Mubadalah.id – Beberapa minggu terakhir, dunia maya seolah berubah jadi dapur besar: penuh tawa, parodi, dan potongan adegan dari Bon Appetit, Your Majesty. Di antara semua video, satu adegan yang paling viral adalah ketika Raja Yi Heon (Lee Chae Min) perlahan mencicipi masakan buatan Chef Yeon Ji-yeong (Im Yoon-ah). Tangannya gemetar, matanya terbelalak, lalu ia mendongak dramatis seolah baru saja menemukan wahyu rasa.
Netizen langsung berpesta meme. Ada yang menambahkan efek api, slow motion, hingga remix suara sendok jatuh ke mangkuk dengan ekspresi yang nyaris religius.
Di TikTok dan Reels tren “POV: sebelum dan sesudah nonton Bon Appétit” bertebaran, menampilkan wajah datar sebelum menonton, lalu berubah kaget, tersipu, atau pura-pura jadi raja yang “terlena rasa”. Tagar seperti #BonAppetitEffect dan #BonAppetitChallenge membanjiri linimasa, menjadikan drama ini bukan sekadar tontonan, tapi fenomena budaya.
Namun, di balik riuhnya parodi dan efek transisi lucu, ada cermin yang lebih serius yakni bagaimana dapur, baik di masa Joseon maupun hari ini masih jadi ruang yang memperlihatkan siapa yang punya kuasa, dan siapa yang harus membuktikan diri untuk terakui.
Dari Dapur Modern ke Istana Joseon
Drama ini bermula saat Yeon Ji-yeong, seorang chef Korea yang sukses di dunia modern. Ia baru saja menerima penghargaan bintang tiga Michelin, puncak pengakuan kuliner. Ketika sebuah insiden misterius membuatnya terlempar ke era Joseon. Di sanalah takdir mempertemukannya dengan sang raja, dalam sebuah tragedi yang justru membuka jalan baru.
Untuk pertama kalinya, sang raja mencicipi bibimbap buatan Ji-yeong, rasa sederhana yang menggugah kenangan masa kecil tentang masakan mendiang ibunya, satu-satunya perempuan yang ia hormati. Sejak itu, Ji-yeong dibawa ke istana dan diangkat menjadi kepala koki karena racikannya yang memikat.
Tapi dapur istana tak seindah aroma masakannya. Ia harus menghadapi pandangan sinis para koki senior yang mayoritas laki-laki. Pujian datang, tapi selalu diiringi gumaman meremehkan: “Perempuan tak mungkin mencipta rasa sehebat ini.”
Ketika Memasak Adalah Cinta, Tapi Bukan Kekuasaan
Saat era Joseon, perempuan memang akrab dengan dapur, namun hanya dalam ranah domestik. Memasak untuk keluarga adalah kewajiban, bukan kebanggaan. Sedangkan posisi Master Chef istana, dengan segala kehormatan dan upah besar, selalu diserahkan pada laki-laki. Dapur bukan sekadar tempat mengolah makanan, melainkan arena kuasa dan di situlah perempuan kerap tak diizinkan berdiri.
Ironinya, bayangan itu masih membekas hingga hari ini. Laporan Korean Women’s Development Institute (KWDI) tahun 2021 menyoroti masih kuatnya hambatan struktural yang perempuan hadapi di dunia kuliner. Penyebabnya klasik yakni jam kerja panjang, budaya kerja maskulin, dan tekanan sosial yang menuntut perempuan lebih realistis.
Di panggung global pun tak jauh berbeda. Dari ratusan restoran yang mendapat penghargaan Michelin Star, hanya segelintir yang terpimpin perempuan. Dominique Crenn, satu-satunya chef perempuan di AS yang meraih tiga bintang Michelin, pernah menegaskan, “Saya bukan female chef. Saya seorang chef.” Pernyataan itu terasa sederhana, tapi sesungguhnya menggugat: mengapa perempuan harus selalu kita beri label, seolah keahliannya bukan hal yang wajar?
Dapur Sebagai Ruang Perlawanan
Dalam Bon Appetit, Your Majesty, Ji-yeong tak pernah digambarkan lemah. Ia berpendirian, berani menantang protokol, dan tak gentar ketika pejabat istana merendahkannya. Dapur baginya bukan sekadar tempat memasak, tapi ruang untuk menegakkan martabat.
Kiai Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Qiraah Mubadalah membantu kita membaca ulang perjuangan Ji-yeong bahwa keadilan gender bukan tentang siapa yang berkuasa, melainkan bagaimana relasi itu saling meneguhkan.
Ji-yeong tidak datang untuk merebut kuasa dari koki laki-laki, tapi untuk menunjukkan bahwa keahlian tidak punya jenis kelamin. Ia mengubah dapur menjadi ruang kolaborasi, tempat rasa dan penghormatan bertemu tanpa hierarki.
Rasa yang Membongkar Kuasa
Pada akhirnya, perjalanan Ji-yeong bukan sekadar nostalgia lintas waktu, melainkan cermin bagi kita hari ini. Dapur dalam drama ini adalah metafora dari ruang sosial. Tempat di mana perempuan masih sering bekerja keras, tapi jarang kita puji. Di mana kreativitasnya terhidangkan, tapi nama mereka jarang tertulis di menu.
Bon Appetit, Your Majesty mengingatkan bahwa perubahan sosial tak selalu datang lewat revolusi besar. Kadang ia dimulai dari sendok kayu yang dipegang dengan percaya diri. Dari satu perempuan yang berani menantang resep lama dunia.
Maka, setiap kali seorang perempuan berdiri di dapur, baik di rumah, restoran, atau istana dan menolak diam ketika rasanya diremehkan, di sanalah keadilan mulai dimasak. Sebab dalam dunia yang masih menakar kemampuan dari jenis kelamin, kemampuan mencipta rasa adalah bentuk perlawanan paling halus, namun paling kuat. []