Mubadalah.id- Suatu ketika saya mengikuti tahapan tes dalam rangkaian perekrutan guru di sebuah sekolah swasta Islam bergengsi yang mengusung sekolah inklusif di Kabupaten Jombang, saat itu sampai pada tahapan ketiga microteaching.
Pada saat itu saya berkesempatan masuk di sesi mengajar yang tertuju langsung pada siswa terdiagnosa disabilitas tunagrahita. Di mana ia mengalami kesulitan dalam keterampilan adaptif seperti komunikasi, mengurus diri sendiri dan bersosialisasi. Bahkan ia punya daya ingat lemah, sehingga sulit mengingat informasi dan materi pelajaran.
Difabel grahita adalah sebutan bagi orang-orang dengan kemampuan intelektual dan kognitif yang berada di bawah rata-rata daripada orang pada umumnya. Kondisi ini biasanya terdeteksi sejak masa kanak-kanak, tetapi bisa pula muncul ketika dewasa, sehingga membutuhkan sekolah inklusi.
Anak dengan difabel grahita dapat kita kenali dari proses berpikir dan belajar yang lebih lambat daripada anak-anak lain seusianya. Tak hanya itu, seorang anak disabilitas grahita juga kurang cakap dalam mempraktikkan keterampilan saat menjalani kegiatan sehari-hari secara normal temasuk bertransaksi jual-beli. Kata disabilitas grahita sendiri merupakan istilah lain dari sebutan disabilitas intelektual.
Perlindungan Islam terhadap Penyandang Disabilitas grahita dalam bertransaksi
Sudah maklum bahwa transaksi adalah sesuatu yang riskan bila penyandang disabilitas grahita lakukan. Sebab ketidakadaan atau kurang lengkapnya pengetahuan mereka terhadap barang yang ditransaksikan. Orang-orang yang berniat buruk kerap kali memanfaatkan keadaan seperti ini. Sehingga berdampak kerugian bagi penyandang disabilitas, di mana tenyata barangnya tak sesuai harapan.
Lalu adakah perlindungan Islam terhadap keamanan penyandang disabilitas dalam bertransaksi? Islam sebenarnya sangat memperhatikan aspek keamanan transaksi para penyandang disabilitas melalui fikih inklusif.
Mereka terlindungi dengan tiga hal agar mereka tidak mengalami kerugian dalam bertransaksi. Ketiganya mengandung pembatasan pembatasan yang bertujuan bukan untuk menyulitkan, tetapi justru melindungi aset mereka dari risiko.
Tiga hal tersebut antara lain;
Pertama, Wakālah (perwakilan). Dengan model wakālah ini, penyandang disabilitas tidak boleh bertransaksi sendiri tetapi harus mewakilkan pada orang non-disabilitas yang ia percayai untuk bertransaksi atas nama dia.
Kedua, MaBayuūf fi az-zimmah (transaksi pemesanan barang yang sifatnya sudah ditentukan dengan jelas). Dengan modal ini para penyandang disabilitas yang mempunyai keterbatasan untuk mengetahui secara langsung barang yang akan ia beli tetap bisa mendapatkan barang sesuai yang ia harapkan.
Ketiga, Hijr (larangan bertransaksi). Beberapa jenis disabilitas, seperti skizofrenia dan sejenisnya, dipandang sebagai faktor yang rentan untuk melakukan transaksi. Sehingga mereka yang mempunyai keterbatasan tersebut dilarang untuk melakukan transaksi hingga kondisi disabilitasnya hilang.
Hal ini maksudnya bukan untuk mengekang tetapi untuk melindungi aset mereka supaya tetap aman. Apabila transaksi tetap berlanjut, maka dianggap tidak sah sehingga status kepemilikannya tidak berubah. Ini berarti barang atau uang yang sebelumnya hilang dari penyandang disabilitas itu dapat tertarik kembali di depan hukum.
Dengan tiga model perlindungan ini, maka aset penyandang disabilitas aman. Apabila mereka tetap melakukan transaksi dan ternyata mengalami kerugian, maka transaksi tersebut dianggap batal demi hukum sehingga aset mereka bisa kita tuntut agar dikembalikan.
Fikih Inklusif
Pada akhirnya, keberpihakan fikih inklusif kepada difabel grahita bukanlah bentuk keringanan yang tak sekadar rasa iba, melainkan pengakuan atas hak-hak kemanusiaan mereka. Islam datang untuk menegakkan keadilan, memberikan kemudahan, serta menghapus segala bentuk diskriminasi. Dengan semangat mubadalah, kita harus menafsirkan teks-teks agama secara lebih ramah, adil, dan setara bagi seluruh umat, tanpa terkecuali terhadap penyandang disabilitas.
Sudah saatnya masyarakat, pemerintah, dan komunitas keagamaan bersinergi dalam membangun ruang sosial-ekonomi yang inklusif. Difabel grahita bukan beban, melainkan bagian penting dari umat yang punya potensi serta hak hidup bermartabat.
Melalui pendekatan fikih inklusif mubadalah, kita dapat memastikan bahwa agama hadir sebagai rahmat, menebar kasih sayang, dan memberi kekuatan bagi setiap manusia untuk tumbuh sesuai kemampuannya. []