Mubadalah.id – Beberapa hari lalu, saat tapping podcast, host tiba-tiba melempar pertanyaan soal Tepuk Sakinah yang lagi heboh di media sosial. Lini masa penuh dengan parodi video itu, ada yang lucu, kreatif, tapi lebih banyak yang nyinyir.
Alih-alih kita anggap sebagai upaya edukasi keluarga, Tepuk Sakinah malah diserbu komentar pedas. Ada yang bilang norak, ada yang nyeletuk mirip tepuk anak TK. Bahkan ada yang sinis, “Urusan pernikahan kok diajarkan pake joget-jogetan, hilang sakralnya”
Komentar-komentar itu cepat jadi meme, mendapat komentar dan jadi bahan candaan, hampir tanpa jeda. Saya sempat membaca beberapa komentar netizen dan merasa: sepertinya ada yang terlewat untuk kita pahami dari video itu.
Dari meme yang beredar, seolah-olah Tepuk Sakinah adalah bagian dari prosesi akad nikah atau Bimbingan Perkawinan. Ada yang parodikan, “Kalau nggak hafal Tepuk Sakinah, nggak bisa nikah!” atau, “Sudah repot urus biaya nikah dan pernak perniknya, masih disuruh tepuk-tepuk.”
Rasa penasaran saya pun muncul. Saya mencari tahu penjelasan resmi Kementerian Agama, menanyakan ke teman-teman yang menjadi fasilitator Keluarga Sakinah, sampai harus ngobrol dengan kolega penyuluh KUA.
Menurut Thobib Al-Ashar dari Kemenag, tepuk ini awalnya adalah alat ice breaking di pelatihan Keluarga Sakinah. Yakni cara kreatif supaya peserta lebih mudah mengingat materi lima pilar keluarga sakinah yang penyulus KUA ajarkan pada saat bimbingan perkawinan. Hal yang sama mereka lakukan dalam pelatihan Moderasi Beragama atau program penyuluhan lainnya.
Video yang viral itu rupanya konten edukasi yang dibuat oleh penghulu dan penyuluh KUA. Sayangnya, warganet keburu menilai dari tiga detik pertama. Gaya tepuk, intonasi, gerakan tangan, sampai ekspresi wajah. Pesan edukatif tentang pilar keluarga justru tenggelam di balik sorotan gaya yang mereka anggap jadul, polos, atau lucu.
Di era media sosial, potongan video sering lepas dari konteks. Algoritma yang mengejar clickbait membuat bagian lucu atau aneh lebih cepat menyebar ketimbang pesan yang mau tersampaikan.
Membayangkan Sesi Bimbingan Perkawinan
Ingatan saya langsung melayang ke suasana kelas bimbingan calon pengantin di KUA yang pernah saya ikuti untuk kepentingan riset. Ruang sederhana, peserta dengan latar belakang beragam dan tidak semuanya akrab dengan istilah atau aturan-aturan hukum keluarga juga relasi kesetaraan gender.
Belum lagi pikiran mereka sudah disibukkan persiapan pesta dan biaya nikah. Konsentrasi terbelah dan tidak cukup energi untuk menyimak materi binwin.
Dalam kondisi begitu, penyuluh dan penghulu KUA dituntut kreatif. Tidak semua peserta tahan duduk diam mendengarkan ceramah panjang. Cara sederhana seperti lagu, permainan, atau tepuk tangan sering kali jadi kunci untuk membuat materi yang berat terasa lebih ringan dan mudah teringat. Suasana lebih cair dan tidak membosankan.
Orang mungkin terbiasa menganggap edukasi perkawinan harus kita sampaikan serius, dengan bahasa resmi dan wajah tegang. Padahal yang mereka ajarkan itu soal saling menghargai, saling melindungi, menjaga keharmonisan rumah tangga, nilai-nilai yang mungkin sudah sangat sering terdengar tapi luput kita resapi.
Menyampaikannya dalam suasana santai harapannya bisa lebih efektif. Tepuk Sakinah hanyalah trik kecil untuk memancing perhatian, membuat peserta tidak bosan, dan membantu mengingat kata-kata kunci.
Apakah cara ini sempurna, ferguso? Bisa jadi terasa jadul dan tidak memenuhi ekspektasi netizen. Kurang meriah seperti lagu tabola bale. Tapi menertawakan tanpa berusaha memahami latar belakangnya jelas tidak adil.
Tepuk Sakinah: Bukan Korban Nyinyiran Pertama
Fenomena nyinyir semacam ini bukan hal baru. Setiap kali ada program publik tampil dengan cara tak biasa, netizen suka bereaksi spontan: menjadi meme, ditertawakan, lalu terlupakan.
Kita pernah melihatnya pada lagu sosialisasi cuci tangan, senam lansia, hingga jingle pemilu. Semua sempat jadi bahan olok-olok padahal niatnya baik. Tepuk Sakinah mengalami nasib yang sama.
Di balik tepuk yang jadi bahan candaan itu sebenarnya tersimpan pesan penting. Mengingatkan kita tentang fondasi rumah tangga yang sehat dan damai.
Kalau kita tangkap intinya, fokus bisa bergeser dari menangkap pesan dan mengemas dengan content yang lebih in line dengan selera netizen dari banyak kalangan.
Saya tidak cukup kreatif untuk mengusulkan packaging edukasi. Mungkin saja Video pendek ala TikTok atau Reels dengan musik dan gaya visual yang dekat dengan generasi muda. Bisa juga Komik digital tentang keseharian pasangan muda menghadapi masalah rumah tangga. Atau Cerita audio di podcast yang mengangkat kisah nyata pasangan yang berhasil menerapkan nilai-nilai keluarga sakinah.
Edukasi keluarga tak harus seragam. Bisa apa aja. Justru dengan beragam gaya dan bahasa, pesan soal keluarga sakinah bisa sampai ke lebih banyak orang dengan latar belakang dan situasi yang berbeda.
Kalau Tepuk Sakinah sudah berhasil memicu perbincangan, itu pertanda publik peduli. Tinggal kita arahkan supaya energinya melahirkan cara-cara kreatif lain agar pesan yang baik tetap sampai, dengan kemasannya lebih sesuai dengan zaman.
Jadi, jangan bully kalo tak punya solusi, Esmeralda! []