang tersebut, karena kebutuhan emosional yang dalam untuk merasa cukup dan dicintai. 

Sejenak saya jadi berpikir, apakah Rose sedang menceritakan dirinya sendiri? Kemudian saya jadi bertanya-tanya. Jika benar, laki-laki mana yang menyakiti seorang Rose Blackpink? Rose Blackpink, seorang aktris dengan banyak karya yang luar bisa serta kecerdasannya juga merasakan patah hati? Sungguh sebetulnya sangat ngga masuk akal jika benar. Meskipun sebetulnya realita patah hati bisa saja menyerang perempuan tanpa melihat status.

Women as The Second Choice

Saya jadi berpikir ulang atas makna lagu tersebut. Selanjutnya, saya mulai menyusun framework berpikir untuk mengurai maksud lagu tersebut. Secara perspektif sosial, saya dapat memahami bahwa lagu tersebut sedang menceritakan ketimpangan relasi. Secara perspektif gender, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa lagu tersebut ngga melihat perempuan sebagai subyek yang utuh. Lagi-lagi, framework berpikir yang saya gunakan mengarahkan kepada pemikiran bagaimana dunia merespon perempuan. 

Jika menggabungkan perspektif sosial dan gender, kita dapat melihat bagiamana sistem di dunia ini banyak yang ngga berpihak pada perempuan. Beberapa diantaranya (yang menurut saya lebih kejam), melihat perempuan sebagai obyek bukan subyek. Salah satu bentuknya adalah menempatkan perempuan dalam pilihan kedua atau yang lebih kita kenal sebagai “Second Choice”.

Fenomena perempuan yang selalu berada di urutan kedua (baik dalam relasi, pekerjaan, atau pengambilan keputusan) menjadi bagian dari sistem yang belum sepenuhnya melihat perempuan sebagai subyek utuh. Dalam beberapa hal, perempuan masih sering mendapatkan posisi sebagai pelengkap, bukan penentu. 

Baca Juga:

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Fikih yang Berkeadilan: Mengafirmasi Seksualitas Perempuan

Jangan Tanya Lagi, Kapan Aku Menikah?

Asma’ binti Abu Bakar Ra : Perempuan Tangguh di Balik Kesuksesan Hijrah Nabi Muhammad SAW

Masyarakat patriarkal secara ngga sadar sudah membentuk kerangka berpikir yang mengedepankan laki-laki sebagai aktor utama. Maksud saya, perempuan terkonstruksi sebagai pihak yang harus menunggu dipilih, bukan memilih. Sehingga, secara perlahan pola pikir tersebut membentuk sistem bahwa menjadi opsi adalah kodrat perempuan. Padahal hal tersebut merupakan hasil sosial yang bisa dan dapat kita kritisi. Apalagi, realitas tersebut semakin parah karena ekspektasi gender yang kaku.

Menjadi Second Choice dalam Berbagai Tempat

Sebagai seorang perempuan, kita kerap kali merasakan menjadi “Second Choice” dalam berbagai tempat. Menurut saya, menjadi “Second Choice” akan bernilai baik jika sistem yang digunakan obyektif, transparan, dan ngga menimbulkan kekerasan. Misalnya, dalam sebuah pendaftaran sekolah, bisa jadi seorang siswi menjadi cadangan karena keterbatasan kuota atau nilai yang bersaing sangat ketat.

Maka, posisi sebagai “Second Choice” itu tetap memiliki harapan dan ruang untuk berkembang. Namun, berbeda halnya jika label “pilihan kedua” dilekatkan dalam relasi sosial atau emosional secara ngga sehat, seperti dalam relasi yang timpang atau tempat kerja yang bias gender. Di mana keputusan ngga berdasarkan pada kapabilitas tetapi pada preferensi personal yang ngga adil.

Perempuan yang terpinggirkan atau dijadikan pilihan kedua di tempat kerja merupakan bagian dari persoalan marjinalisasi gender. Terutama jika keputusan tersebut berdasarkan pada pandangan bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua daripada laki-laki.

Dalam konteks relasi emosional seperti hubungan pernikahan atau romansa, perempuan sebagai pilihan kedua juga kerap kali terjadi oleh pasangan/partner sendiri. Hal tersebut sangat menunjukkan bahwa menjadi perempuan ngga sepenuhnya menjadi “utuh” melainkan hanya menjadi obyek.

Menjadi Second Choice dalam Relasi, Sehatkah?

Ah, membaca pengalaman perempuan yang kerap kali menjadi pilihan kedua oleh laki-laki terutama pasangan atau partnernya sungguh memuakkan. Saya jadi berpikir, mengapa dalam relasi yang mana dua subyek saling berkomitmen (baik dalam hubungan pernikahan atau romansa) malah terjadi hal seperti tersebut. Maksudnya, mengapa berkomitmen jika pada akhirnya hanya menjadikan perempuan sebagai pilihan kedua? 

Tentu yang lebih memuakkan ketika saya teringat bagaimana diri saya sendiri yang mengalami hal tersebut. Kiranya, saya telah membangun relasi yang sehat, setara, dan baik. Namun ternyata, saya hanya menjadi pilihan kedua seseorang.

