Mubadalah.id – Malaysia berdiri di atas dasar Konstitusi Federal, yang dibuat untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, mengontrol hak istimewa berlebihan, dan memberikan aturan yang jelas bagi pemerintah.
Karena dengan konstitusi ini bukan menjadi alat untuk membatasi kebebasan warga, melainkan untuk menjaganya, dengan syarat bahwa pembatasan hanya boleh dilakukan demi kebaikan bersama dan ketertiban masyarakat.
Hukum sejatinya hadir untuk melayani rakyat dengan meningkatkan kualitas taraf hidup mereka, bukan untuk membatasi pikiran, menambah beban hidup, atau merampas kebebasan pribadi lewat sanksi negara.
RUU Mufti
Namun, RUU Mufti yang memberi wewenang legislatif kepada pejabat tak terpilih tanpa transparansi maupun prosedur yang layak. Hal ini justru memperlihatkan kemunduran demokrasi dan pengabaian hak konstitusional.
Kebijakan semacam ini berpotensi mengikis hak kebebasan rakyat Malaysia, dan membungkam keberagaman suara rakyat Malaysia.
Pada 5 Desember 2024, dua RUU baru terkait hukum Syariah di Wilayah Persekutuan disahkan, yaitu RUU Prosedur Perdata Mahkamah Syariah dan RUU Pentadbiran Undang-Undang Islam. Perubahan besar yang dibawa adalah penghapusan Bagian III Akta 505, yang dulu mengatur soal pewartaan fatwa.
Meskipun sempat ada dialog dengan pemerintah soal RUU Mufti 2024. Akan tetapi masih banyak yang merasa khawatir dari sisi konstitusi dan prosedur.
Menteri Hal Ehwal Agama, Dato’ Setia Dr. Haji Mohd Na’im bin Mokhtar, menyebut bahwa perubahan ini sebagai langkah maju bagi hukum Syariah dan umat Islam. Namun, karena penjelasan detail tak kunjung jelas, maka publik semakin cemas terhadap dampak perubahan undang-undang ini.
Isu-Isu Utama yang Menjadi Keprihatinan
Pertama, pendelegasian kekuasaan legislasi yang berlebihan kepada pejabat tidak terpilih. Biasanya undang-undang baru sah setelah melalui proses panjang di Parlemen seperti adanya debat, bacaan, persetujuan YDPA, dan diumumkan secara resmi bahwa fatwa bisa langsung berlaku tanpa proses demokratis seperti itu.
Ketika dahulu, fatwa di Wilayah Persekutuan tetap butuh persetujuan YDPA sesuai Pasal 34 Akta 505, tetapi aturan ini sudah dihapus. Parahnya, pada Pasal 11 dalam RUU Mufti 2024 juga tidak jelas apakah fatwa harus diwartakan dulu sebelum bisa mengikat. Sehingga transparansi dan akuntabilitas menjadi menipis.
Adapun Implikasinya yaitu setiap fatwa akan langsung mengikat semua Muslim, termasuk mereka yang hanya singgah atau berkunjung di Wilayah Persekutuan. Artinya, umat Islam tak bisa lagi memilih keluar dari fatwa yang mungkin berbeda dengan mazhab atau kebiasaan mereka.
Kedua, pengakuan fatwa yang semakin meluas. Penggantian istilah semua mahkamah menjadi mana-mana mahkamah memunculkan kekhawatiran bahwa fatwa bisa berlaku di seluruh mahkamah bukan hanya di Mahkamah Syariah. Tetapi juga di mahkamah sivil bahkan di luar Wilayah Persekutuan, termasuk Mahkamah Anak Negeri.
Adapun resikonya yaitu Bisa menimbulkan tumpang tindih antara hukum Sivil dan Syariah dan Hak non-Muslim mungkin ikut terdampak lewat kebijakan yang terpengaruhi oleh fatwa tersebut.
Ketiga, ketidakjelasan antara Fatwa yang Diwartakan dan Tidak Diwartakan. Tidak adanya ketentuan yang membedakan fatwa yang diwartakan dan tidak diwartakan.
Hal ini tentu akan menciptakan ambiguitas yang berbahaya, membuka ruang penegakan hukum yang sewenang-wenang, dan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Implikasi Lebih Luas
Keempat, implikasi yang Lebih Luas. Penghapusan Bagian III Akta 505 dan lahirnya RUU Mufti 2024 bisa membawa dampak besar, di antaranya:
Pertama, campur tangan hukum berlebihan. Fatwa dengan batasan yurisdiksi yang kabur bisa saja mengacaukan jalannya peradilan, terutama saat hukum Syariah dan Sivil bertabrakan.
Kedua, dampak bagi masyarakat. Aturan ketat berbasis fatwa dapat berpotensi merugikan non-Muslim dan membatasi kebebasan berpikir maupun berdiskusi soal agama.
Ketiga, masalah konstitusi. Jika kewenangan MAIWP mereka perluas ke luar Wilayah Persekutuan, hal ini bisa melanggar sistem federal dan batasan konstitusional negara.
Cara pemerintah dalam mendorong pindaan (perubahan) ini menunjukkan kurangnya keterbukaan dan konsultasi publik.
Padahal, perubahan besar semacam ini seharusnya melibatkan beberapa hal mulai dari dialog dengan ulama dari berbagai mazhab, masukan ahli hukum untuk mencegah benturan antara hukum Sivil dan Syariah dan partisipasi masyarakat beragam di Malaysia agar semua suara bisa didengar.
Maka pencabutan Bagian III Akta 505 dan lahirnya RUU Mufti 2024 terlihat sebagai upaya untuk memperkuat kekuasaan, yang berbahaya karena bisa merusak perlindungan konstitusi, membatasi kebebasan warga.
Tuntutan SIS
Oleh karena itu, SIS Forum Malaysia menuntut hak kebebasan warga, di antaranya: pertama, pemulihan pengecualian Pasal 34 (3) Akta 505. Kedua, kejelasan yurisdiksi agar fatwa hanya berlaku di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan saja.
Ketiga, transparansi penuh dalam penerbitan fatwa. Keempat, konsultasi inklusif dengan semua pihak yang terkait sebelum pindaan dilanjutkan.
Tanpa adanya langkah ini, perubahan yang diusulkan dapat berisiko menyeret Malaysia menjauh dari identitasnya sebagai negara yang demokratis moderat dan multicultural. Bahkan Malaysia akan menjadi negara otoritarianisme yang didominasi oleh pejabat tidak terpilih dengan kewenangan agama tanpa batas.
Dengan begitu, pemerintah harus menjunjung prinsip konstitusi, melindungi keragaman praktik Islam, serta menjaga fondasi demokrasi bangsa. []