Mubadalah.id – Selama ini, isu disabilitas seringnya menggunakan pendekatan medis saja, yang fokusnya hanya pada ‘memperbaiki’ individu agar sesuai dengan standar ‘normal’. Sehingga dalam program-program pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas, umumnya hanya memberi bantuan alat saja. Sayangnya tindakan tersebut belum tentu mereka butuhkan, mengingat banyaknya ragam disabilitas dan kebutuhannya.
Perlu kita ingat bersama bahwa isu disabilitas bukan semata tentang keterbatasan fisik atau mental individual. Tetapi juga tentang bagaimana masyarakat, infrastruktur, dan kebijakan itu berperan dalam membangun ruang hidup yang inklusif. Sehingga penting untuk kita mengubah paradigma dalam memahami dan mendampingi teman-teman difabel di Indonesia.
Dari Medis ke Sosial: Sebuah Pergeseran Paradigma
Sebetulnya dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2016, telah muncul paradigma baru yang mengedepankan pendekatan sosial yang berbasis hak asasi manusia. Dalam pendekatan tersebut menegaskan bahwa disabilitas bukanlah semata-mata persoalan individu, melainkan hasil dari hambatan lingkungan dan sosial.
Dan ketika akses, dukungan, serta kebijakan tidak disediakan secara setara, khususnya bagi para penyandang disabilitas, maka yang terjadi adalah pelanggaran hak asasi manusia.
Hak, Akses, dan Akomodasi yang Layak
Setiap penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk mengakses pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, dan partisipasi sosial. Namun sekali lagi yang perlu kita ingat adalah bahwa kesamaan itu belum tentu keadilan.
Misalnya pada konteks dalam ruang kelas yang sama, seorang siswa Tuli tidak dapat mengikuti pelajaran dengan efektif, jika guru hanya mengajar secara verbal tanpa dukungan visual atau bahasa isyarat.
Oleh karenanya kita perlu menegaskan makna kesetaraan sejati, yang berarti menyediakan akomodasi layak, bukan menyeragamkan perlakuan. Namun sebagai non-difabel, kita juga punya kewajiban untuk memahami perbedaan antara aksesibilitas dengan akomodasi yang layak dalam hal pemenuhan kebutuhan disabilitas.
Bahwa aksesibilitas itu bersifat umum dan universal, seperti toilet ramah difabel atau jalur landai (ramp). Sedangkan akomodasi yang layak bersifat personal, sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu berdasarkan asesmen.
Pendekatan Multi-Dimensi Sebagai Solusi
Mulai memiliki kepedulian terhadap isu disabilitas tidak cukup hanya niat dan mengerjakannya sesuai dengan perspektif kita sendiri, tetapi harus melakukan berbagai asesmen sesuai dengan kebutuhan teman-teman penyandang disabilitas.
Dalam persoalan anak disabilitas yang tidak memiliki akses keluar oleh orang tuanya, karena keluarga merasa malu, maka perlu melakukan multi-pendekatan.
Misalnya pendekatan medis untuk pemulihan fisik dan psikologis sang anak, lalu pendekatan sosial untuk dukungan keluarga dan masyarakat agar memberi akses dan dukungan kepada penyandang disabilitas, serta pendekatan kebijakan hukum untuk memastikan perlindungan anak, khususnya anak yang difabel tersebut.
Lalu dalam persoalan anak disabilitas fisik yang cerdas, namun pihak sekolah menolaknya karena tidak bisa duduk tegak. Maka memerlukan pendekatan untuk mendorong pemberian akses dan pendidikan inklusif, serta pelatihan bagi para guru agar mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para siswanya tanpa terkecuali.
Dalam kasus perempuan Tuli lulusan psikologi yang ditolak bekerja karena dianggap tidak mampu berkomunikasi. Ini memperlihatkan diskriminasi struktural di dunia kerja, sehingga perlu adanya kampanye dan advokasi untuk mengubah cara pandang masyarakat tersebut.
Ketiga contoh kasus di atas memperlihatkan bahwa pendekatan tunggal tidak cukup dalam mendukung penguatan hak-hak disabilitas. Penyelesaian persoalan tersebut membutuhkan kerja lintas sektor, baik medis, sosial, pendidikan, hingga kebijakan publik.
Peran Negara, Masyarakat, dan Tanggung Jawab Bersama
Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak penyandang disabilitas. Namun tanggung jawab ini juga harus didukung oleh masyarakat dan keluarga. Karena fakta di lapangan masih banyak yang kurang paham tentang kebutuhan anak difabel, sehingga perlu edukasi publik dan pelatihan bagi tenaga pendidik, aparat, serta tokoh agama untuk membangun perspektif inklusif tersebut.
Aksesibilitas bukan hanya investasi untuk penyandang disabilitas, tetapi juga untuk masyarakat secara keseluruhan. Dalam berbagai pelatihan dan stadium general tentang penguatan hak-hak disabilitas oleh Yayasan Fahmina, para narasumber selalu mengingatkan kita bahwa:
“Disabilitas itu bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, baik sementara maupun permanen. Maka menciptakan lingkungan yang inklusif itu berarti berinvestasi untuk masa depan yang manusiawi dan berkeadilan bagi semua orang.”
Pemahaman tentang isu disabilitas harus berpindah dari belas kasihan menuju pengakuan hak dan martabat kemanusiaan. Oleh karenanya pendekatan sosial, dukungan kebijakan, dan perubahan sikap masyarakat menjadi kunci untuk mewujudkan inklusi sejati.
Karena kesetaraan bukan berarti menyamakan, melainkan menyesuaikan agar semua orang dapat berpartisipasi secara bermakna. []