Mubadalah.id – Dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw, Imam al-Ghazali pernah mengatakan bahwa Nabi sering tak punya uang. Jika ada uang lebih dari keperluan hari itu, dia akan mencari orang yang membutuhkannya. Jika tak menemukannya, dia tak kembali pulang. Melainkan menunggu saja sampai menemukannya.
Bahkan, beliau adalah seorang pemimpin besar, rumahnya tak ada penjagaan oleh siapa pun. Dalam perang dia berdiri di depan tanpa pengawal yang melindunginya.
Selain itu, Nabi Saw selalu memperhatikan seorang nenek yang tiap hari datang ke masjid untuk membersihkan latarnya. Ketika suatu hari tak melihatnya lagi, dia bertanya kepada sahabat-sahabatnya: “Di mana perempuan nenek itu?”
Manakala mereka memberitahukan bahwa nenek itu wafat tadi pagi, Nabi meminta mereka untuk segera mengantarkan ke kuburannya dan berdoa untuknya.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali menulis cerita lain yang menarik: “Suatu hari seorang Arab Badui datang kepada Nabi Saw sambil menyampaikan kata-kata kasar dan menantang. Ketika orang itu tertumbuk pada sosok Nabi yang santun, penuh senyum, tenang dan memancarkan cahaya kenabian, ia tertegun dan terpesona.
Ia lalu bergumam: “Demi Tuhan ini bukan wajah seorang pembohong,” Tidak lama kemudian ia meminta Nabi mengajarkan tentang Islam dan ia pun memeluknya.”
Seorang penulis, Sarwar, menampilkan Nabi dalam prosa sebagai model segala sesuatu yang positif dan indah, “Dialah paragon kelembutan, kemurahan, kesopanan, kesantunan, keakraban, kesucian, dan kesabaran, kecintaannya kepada anak-anak, sedemikian memesonakan dilukiskan dalam banyak puisi populer seperti :
“Apakah suara utama kehidupannya? Tak lain adalah mencintai Allah, mencintai manusia mencintai anak-anak, mencintai kaum perempuan, mencintai sahabat, mencintai musuh”
Kepribadian Nabi Saw dan prestasi-prestasi pribadinya yang gemilang menjadi sentral bagi teologi kalangan muslim modern. []