Mubadalah.id – Sejujurnya, sejak pertama digaungkannya sebagai program unggulan kampanye pasangan 02, saya meragukan bahwa Program Makan Bergizi Gratis (MBG) akan benar-benar menyentuh substansi persoalan gizi masyarakat kita.
Bagi saya itu lebih tampak sebagai jargon politik yang mengundang simpati daripada kebijakan berbasis riset. Padahal persoalan gizi anak di Indonesia jauh lebih kompleks: melibatkan kemiskinan, akses pangan, pola asuh, hingga infrastruktur kesehatan.
Namun MBG tampaknya memilih jalur pintas: seolah membagikan makanan “gratis bergizi” secara massal sudah cukup untuk menyelesaikan persoalan gizi yang berlapis. Narasi itu simpel, tapi sekaligus rapuh bila diuji dengan standar kebutuhan gizi nasional dan konsistensinya dalam mennyuplai kebutuhan gizi masyarakat secara optimal.
Sebagai warga negara yang taat membayar pajak, saya merasa penting untuk menimbang program ini bukan sekadar dari niat baiknya semata, melainkan dari konsep, pelaksanaan, dan dampaknya terhadap keuangan negara. Di balik janji manis itu, MBG menyimpan kelemahan fundamental yang menurut saya, membuatnya sulit dipertahankan dalam jangka panjang.
Asumsi Gizi Sekali Sehari vs Kenyataan di Lapangan
Harapan bahwa pemberian sekali makan di sekolah bisa menjawab gizi anak harus segera kita luruskan. Standar gizi sejatinya bukan soal kenyang semata: anak butuh menu seimbang karbohidrat kompleks, protein, vitamin, mineral dengan porsi sesuai usia dan kondisi kesehatan.
Dan lagi, fakta di lapangan turut menampakkan wajah muram. Beberapa sekolah melaporkan menu MBG sangat minimal. Dari unggahan warga di media sosial yang rajin lewat di linimasa saya beberapa waktu belakangan, tampak betapa memprihatinkannya hidangan makan siang itu. Ada yang hanya berupa burger dengan patty tipis, kering tempe, bahkan nasi dengan lauk seadanya.
Kasus di Jawa Barat misalnya, seorang siswa mengaku hanya menerima telur rebus setengah matang dan nasi tanpa sayur. Temuan ini sejalan dengan laporan Kompas (21/8/2024) yang mencatat sejumlah menu MBG di beberapa sekolah hanya berisi karbohidrat dan lauk sederhana tanpa keseimbangan gizi.
Selain itu investigasi Tempo (3/9/2024) yang memperlihatkan porsi makan siang di sebagian sekolah begitu kecil sehingga tak mencukupi kebutuhan energi anak.
Beban APBN dan Skala Prioritas
Kesenjangan antara harapan dan kenyataan makin terasa begitu kita menengok data anggaran. Bayangkan, MBG disiapkan untuk menyedot dana ratusan triliun rupiah dengan target lebih dari 80 juta penerima. Padahal di banyak sekolah pelosok, dapur saja belum ada, apalagi tenaga khusus untuk urusan makan. Akhirnya siapa yang kerepotan? Ya guru atau orang tua murid.
Di titik ini, ironi makin kentara. Anggaran pendidikan di APBN 2025 sebenarnya sangat besar: Rp 724,3 triliun, atau sekitar 20% dari total belanja negara Rp 3.621,3 triliun. Tapi sampai Februari, yang benar-benar cair baru Rp 76,4 triliun (10,6% dari pagu). Bandingkan dengan bansos yang sudah lebih dulu ngebut: Rp 48,8 triliun tersalurkan per 31 Mei, alias 32,6% dari target.
Nah, dari kue raksasa itu, MBG kebagian Rp 71 triliun. Sayangnya, hingga 8 September 2025, realisasinya baru sekitar Rp 13 triliun atau 18,3% dengan penerima 22,7 juta siswa, Di mana angka tersebt masih jauh di bawah target awal (Infobanknews, 9/9/2025). Jadi wajar kalau publik mulai curiga: menu seadanya, distribusi tersendat, anggaran jumbo tapi penyerapannya lambat.
Yang bikin tambah miris, sebagian besar dana pendidikan yang mestinya bisa terpakai untuk memperbaiki kualitas guru, beli buku, atau memperkuat sarana belajar malah digeser ke dapur MBG.
Pertanyaannya sederhana tapi menohok: bagaimana kita bisa berharap lahir “generasi emas” kalau ruang kelas masih reyot, internet ngos-ngosan, dan guru minim pelatihan? Anak-anak memang butuh makan, tapi mereka juga butuh lingkungan belajar yang sehat dan modern.
Risiko Penyalahgunaan dan Peluang Korupsi
Ada satu penyakit yang besar kemungkinan akan timbul dalam gawe besar Negara ini: penyelewengan dan penyalahgunaan aliran dana. Proyek skala besar dalam distribusi makanan sangatlah rentan dimonopoli. Dari perspektif awam sekalipun, pola itu bisa dibaca: vendor proyek yang diuntungkan lebih besar daripada murid.