Saya jadi bertanya-tanya, mengapa ia menjalin relasi jika pada akhirnya saya hanya menjadi pilihan/opsi? Yang lebih menyakitkan, ketika pengalaman tersebut membawa diri saya pada kualitas hidup yang lebih buruk.

Misalnya, sejak saya menjadi pilihan kedua seseorang, saya menghabiskan banyak malam untuk berpikir. Apakah ngga layak membangun relasi? atau apakah ngga secantik perempuan dalam relasi sebelumnya? Apakah kurang cerdas? Apa karena status? 

Seburuk apa saya hingga saya menjadi pilihan kedua? Mengapa saya harus mempertanyakan banyak hal hingga kehilangan diri sendiri? Apalagi, orang tersebut menjadikan saya sebagai opsi secara sadar. Betul, ia menuliskan secara sadar.

Padahal, saya ngga melakukan hal serupa kepadanya. Sejak saya hanya menjadi pilihan kedua, saya ngga lagi melihat orang tersebut sebagai orang yang berprinsip kesalingan atau mubadalah (resiprokal). Sejak saat itu, relasi yang terlihat sehat, setara, dan baik tiba-tiba runtuh.

Saya jadi muak karena kehilangan diri sendiri dan menangis berhari-hari mengapa mendapatkan perlakuan seperti itu. Rasanya, hanya menjadi obyek baginya karena begitu mudah sekali ia menjadikan saya sebagai second choice. Saya merasa ngga menjadi subyek utuh dan ngga mendapatkan penghargaan.

Awal yang baik, saya menyadari bahwa perlakuannya merupakan hasil produk pemikiran laki-laki yang sangat patriarki. Pemikiran yang menempatkan perempuan bukan sebagai subyek utuh terlebih dalam relasi. Sungguh relasi yang ngga setara dan ngga Mubadalah (kesalingan).

Saya memutuskan untuk mengakhiri relasi yang sangat ngga sehat. Bersyukurlah, sejak saat itu kualitas kehidupan saya semakin membaik, positif, dan sehat. Saya ngga sepantasnya mendapatkan perlakuan tersebut. Lalu, untuk apa juga menghabiskan hidup dalam relasi yang ngga sehat dan patriarki? Sungguh sangat memuakkan.

Mubadalah Memandang Perempuan Sebagai Subyek yang Utuh

Suatu hal yang sangat saya syukuri ketika hampir empat tahun saya belajar mengenai Mubadalah. Tanpa belajar mengenai prinsip kesalingan atau Mubadalah, tentu mungkin taraf hidup saya masih stuck dalam pemikiran patriarki dan dunia yang ngga ramah terhadap perempuan.

Tahun 2023, saya mengikuti Akademi Mubadalah Muda di Cirebon. Saya masih ingat betul bagaimana Kiai Faqih menjelaskan bahwa manusia adalah subyek yang utuh. Jika manusia sebagai subyek yang utuh, maka manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan juga sebagai subyek yang utuh.

Apa maksud subyek yang utuh? “Subyek yang utuh” berarti bahwa setiap manusia (baik laki-laki maupun perempuan) diakui secara penuh sebagai individu yang memiliki akal, kehendak, hak, dan tanggung jawab atas dirinya sendiri. Sehingga, tidak ada satu jenis kelamin pun yang dianggap lebih dominan atau lebih menentukan dibanding yang lain.

Ketika menjadi subyek yang utuh, perempuan tidak lagi dipandang sebagai pelengkap, obyek, atau sekadar pengikut laki-laki. Namun, perempuan juga bisa menjadi pribadi yang mandiri, setara, dan berhak berperan aktif dalam kehidupan sosial, keluarga, agama, dan masyarakat.

Prinsip tersebut menjadi inti dari pemikiran Mubadalah, yang menekankan pentingnya kesalingan dalam relasi laki-laki dan perempuan (bukan dominasi satu pihak atas yang lain).

Dari pengalaman saya (dan pengalaman perempuan lainnya) saya dapat belajar bahwa Allah sedang memberikan saya pengajaran. Pengajaran bagaimana menjadi perempuan yang menyadari nilai dan martabat ia sendiri sebagai subyek yang utuh.

Bahwa cinta, relasi, atau bahkan dunia kerja yang ngga memandang saya secara setara bukanlah tempat yang harus saya perjuangkan mati-matian. Dan apa yang saya alami serta saya rasakan pada pengalaman tersebut sebagai perempuan adalah valid. 

Prinsip Mubadalah membantu saya memahami bahwa perempuan berhak mendapatkan perlakuan secara setara bukan hanya sebagai second choice. Karena menjadi perempuan bukan berarti harus siap menerima sisa-sisa cinta, ruang, atau peluang. Menjadi perempuan berarti siap berdiri sebagai manusia utuh yang berhak hidup dalam relasi dan sistem yang adil, saling, dan setara. []

Tags: marjinalMubadalahOpsiperempuanpilihanSecond Choice
Layyin Lala

Layyin Lala

Khadimah Eco-Peace Indonesia and Currently Student of Brawijaya University.

Terkait Posts

Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

26 Juni 2025
Menemani Laki-laki dari Nol

Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

25 Juni 2025
Bias Kultural

Bias Kultural dalam Duka: Laki-laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

24 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID