Mubadalah.id – Akhir-akhir ini media sosial sedang ramai dengan trend parodi tepuk sakinah yang di populerkan dalam Program Bimbingan Perkawinan (BIMWIN) Kementerian Agama.
Meskipun sebagian orang menganggapnya konyol karena irama dan gerakanya terkesan kekanak-kanakan, namun berkat keviralannya masyarakat mulai mengenal lima pilar rumah tangga Islam yang terangkum di dalam nya.
Kelima pilar tersebut adalah zawaj, mitsaqan ghalizan, mu‘asyarah bil ma‘ruf, musyawarah, dan taradhin, yang semuanya memiliki landasan hukum dan filosofis yang kuat dalam Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam.
Memaknai Kata Sakinah
Seperti namanya, tafsir tepuk sakinah ini mengambil inspirasi dari satu ayat Al-Qur’an yang sangat terkenal yaitu QS. Ar-Rum ayat 21. Saking masyurnya, ayat ini sering kita temukan dalam khutbah-khutbah pernikahan, bahkan tercetak pada undangan-undangan yang kita terima.
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Ayat di atas menyebutkan bahwa salah satu tujuan penciptaan pasangan dari jenisnya sendiri (manusia) adalah agar muncul keadaan sakinah (litaskunu). Dalam bahasa Arab sakinah berasal dari akar kata “sakana” yang berarti diam atau tenang setelah sebelumnya ada goncangan. Dalam Al-Qur’an kata tersebut merujuk pada dua makna. Yang pertama adalah sebuah keadaan yang tenang, damai dan terhindar dari ketakutan. Sedangkan makna kedua merujuk pada tempat tinggal.
Merujuk pada makna yang pertama, menurut Abu Laits Samarqandi, sakinah lebih dari ketenangan secara fisik namun juga psikologis. Yaitu ketika hati dan jiwa pasangan suami istri merasa tenang dan damai saat bersama. Hal ini terjadi karena pernikahan menyediakan tempat berlindung yang aman dan penuh kasih sayang, di mana mereka dapat saling menguatkan dan menemukan ketentraman dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.
Perumpamaan yang digunakan dalam tafsir Bahrul Ulum tersebut adalah seorang pria yang berkelana ke berbagai tempat. Ketika dia jauh dari rumah dan keluarganya, hatinya tidak akan tenang. Namun ketika kembali dia akan merasa aman dan damai.
Perumpamaan ini merujuk pada makna kedua, di mana sakinah berarti tempat tinggal. Sakinah menjadikan pasangan seperti halnya sebuah rumah, tempat berpulang bagi jiwa yang gelisah, di mana seseorang dapat menemukan ketenangan dan kedamaian sejati.
Fitrah untuk berpasangan
Dalam QS. Az-Zariyat ayat 49, menyebutkan bahwa “segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan”. Dalam sudut pandang tauhid, berpasangan merupakan karakteristik dari makhluk, karena yang berdiri sendiri hanya Dia yang Maha Esa. Begitu pula pada konteks laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan masing-masing dipandang sebagai hakikat yang satu. Iniliah sebabnya suami disebut sebagai zauj dan istri juga disebut sebagai zauj, yang artinya bahwa seorang itu pasangan bagi yang lainnya.
Berpasangan (zawaj) merupakan salah satu pilar rumah tangga yang disebut dalam lirik tepuk sakinah. Kata zawaj sendiri dalam kajian tafsir Al-Qur’an, menjadi salah satu topik perdebatan terkait isu gender. Misalnya pada QS. Ar-Rum ayat 21 di atas. Kata “azwaj” merupakan bentuk jamak yang dimaknai sebagai “istri. Sehingga penafsiran yang muncul yaitu ‘laki-laki akan merasa tentram (sakina) kepada Istrinya’.
