Mubadalah.id – Universitas Indonesia mendapat banyak kritik dari masyarakat karena narasumber yang mendukung genosida. Pada 19 Agustus 2025, akun Kemahasiswaan Universitas Indonesia atau akun @kemahasiswaan.ui mengunggah sebuah pengumuan daring mengenai Pengenalan Sistem Akademik Universitas (PSAU) Pascasarjana UI 2025.
Tiga narasumber yang diundang pada acara tersebut adalah Prof. Dr. Ir. Heri Hermansayah, S.T., M.Eng., IPU (Rektor Universitas Indonesia/opening remarks). Kedua, Prof. Dr. Peter Berkowitz (Tad and Dianne Taube Senior Fellow, Hoover Institution, Stanford University/Orasi Ilmiah). Ketiga, Dr. Ir. Sigit P.Santosa (Direktur Utama PT. Pindad Alumni S2-S3 Massachuset Institute of Technology, USA/orasi ilmiah).
Mengenal Lebih Jauh Peter Berkowitz, Akademisi Pro-Genosida
Peter Berkowitz adalah seorang ilmuwan politik dan sarjana hukum asal Amerika Serikat yang lahir pada 1959. Ia menempuh pendidikan di Swarthmore College dan memperoleh gelar sarjana sastra Inggris, kemudian melanjutkan studi filsafat di Universitas Ibrani Yerusalem.
Di Yale University, ia meraih gelar doktor ilmu politik serta Juris Doctor bidang hukum. Latar belakang akademiknya banyak berhubungan dengan filsafat politik, hukum tata negara, serta isu-isu demokrasi liberal.
Kariernya cukup panjang di dunia akademik, antara lain sebagai pengajar di Universitas Harvard dan George Mason University, serta peneliti senior di Hoover Institution, Universitas Stanford.
Selain itu, ia juga menjabat sebagai Direktur Staf Perencanaan Kebijakan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada masa pemerintahan Donald Trump (2019–2021). Dalam perannya, Berkowitz terlibat dalam penyusunan laporan dan dokumen strategis mengenai kebijakan luar negeri, termasuk yang berkaitan dengan Timur Tengah.
Berkowitz terkenal luas melalui tulisan dan bukunya yang banyak membela posisi Israel dalam konflik internasional terutama pendukung Genosida Palestina. Salah satu karyanya berjudul Israel and the Struggle over the International Laws of War (2012), yang menolak kritik internasional terhadap operasi militer Israel, termasuk laporan Goldstone dan insiden flotila Gaza.
Ia juga menulis esai seperti Explaining Israel’s Just War of Self-Defense to America (2024) dan Reconciling Israeli and U.S. Plans for ‘The Day After’ in Gaza (2024), yang menekankan legitimasi Israel dalam membela diri. Publikasi dan pandangan yang paling menonjol darinya yaitu dukungan konsisten terhadap zionisme, pembelaan terhadap Israel dalam isu hukum internasional, dan kritik terhadap pihak-pihak yang menentang kebijakan negara tersebut.
Mencederai Nilai Kemanusiaan
Sempat saya terpikir, Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa “sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Bangsa Indonesia sendiri mengakui bahwa bentuk penjajahan bertentangan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan dan keadilan, serta mengandung aspirasi bangsa Indonesia untuk bebas dari penjajahan sekaligus mendukung perjuangan bangsa lain yang masih terjajah.
Berdasarkan nilai dari pembukaan UUD 1945 tersebut, Universitas Indonesia seharusnya lebih berhati-hati dalam memilih sosok yang diundang untuk berbicara di hadapan civitas akademika.
Menghadirkan akademisi yang kita kenal mendukung genosida. Sama saja memberi ruang pada ideologi yang bertentangan dengan semangat kemerdekaan Indonesia. Kehadiran Peter Berkowitz jelas berpotensi menormalkan penindasan dan genosida terhadap rakyat Palestina.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi, UI memiliki tanggung jawab untuk menghadirkan narasumber yang bisa memberi inspirasi tentang keadilan, kebebasan, dan perdamaian. Mengundang akademisi yang mendukung tindakan kejam terhadap bangsa lain justru merendahkan martabat kampus sebagai pusat ilmu pengetahuan yang seharusnya berpihak pada nilai kemanusiaan.
Mengingat Kembali Dampak dan Korban Genosida
Mari kita me-recall kembali, apa saja yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir bagaimana Israel secara terang-terangan melakukan genosida kepada masyarakat Palestina. Konflik yang berkecamuk di Gaza sejak Oktober 2023 telah menyebabkan kehancuran kemanusiaan yang sangat besar. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan lebih dari 60.000 jiwa tewas, dengan mayoritas diperkirakan 80 persen atau lebih adalah warga sipil, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sebuah studi di The Lancet memperkirakan bahwa kematian akibat cedera traumatis telah mencapai antara 64.000 hingga 80.000 orang. Belum termasuk korban tambahan akibat penyakit, kelaparan, atau krisis kesehatan lainnya. Ribuan orang lainnya diperkirakan masih terkubur di bawah reruntuhan bangunan.
Dampak material dari agresi militer juga sangat parah. Lebih dari 90 persen rumah-rumah di Gaza mengalami kerusakan atau hancur. Sekitar 93 persen sekolah serta seluruh universitas telah rusak berat. Analisis Bank Dunia mencatat kerusakan infrastruktur mencapai 18,5 miliar dolar Amerika Serikat yang meliputi perumahan, sektor bisnis, layanan kesehatan, pendidikan, dan air bersih. Angka tersebut setara dengan 97 persen dari total PDB West Bank dan Gaza pada tahun 2022.
Fasilitas kesehatan juga lumpuh, hanya 36 persen pusat kesehatan primer yang masih berfungsi, sementara hampir 1.000 ambulans rusak. Situasi kemanusiaan semakin buruk karena blokade yang membatasi akses makanan, air, dan layanan medis. Hingga lebih dari 1.000 warga Palestina tewas sejak Mei 2025 ketika mencoba mengakses bantuan pangan, termasuk 80 anak-anak yang meninggal akibat kelaparan. UNICEF juga melaporkan sekitar 18.000 anak telah meninggal sejak konflik dimulai, dengan rata-rata 28 anak setiap hari.
Refleksi
Jelas, dapat kita rasakan mengapa publik bisa begitu protes terhadap tindakan Universitas Indonesia. Seharusnya, Universitas Indonesia melakukan background checking yang lebih dalam terhadap narasumber. Jika Universitas Indonesia berdalih karena narasumber yang bersangkutan adalah narasumber yang sesuai.
Maka, alasan semacam itu tidak bisa menjadi pembenaran. Peter Berkowitz secara konsisten memberikan dukungan intelektual pada kebijakan Israel yang telah menelan korban ratusan ribu jiwa di Palestina.
Memberinya ruang berbicara di institusi sebesar Universitas Indonesia berpotensi menormalisasi ideologi yang menindas dan mengabaikan penderitaan korban genosida.
Publik menolak keras karena mereka menyadari legitimasi terhadap pelaku atau pendukung. Hal tersebut sama artinya dengan menutup mata pada derita perempuan, anak-anak, dan keluarga yang kehilangan rumah serta masa depannya.
Sumber:
Human Rights Watch (2025). World Report 2025: Rights Trends in Israel and Palestine. [online] Human Rights Watch. Available at: https://www.hrw.org/world-report/2025/country-chapters/israel-and-palestine [Accessed 25 Aug. 2025].