Mubadalah.id – Kelurahan Pisangan, Kecamatan Ciputat, tempat saya tinggal, belakangan ini semakin sering menjadi sorotan. Bukan karena deretan mal atau kafe baru, melainkan karena masalah lingkungan yang kian memprihatinkan.
Tumpukan sampah yang menjulang di pinggir jalan, bau menyengat yang membuat pejalan kaki menutup hidung, hingga udara yang terasa semakin panas. Semua ini membuat aku bertanya-tanya, “Ciputat kita ini lagi kenapa sih?”.
Dulu, Pisangan dikenal sebagai rumah di pinggir kota dengan udara yang relatif sejuk dibanding Jakarta. Kini, suasananya perlahan berubah. Sampah plastik menyesaki sungai-sungai kecil, asap pembakaran limbah rumah tangga membumbung di permukiman padat, dan suhu udara yang makin panas. Semua menambah kegelisahan warga.
Melansir Kompas.id, Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R) di Pasar Ciputat yang seharusnya menjadi pusat daur ulang justru menjelma menjadi mini TPS dadakan.
Sampah menggunung hingga 3-4 meter, menyajikan pemandangan kulit buah, sisa sayur-mayur, hingga belatung yang bebas berkeliaran. Bau busuk yang menyengat tak hanya mengganggu, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran soal kesehatan masyakarat sekitar.
Kondisi ini memicu reaksi cepat. Sejak Januari lalu, DPRD bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangsel turun tangan dengan mengerahkan puluhan armada pembersih.
Mereka membersihkan tumpukan sampah, memperbaiki fasilitas TPS3R, sekaligus memasang pembatas agar lokasi itu tidak lagi disalahgunakan sebagai tempat pembuangan ilegal. Pemerintah berjanji mengembalikan fungsi TPS3R sebagai pusat daur ulang yang bersih dan tertib.
Ancaman Banjir
Di sisi lain, sampah plastik juga memenuhi saluran air dan sungai kecil di Pisangan. Bungkus makanan dan kantong kresek yang menumpuk menyebabkan aliran air tersendat.
Warga Komplek Kompas III mengaku saluran air di lingkungannya kerap mampet, memicu genangan yang muncul tiba-tiba setiap musim hujan. Jika dibiarkan, bukan mustahil banjir menjadi langganan tahunan.
Masalah belum berhenti di situ. Berdasarkan data DLH, Ciputat menempati posisi dengan tingkat polusi udara terburuk se-Tangerang Selatan.
Selain karena kepadatan penduduk dan letaknya yang berada di dataran rendah, pola pembangunan yang mengandalkan kendaraan pribadi (car-centric) memperburuk kualitas udara. Ditambah lagi, aktivitas pembakaran sampah di lingkungan rumah yang menambah pekatnya polusi.
Dari Opsih Hingga Bank Sampah
Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Sejak Juni 2024, DLH menggencarkan operasi bersih-bersih (opsih) di pasar dan area drainase.
Kemudian, program bank sampah berbasis RT/RW juga terus diperluas, diiringi edukasi dan penertiban warga agar tidak sembarangan membuang atau membakar sampah. Sementara itu, TPS3R Pasar Ciputat ditutup sementara untuk renovasi dan penataan ulang agar kembali optimal sebagai tempat daur ulang.
Namun upaya pemerintah saja tidak cukup. Warga perlu ikut ambil bagian, setidaknya dengan tidak membuang sampah sembarangan, memisahkan sampah organik dan plastik agar mudah didaur ulang, melapor jika menemukan titik rawan sampah, serta aktif dalam kerja bakti lingkungan.
Daripada membakar sampah yang justru memperburuk polusi, lebih baik mencari cara pembuangan yang ramah lingkungan.
Optimisme untuk Pisangan yang Lebih Hijau
Kini, kesadaran warga Pisangan terhadap isu lingkungan mulai tumbuh. Bukan hanya soal bau tak sedap atau tumpukan sampah yang menjijikkan, tapi juga soal udara panas dan polusi yang setiap hari mereka rasakan.
Gerak cepat DLH bersama warga memperlihatkan bahwa kepedulian lingkungan bukan hanya slogan kosong, tetapi mulai diwujudkan dalam tindakan nyata.
Meski tantangan masih besar baik dari infrastruktur yang belum merata hingga transportasi publik yang belum memadai setidaknya harapan itu sudah mulai menyala.
Dengan kolaborasi antara warga, pemerintah, serta dukungan wilayah sekitar, bukan mustahil Pisangan, Ciputat akan kembali hijau, sehat, dan nyaman. Bukan sekadar mimpi, tetapi bisa benar-benar menjadi nyata jika kita semua mau bergerak bersama. []