Menurut Quraish Shihab pemaknaan ini kurang tepat, sebab dalam kaidah bahasa Arab, setiap kata jamak merupakan kata feminin. Sehingga pada ayat tersebut makna “azwaj” netral gender (bisa suami atau istri). Maka, penafsiranya menjadi ‘rasa tentram (sakinah) merupakan kecenderungan dari kedua pihak.’ Laki-laki merasa tentram dengan istrinya, begitu pula istri merasa tentram kepada suaminya. (Tafsir Al-Misbah)
Ikatan yang Kokoh (Mitsaqan Ghalizan)
Masih bertolak pada QS. Ar-Rum ayat 21, disebutkan bahwa berpasangan adalah salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Sebagaimana fitrah laki-laki dan perempuan untuk berpasangan, maka menjadi suatu keniscayaan bahwa mereka akan tertarik satu sama lain. Dalam hal ini, Islam mengharuskan penyaluran fitrah tersebut melalui jalan pernikahan.
Al-Qur’an menjawabnya melalui QS. An-Nisa ayat 21. Ayat ini mengistilahkan hubungan pernikahan antara suami dan istri sebagai “Mitsaqan Ghalizan” yaitu sebuah janji atau ikatan yang kokoh. Persis seperti point kedua dalam lirik Tepuk Sakinah. Selain berimplikasi pada tanggungjawab yang serius antara kedua belah pihak. Janji kokoh juga meniscayakan adanya perlindungan terhadap pihak yang terikat.
Perlindungan ini tidak akan ada jika hubungan keduanya tidak terikat dengan pernikahan. Oleh karena itu, pernikahan menjadi satu institusi yang menyediakan seperangkat aturan guna menjamin hak-hak anggotanya (suami-istri).
Pada QS. An-Nisa ayat 21 misalnya, terdapat perlindungan pada hak seorang istri, ketika terjadi perceraian. Menurut hemat penulis, Islam telah berusaha menghadirkan perlindungan bagi pihak-pihak yang lemah (dalam konteks ini perempuan) melalui syariat pernikahan
Saling Cinta
Dalam QS. Ar-Rum ayat 21, saling cinta diwakili dengan kata “mawaddah”dan “rahmah”, padahal dalam Bahasa Arab kata mahabbah lebih sering digunakan untuk ungkapan cinta. Mengapa demikian? Ini sangat berkaitan dengan filosofis cinta dalam pernikahan, di mana setiap kata mewakili level cinta yang berbeda.
Mahabbah yang berasal dari kata hubb hanya mewakili cinta secara umum. Bisa berupa cinta pada sesama manusia, hewan bahkan benda. ia bersifat searah dan tidak seimbang. Hubb bahkan lebih sering digunakan pada konteks negatif seperti “hubbud dunya” “hubbu syahwat”.
Hubb juga bisa muncul dalam relasi laki-laki dan perempuan, dan biasanya hanya bertahan di awal saja, seperti pasangan muda yang sedang kasmaran. Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak menggunakan kata mahabbah dalam konteks pernikahan.
Mawaddah adalah rasa cinta yang setara dan selaras, ia muncul ketika pasangan saling memberi dan menerima, membangun kecocokan, serta mewujudkan keharmonisan. Ia juga termanifestasi dalam tindakan nyata dan oprasional. Mawadah menekankan kesalingan di dalamnya, di mana kedua belah pihak sama-sama saling memberi dan menerima cinta, serta mewujudkanya dalam tindakan nyata.
Adapun tingkatan tertinggi dalam mencintai adalah “Rahmah”. Rahmah adalah cinta yang murni, tidak menuntut balas. Ia muncul karena rasa kasihan melihat kekurangan atau ketidakberdayaan seseorang. Rahmah memang sangat dekat dengan rasa kasihan. Namun rahmah merupakan bentuk cinta yang paling murni. Seperti kasih sayang Tuhan kepada hambanya.