Dalam pengadaan massal, terjadi potensi pengurangan kualitas bahan, pemotongan porsi, hingga mark-up biaya. Kita sudah menyaksikan bagaimana bantuan sosial di masa pandemi pun tak luput dari penyalahgunaan.
Lebih jauh, MBG membuka celah baru bagi koruptor. Rantai panjang distribusi dari pusat ke dapur, dari dapur ke sekolah akan menjadi titik lemah jika kontrol tidak ketat. Triliunan rupiah yang seharusnya menjadi nutrisi anak bisa “menyusut” menjadi fee proyek atau suap tender. Dan dampaknya anak-anak kita justru belajar dengan menu seadanya karena jatah gizinya dikorupsi oleh orang dewasa yang rakus.
Pengalaman di negeri ini sudah sering menunjukkan bahwa bantuan sosial dan dana pendidikan sering lebih “mengenyangkan” oknum daripada penerima manfaat. Tanpa pengawasan publik dan mekanisme transparan, MBG bisa menjadi “ladang hijau” baru bagi koruptor.
Kisah Nyata: Ketika MBG Menjadi Risiko
Mari kita tilik sebagian kecil laporan yang kami temukan dalam media online;
Pertama, di Bogor, 210 siswa dari delapan sekolah terlaporkan mengalami keracunan usai mengonsumsi MBG. 34 orang harus menjalani rawat inap, 47 rawat jalan, sisanya keluhan ringan.
Kedua, di Jawa Barat, Laboratorium Kesehatan (Labkes) menyebut bahwa menu MBG yang cepat basi menyumbang kasus keracunan di 11 kota/kabupaten. Faktor mikrobiologi dan penyimpanan suhu yang tidak sesuai menjadi pemicu.
Ketiga, Badan Gizi Nasional (BGN) merespons kasus Bogor dengan mengambil sampel makanan untuk uji laboratorium dan memberi teguran keras kepada SPPG yang bertanggung jawab.
Keempat, Lembaga INDÉF melaporkan bahwa lebih dari 4.000 siswa menjadi korban keracunan MBG dalam periode delapan bulan.
Kasus-kasus ini memperkuat bahwa kelemahan MBG bukan sekadar prediksi, tapi realitas yang terjadi di lapangan. Kasus keracunan yang terus muncul menandakan problem sistemik: pengendalian mutu, pengolahan, distribusi, dan pengawasan yang belum kokoh.
Jalan Tengah yang Rasional
Dari sudut pandang pemerintah, MBG mungkin dipandang sebagai simbol kepedulian negara terhadap masa depan generasi. Namun di mata orang tua, guru, dan publik kritis, program ini sarat persoalan. Gizi tak sesuai standar, fasilitas belum siap, beban keuangan negara membengkak, serta risiko penyalahgunaan yang menganga lebar. Janji mulia itu bisa berubah jadi beban struktural.
Menurut saya, daripada menggelontorkan ratusan triliun untuk makan massal, pemerintah harus memprioritaskan langkah-langkah yang lebih efisien dan tepat sasaran:
Pertama, pendidikan gizi keluarga: Ajarkan orang tua cara menyiapkan bekal sehat dari bahan lokal murah. Edukasi seperti ini lebih berkelanjutan daripada sekadar membagikan nasi kotak.
WHO sendiri menekankan bahwa perubahan pola makan berbasis keluarga punya dampak lebih konsisten terhadap status gizi anak dibanding intervensi sesaat. Kalau anak terbiasa dengan pola makan sehat dari rumah, maka efeknya jauh lebih bertahan.
Kedua, subsidi bahan pokok bergizi: Alihkan sebagian anggaran MBG untuk subsidi pangan sehat misalnya telur, ikan, sayuran langsung ke pasar atau koperasi sekolah. Dengan begitu, orang tua tetap punya kendali atas gizi anaknya, sementara petani dan nelayan lokal ikut merasakan manfaat ekonomi. Ini jauh lebih adil ketimbang uang habis di vendor besar yang memasok menu seragam ke seluruh Indonesia.
Ketiga, perbaikan infrastruktur Pendidikan: Jangan korbankan kualitas sekolah demi proyek populis. Anak-anak butuh ruang kelas yang baik sama mendesaknya dengan asupan makan.
Belum lagi nasib sebagian besar guru yang masih jauh dari kata sejahtera. Anggaran jumbo untuk MBG seharusnya bisa dialihkan sebagian ke hal-hal yang benar-benar meningkatkan kualitas belajar serta mensejahterahkan tenaga pendidik yang berjuang mencerdaskan bangsa.
Niat Baik Saja Tidak Cukup
Sesungguhnya saya berusaha mempercayai bahwa MBG muncul dari niat baik, tapi niat saja tak cukup. Tanpa konsep matang, kesiapan lapangan, dan pengawasan ketat, program ini hanya akan menjadi daftar proyek ambisius yang gagal. Yang lebih mengkhawatirkan: ia bisa membuka peluang korupsi baru, di mana anak-anak kembali menjadi korban dalam permainan anggaran.
Mari kita ingat: anak-anak kita tidak hanya butuh makanan. Mereka butuh kesehatan, kecerdasan, dan masa depan yang bebas dari permainan kotor orang dewasa. Program yang benar-benar berpihak harus lahir dari integritas, transparansi, dan keberlanjutan. Wallahu A’lam. []