Mubadalah.id – Dalam konteks surga, prinsip mubadalah menegaskan bahwa perempuan berhak atas kenikmatan surga yang setara, termasuk memperoleh pasangan yang menyenangkan, membahagiakan, dan menentramkan—sebagaimana laki-laki memperoleh bidadari.
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Buku Qiraah Mubadalah menafsirkan kata “azwaj” (أَزْوَاجٌ) dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti QS. al-Baqarah [2]: 25, QS. Ali Imran [3]: 15, dan QS. an-Nisaa’ [4]: 57 secara mubadalah. Biasanya, kata azwaj diterjemahkan sebagai istri-istri atau bidadari-bidadari, sehingga hanya laki-laki yang menjadi subjek penerima.
Namun, jika dibaca secara mubadalah, kata azwaj seharusnya dimaknai sebagai pasangan, bukan istri. Dengan begitu, baik laki-laki maupun perempuan mukmin sama-sama menjadi subjek yang akan memperoleh pasangan-pasangan mereka yang suci, menyenangkan, dan membahagiakan di surga.
Allah berfirman:
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Di sana mereka memperoleh pasangan-pasangan yang suci, dan mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah [2]: 25).
Jika ayat ini kita baca dengan kesadaran mubadalah, maka subjeknya tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan. Surga adalah ruang kebahagiaan laki-laki dan perempuan.
Bidadari dan Bidadara
Maka, dalam perspektif mubadalah, perempuan mukmin juga akan memperoleh pasangan surgai bidadara—sebagaimana laki-laki memperoleh bidadari. Ini bukan persoalan menyaingi laki-laki dalam hal kenikmatan seksual. Melainkan mengembalikan surga sebagai tempat pembalasan yang adil dan setara.
Surga, dalam pandangan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, tidak boleh kita konstruksikan secara patriarkis. Sebab Allah sendiri tidak pernah membeda-bedakan ganjaran berdasarkan jenis kelamin, tetapi berdasarkan keimanan dan amal saleh.
Menafsir ulang konsep bidadari dan kenikmatan surga bukan berarti menentang teks, tetapi menjadi inti dari al-Qur’an. Pembacaan mubadalah mengajak kita untuk memandang surga sebagai ruang kesempurnaan bagi semua jiwa yang beriman—baik laki-laki maupun perempuan.
Kiai Faqih menegaskan, “Surga juga menjadi tempat perempuan memperoleh segala kenikmatan yang paripurna.” Karena itu, sebagaimana laki-laki berhak atas bidadari, maka perempuan pun berhak atas bidadara—atau bentuk kebahagiaan surgai yang sepadan dengan kodrat dan kebutuhannya.
Surga, dengan demikian, bukan hanya janji kenikmatan bagi satu jenis kelamin. Ia adalah lambang puncak kasih sayang Tuhan. []