Maka tidak heran ketika Buya Hamka pernah berkata: “Cinta paling indah itu adalah cinta yang melalui pintu kasihan” Analoginya adalah, orang yang merasa kasihan tidak akan menuntut balasan, apalagi sampai berpikir menyakiti orang yang dikasihani. Dia tulus memberikan cintanya tanpa syarat.
Rahmah merupakan tingkatan cinta tertinggi yang dalam ayat tersebut akan diberikan ketika sudah berhasil melalui keadaan sakinah dan tingkatan mawadah. Dengan rahmah, saat kita melihat kekurangan pada pasangan, maka yang terlintas adalah dorongan untuk memaafkan, mengasihi, dan menutupi kekurangannya.
Saling Hormat, Saling Ridla
Dalam QS. An-Nisa 19 terdapat perintah untuk bergaul serta berperilaku yang patut terhadap pasangan “wa ‘āsyirūhunna bil ma’rūf” ayat ini menjadi landasan dari prinsip, mu‘asyarah bil ma‘ruf dalam pernikahan. Dalam lirik tepuk sakinah prinsip ini bisa terwakili dengan kata “saling hormat, dan saling ridho.
Jika selama ini kita mendengar bahwa istri berkewajiban untuk menghormati dan mencari ridho suami, maka dalam konsep mu‘asyarah bil ma‘ruf, hal tersebut juga harus dilakukan suami terhadap istrinya. Ibnu Katsir memberikan penjelasan terkait ayat tersebut “Sebagaimana kalian pun menyukai hal tersebut dari mereka, maka lakukan olehmu hal yang semisal terhadap mereka”.
Konsep mu‘asyarah bil ma‘ruf menekankan adanya kesalingan bagi kedua belah pihak. Saat seorang suami menginginkan agar istri menghormatinya. Misal dengan tidak meninggikan suaranya, maka suami juga harus bertutur kata yang baik kepadanya. Atau jika suami menginginkan agar istri meninggalkan hal-hal yang tidak diridhoi (dikehendaki). Maka semestinya ia juga menghindari hal-hal yang tidak istrinya sukai. Prinsipnya adalah “perlakukanlah pasanganmu sebagaimana kamu ingin diperlakukan”.
Saling jaga
Al-Qur’an menyajikan perumpamaan yang sangat indah untuk mengambarkan pentingnya kesalingan antara suami-istri. Hunna libâsul lakum wa antum libâsul lahunn yang termuat dalam QS. Al-Baqarah ayat 187. Suami-istri diumpamakan seperti pakaian yang melindungi dan mejaga satu sama lain.
Dalam tafsirnya Quraish Shihab menjelaskan bahwa, seperti halnya pakaian yang menutupi aurat, begitu pula suami istri haruslah menutupi kekurangan masing-masing. Sebagaimana pakaian melindungi dari panas dan dingin, begitu pula suami istri harus saling melindungi dari berbagai permasalahan dan krisis hidup. Saat pakaian berfungsi sebagai perhiasan, maka begitu pula pasangan suami dan istri menambah keindahan satu sama lain.
Demikianlah berbagai prinsip kesalingan dalam rumah tangga yang bersumber dari Al-Qur’an. Kelima pilar berumah tangga tersebut sebenarnya sudah disampaikan dalam program bimbingan pernikahan. Namun mengingat penjabaran konsep dan filosofinya yang terlalu panjang, tepuk sakinah bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengingatnya.
Jadi, menurut hemat penulis terlepas dari nada maupun gerakannya yang terkesan kekanak-kanakan, viralnya tepuk sakinah setidaknya membawa dua dampak. Pertama, membantu calon pengantin mengingat poit-poit penting dalam bimbingan pernikahan. Kedua, mendorong lebih banyak orang tau, penasaran kemudian mencari tahu makna di balik tepuk sakinah. Secara tidak langsung tepuk ini mendorong lebih banyak orang untuk belajar tentang konsep kesalingan dalam pernikahan. []