Mubadalah.id – Setiap orang punya mimpi, dan masing-masing pemimpi berhak mewujudkan impiannya. Belum lama ini, Prof. Dr. Shinta Dewi Rismawati, S.H., M.H., yang kini menjabat Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Kerjasama, dan Alumni UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan, berhasil mewujudkan impian itu. Ia sukses meraih Innovation Educator Award dalam ajang bergengsi World DIDAC 2025 yang diselenggarakan di Hangzhou, China, pada 17–19 September 2025.
Innovation Educator Award adalah penghargaan bergengsi dalam Worlddidac Award. Yakni sebuah ajang internasional yang mengakui kualitas dan inovasi dalam pendidikan, yang diberikan kepada individu atau institusi atas kreativitas dan inovasi berkelanjutan di bidangnya.
Prof. Dr. Shinta menyabet gelar bergengsi di kancah internasional itu berkat papernya berjudul “Does AI Improve the Quality of Education? Challenges and Regulations (A Case Study in Indonesia).” Paper ini ia presentasikan di Negeri Tirai Bambu.
Artikel itu mengupas secara kritis potensi dan tantangan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam dunia pendidikan. Lebih spesifik di negara Indonesia. Tidak hanya itu, artikel tersebut juga menyoroti urgensi regulasi yang tepat untuk menjaga etika, kualitas, dan pemerataan akses pendidikan.
Pentingnya Skill dan Pendidikan Tinggi
Capaian tersebut tentu saja tidak hanya membanggakan bagi UIN Pekalongan, tetapi bagi perempuan Indonesia pada khususnya, dan manusia yang punya mimpi pada umumnya. Bahwa, ketika kita punya mimpi besar, maka berusahalah untuk mewujudkan mimpi itu jadi kenyataan.
Penulis sempat ngobrol dengan Prof. Dr. Shinta dua tahun silam, saat ia masih menjabat Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Gus Dur. Salah satu pernyataan kunci yang ia terangkan kepada saya adalah, “Berpendidikan tinggi memang penting, tapi akan jauh lebih bermakna jika seseorang itu juga punya skill. Ini berlaku untuk semua, laki-laki dan perempuan.”
Kalimat itu terasa seperti oase di gurun pasir yang tandus dan panas. Agak menyejukkan bagi penulis secara pribadi. Dan mungkin itu yang selama ini jadi prinsip pegangan Prof. Shinta hingga akhirnya mampu menuai prestasi di panggung global.
Dalam perspektif Prof. Dr. Shinta, mengenyam bangku pendidikan tinggi bagi seorang, khususnya kaum hawa, itu akan sangat penting. Akan tetapi, akan jauh lebih esensial jika perempuan tersebut terdidik. Terdidik dalam arti harus melek terhadap sesuatu yang lain. Seperti melek pengetahuan, IT, situasi dan kondisi, tidak kudet dan tidak kuper (kurang pergaulan).
Perempuan harus terdidik karena ijazah formal sekarang tidak menjadi jaminan kesuksesan seseorang. Perempuan harus punya skill tertentu, misalnya di bidang IT, konten creator, atau skill apa pun yang itu bisa lebih menjanjikan secara ekonomi. Punya ijazah S1 bahkan sampai S3, kalau tidak punya skill atau keahlian tertentu, maka seseorang akan kesulitan bersaing dengan mereka yang memiliki skill.
Perempuan Perlu Punya Bargaining Position
Dalam bidang-bidang tertentu, ijazah formal itu penting karena sebagai syarat administrasi, tetapi perempuan tetap harus survive dalam kondisi dan situasi apa pun, makanya harus punya power. Ibaratnya, seorang perempuan perlu punya bargaining position, kalau punya skill atau kemampuan yang lebih dibanding orang lain, itu menjadi nilai tawar yang lebih baik.
Seseorang, tidak hanya perempuan, juga laki-laki, jangan hanya cerdas secara intelektual, tapi juga harus cerdas secara emosional dan spiritual. Sebab, dengan kecerdasan intelektual belum bisa menjadi jaminan kunci sukses seseorang.
“Justru ini tadi ketika misalnya punya kecerdasan emosional, dia itu bisa survive. Punya tetap semangat, walaupun misalnya gagal, tapi dia punya semangat untuk bangkit, untuk belajar lagi, belajar lagi. Ada motivasi yang tinggi untuk dia melangkah dalam kehidupannya seperti ini. Jadi menurut ibu, ibu sepakat jika perempuan itu mungkin hanya lulusan SMA, tapi dia punya nilai-nilai lebih,” terangnya.
Perempuan yang berpendidikan tinggi tetap harus tertopang dengan skill lain yang tidak diajarkan di bangku kuliah. Sebab, kalau hanya belajar di kelas, kemudian berangkat pulang, berangkat pulang, itu tidak akan mendapatkan insight dan pengalaman yang lebih.
“Dapatnya hanya, mungkin ijazah, sama IPK tinggi, tetapi itu tidak menjamin masa depan dia untuk survive ya, untuk bisa berkembang dalam kehidupan berikutnya,”kata Prof. Shinta.
Artinya, bahwa perempuan pun harus punya nilai-nilai itu. Yang nilai-nilai itu bisa didapatkan dari misalnya mengikuti pelatihan-pelatihan, bergaul dengan sosial dan sebagainya. Prof. Shinta menambahkan, eman-eman sekali kalau kuliah hanya sekedar jadi mahasiswa kupu-kupu. Hendaknya, baik mahasiswa laki-laki dan perempuan perlu untuk mengembangkan diri lebih lanjut melalui organisasi yang ada di kampus.
Menjadi Manusia Berkualitas
Selain itu, seseorang akan punya nilai hidup yang lebih bermakna kalau di kehidupan sosial masyarakatnya, dia bisa bergaul serta mengembangkan relasi, dibanding yang hanya diam di rumah tanpa melakukan sesuatu yang bernilai.
“Diam di rumah kalau dia punya skill misalnya menjalankan bisnis onlinenya oke gitu ya. Menggunakan gadgetnya untuk menikmati pengetahuan, nggak apa-apa, tapi kalau hanya sekadar hanya untuk jadi konsumen, misalnya hanya melihat saja, tidak memproduksi, itu eman sekali buat saya,”jelasnya.
Pada kesimpulan yang saya dapat, pada intinya, seseorang baik laki-laki atau perempuan, perlu mengembangkan diri lebih intens lagi. Berpendidikan tinggi memang sangat penting, tapi kalau tujuannya hanya mencari selembar ijazah saja, maka yang akan kita dapat hanya secarik kertas. Seseorang tidak akan mendapatkan skill yang lebih banyak lagi.
Untuk menjadi manusia yang berkualitas maka seseorang harus memiliki kepribadian yang utuh (integrated personality). Kepribadian yang sehat (healthy personality), dan kepribadian yang normal (normal personality). Lalu kepribadian yang produktif (productive personality), dan memiliki etos kerja yang tinggi.
Jika etos kerja kita maknai dengan semangat kerja, maka etos kerja seorang Muslim bersumber dari visinya. Yaitu: meraih hasanah fid dunya dan hasanah fi al-akhirah. Jika etos kerja kita pahami sebagai etika kerja, maka wujudnya bisa menjadi sekumpulan karakter, sikap, mentalitas kerja. Oleh karena itu dalam bekerja atau berkehidupan, seorang Muslim senantiasa menunjukkan kesungguhan. []