Mubadalah.id – Dalam hiruk-pikuk zaman digital, setiap hari kita dijejali kabar rumah tangga yang hancur—perselingkuhan, kekerasan, pengkhianatan. Dari aktor, penyanyi, tokoh agama, bahkan kisah orang asing yang mendadak rame karena fyp. Seolah-olah rumah tangga hari ini lebih rapuh dari gelas kaca.
Tidak hanya menimbulkan kejutan, fenomena ini turut melahirkan gelombang kecemasan baru, khususnya di kalangan perempuan. Kepercayaan terhadap institusi pernikahan mulai rapuh. Banyak istri mulai mempertanyakan. Masih adakah kesetiaan di era ini? Pertanyaan itu tidak hanya lahir dari rasa takut pribadi, melainkan juga dari trauma kolektif yang terus menerus dipupuk oleh media.
Dalam atmosfer semacam ini, relasi rumah tangga tidak lagi berangkat dari kenyamanan, tetapi dari kecurigaan. Tak jarang, pasangan yang sebelumnya hidup damai ikut terbawa arus, saling mengawasi bahkan untuk hal-hal sepele. Trauma kolektif akibat paparan berita negatif membuat rasa aman perlahan terkikis. Akibatnya, rumah tangga yang mestinya jadi ruang pulang berubah jadi arena kompetisi “siapa yang lebih bisa dipercaya.”
Kegelisahan Perempuan: Antara Cinta, Mandiri, dan Takut Ditolak
Menjadi perempuan dalam relasi pernikahan modern kerap berhadapan dengan dilema yang tidak ringan. Ketika memilih menjadi ibu rumah tangga, perempuan kerap disalahkan jika pasangan berkhianat. Namun saat memilih berdaya dan mandiri secara ekonomi, ia malah kita anggap mengancam ego pasangannya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa relasi rumah tangga masih terbentuk oleh standar ganda yang menjerat perempuan dalam posisi serba salah. Kondisi ini diperparah oleh ekspektasi sosial yang membebani perempuan untuk menjadi “penjaga moral keluarga.”
Sementara lelaki tetap berada di posisi dominan dalam dinamika relasi. Padahal, dalam realitas modern, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berhadapan dengan tekanan hidup, tuntutan finansial, dan godaan eksternal.
Kesetiaan sebagai Proyek Bersama: Membangun Relasi Setara
Kesetiaan bukanlah konsep satu dimensi. Ia bukan sekadar “tidak selingkuh,” melainkan hasil dari proses panjang membangun kesadaran, komunikasi, dan relasi yang setara. Kesetiaan tumbuh dalam ruang yang saling mendukung, bukan dalam ruang kuasa yang timpang. Ia adalah proyek bersama. Antara dua individu yang saling mengenali diri, saling menerima, dan saling bertumbuh.
Dalam perspektif Islam yang adil gender, relasi suami istri terbangun atas asas sakinah, mawaddah, wa rahmah—ketenangan, kasih sayang, dan rahmat. Nilai-nilai ini tidak tumbuh dalam dominasi, tetapi dalam kesalingan. Setia dalam pernikahan berarti menjadi pribadi yang utuh, sadar, dan hadir, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional dan spiritual. Tanpa kesalingan, kesetiaan mudah runtuh; dengan kesalingan, rumah tangga bisa menjadi ruang pemulihan, bukan sumber luka.
Media dan Konstruksi Ketakutan Kolektif
Tidak dapat kita sangkal bahwa media berperan besar dalam membentuk narasi relasi rumah tangga. Sayangnya, media lebih sering mengeksploitasi sisi sensasional dari konflik rumah tangga ketimbang mendorong diskursus yang sehat. Algoritma media sosial juga memperparah situasi—semakin banyak orang penasaran, semakin sering kasus perselingkuhan diangkat, semakin menempel pula dalam kesadaran publik.
Ketika berita perselingkuhan terus menerus kita konsumsi tanpa kritik, publik secara tidak sadar mulai menganggapnya sebagai kelaziman baru. Hal ini berdampak pada relasi personal. Perempuan menjadi mudah tersulut kecemasan, relasi terpenuhi rasa curiga, dan kepercayaan sebagai fondasi pernikahan perlahan mengikis.
Maka, penting untuk mengembangkan literasi relasi—yaitu kemampuan menilai dinamika rumah tangga dengan kacamata kritis dan sehat, bukan hanya berdasarkan “trending topic.”
Harapan dan Ruang Pemulihan
Di tengah kekacauan narasi tentang relasi hari ini, penting bagi perempuan untuk tetap memiliki ruang refleksi dan pemulihan. Menulis, berdiskusi, serta membangun komunitas yang suportif menjadi cara untuk menyembuhkan luka batin sekaligus memperkuat kesadaran kritis. Komunitas ini bukan sekadar tempat curhat, tetapi juga ruang belajar untuk saling menguatkan, berbagi strategi, dan menumbuhkan kembali rasa percaya pada diri sendiri.
Kesetiaan bukan mitos. Ia ada, tapi tidak lahir dari ketakutan atau tuntutan sepihak. Ia tumbuh dari ruang yang adil, yang memberi tempat bagi laki-laki dan perempuan untuk menjadi versi terbaik diri, tanpa saling melukai. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, kesetiaan justru bisa menjadi jangkar—bukan karena terpaksa, tetapi karena kita pilih secara sadar. []