Mubadalah.id – Karena perbedaan muncul perpecahan, namun karena perbedaan pula kita dapat mengenal yang namanya kerukunan. Apakah perpecahan atau kerukunan? Itu sangat bergantung dari cara kita menyikapi perbedaan. Gus Dur semasa hidupnya telah banyak mengajarkan jalan kerukunan dalam menyikapi perbedaan. Ia mengajarkan bahwa perbedaan tidak mesti berakhir dengan perpecahan.
Gus Dur sendiri sering berbeda dengan banyak orang. Tapi, perbedaan itu tidak membuatnya membenci mereka. Ia menjaga hubungan baik dengan mereka yang berbeda. Ia juga mau membela mereka yang berbeda. Teladan Gus Dur ini, dapat kita lihat seperti pada pembelaannya terhadap kelompok Ahmadiyah.
Polemik Ahmadiyah di Indonesia
Isu kenabian Mirza Ghulam Ahmad dalam ajaran Ahmadiyah, menjadi pembahasan MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam Munas VII pada tahun 2005. Dari munas ini, keluar fatwa MUI No. 11/MunasVII/MUI/15/2005, yang menghukumi Ahmadiyah sebagai kelompok yang keluar dari Islam dan ajarannya sesat.
Ini bukan kali pertama munas MUI membahas Ahmadiyah. Munas II MUI pada tahun 1980 juga mengangkat isu ini. Hasil fatwanya pun serupa. Artinya, dua kali MUI mengeluarkan fatwa terkait kelompok ini.
Fatwa MUI segera mendapat respon dari GAI (Gerakan Ahmadiyah Indonesia/Ahmadiyah Lahore), yang keberatan disamakan dengan JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia/Ahmadiyah Qadian). GAI mengeluarkan Maklumat No. 01/PB-MA/GAI/2005, yang menegaskan bahwa mereka meyakini al-Qur’an sebagai satu-satunya kitab suci Islam dan Nabi Muhammad SAW sebagai penutup Nabi tidak ada lagi nabi setelahnya.
Meski tidak secara terang menyatakan Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi, pernyataan al-Qur’an kitab suci satu-satunya dan Nabi Muhammad SAW penutup nabi, sudah cukup menjelaskan kalau dalam ajaran mereka Mirza bukan nabi dan kitab Tadzkirah, kumpulan tulisannya, bukan kitab suci.
Pada April 2008, ketika Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat), dengan dalih fatwa MUI, memutuskan bahwa Ahmadiyah harus menghentikan aktivitas mereka di Indonesia. Isunya hanya tertuju pada JAI, meski fatwa MUI sebenarnya tertuju kepada dua aliran tersebut. Maklumat GAI sepertinya efektif, setidaknya untuk tidak terseret dalam polemik antara Bakorpakem dan JAI.
Beberapa bulan sebelumnya, pada 14 Januari 2008, sebenarnya JAI telah merespon fatwa MUI. Mereka mengeluarkan 12 pernyataan, yang merupakan hasil dari dialog JAI dengan Departemen Agama dan Bakorpakem.
Di antara isinya menyatakan kalau JAI bersyahadat, Nabi Muhammad SAW adalah penutup nabi, Mirza Ghulam Ahmad adalah guru, mursyid, pembawa berita dan peringatan, serta pengemban mubassyirat, tidak ada wahyu syariat setelah al-Qur’an, dan posisi kitab Tadzkirah sebagai buku catatan pengalaman rohani Mirza bukan kitab suci.
Namun Bakorpakem menilai JAI tidak sungguh-sungguh menjalankan pernyataan itu. Sehingga, keluarlah rekomendasi yang menuntut untuk menghentikan aktivitas mereka. Kondisi kian memanas dengan munculnya aksi-aksi intoleran, sederet desakan pembubaran, bahkan teror hingga kekerasan terhadap Ahmadiyah.
Pembelaan Gus Dur terhadap Ahmadiyah
Pada waktu itu, Gus Dur menjadi ulama yang kukuh membela Ahmadiyah. Sebagaimana melansir dari Detik.com; “Gus Dur Berwasiat pada GP Ansor untuk Membela Ahmadiyah,” Gus berkata bahwa, “Kita harus melindungi nasib warga negara kita. Warga Ahmadiyah harus dilindungi.” Ia bahkan menyampaikan, kalau pemerintah sudah tidak mampu menyediakan ruang aman bagi Ahmadiyah. Kalau masjid-masjid mereka terus diserang. Maka, pintu kediamannya di Ciganjur terbuka untuk tempat berlindung mereka.
Kita tahu Gus Dur bukan seorang Ahmadiyah. Meskipun begitu, ia mau membela mereka. Baginya, membela Ahmadiyah menyangkut kemampuan membela warga negara. Di titik ini, Gus Dur tidak lagi melihat polemik Ahmadiyah sekadar isu perbedaan dalam Islam. Ini juga menyangkut masalah penegakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pembelaan Gus Dur pun dalam hal ini tidak menyangkali atau menyalahkan perbedaan. Ia pernah menyatakan tidak setuju dengan ajaran Ahmadiyah. Ia juga tidak menyalahkan perbedaan yang tegang antara MUI dan Ahmadiyah.
Hal yang menjadi protes Gus Dur terhadap fatwa MUI, adalah tuntutan menghapus Ahmadiyah dari Indonesia. Sebab itu memunculkan pembenaran atas aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok ini. Sebagaimana melansir dari NU Online; “Gus Dur: Silahkan Mempropagandakan Ahmadiyah Salah,” kata Gus Dur, “kalau meniadakan Ahmadiyah, itu tidak betul, karena bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir.”
Perbedaan Tidak Berarti Perpecahan
Sikap pembelaan Gus Dur menunjukkan kearifannya dalam menyikapi perbedaan. Ia menyatakan tidak setuju dengan ajaran Ahmadiyah, tapi di sisi lain ia menyatakan siap membela mereka. Artinya, tidak ada kebencian dalam kacamata keberagamannya. Pembelaannya tidak hanya untuk kelompoknya, tapi bagi siapa saja yang tidak mendapat keadilan di negeri ini.
Perbedaan bagi Gus Dur tidak berarti perpecahan. Baginya, perbedaan tidak menjadi alasan untuk tidak membela Ahmadiyah dalam mendapatkan keadilan dan keamanan beragama di negeri ini. Dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Gus Dur menjelaskan bahwa umat Islam dapat berbeda, dan itu hal yang wajar, namun jangan berpecah. Dalam Islam yang ia pahami, bukan perbedaan melainkan perpecahan yang amat dilarang oleh agama ini.
Di sini, Gus Dur mengajarkan untuk melihat perbedaan bukan sebagai alasan perpecahan. Tapi, potensi untuk kerukunan. Rukun dalam keberagaman.
Gus Dur meyakini “Islam adalah pelindung bagi semua orang.” Tidak hanya Gus Dur, tapi umat Islam pada umumnya. Namun, bagaimana mungkin kita pede mengakatakan Islam agama yang melindungi semua orang, agama yang rahmatan lil’alamin, kalau dengan dalih agama ini pula kita membenarkan perpecahan yang berujung pada malapetaka kemanusiaan? []