Mubadalah.id – Dalam pandangan Islam, ukuran kesalehan seseorang tidak hanya ditentukan oleh seberapa rajin ia beribadah di masjid, seberapa sering ia membaca al-Qur’an, atau seberapa fasih ia berbicara tentang agama. Ukuran kesalehan justru tampak dari bagaimana seseorang memperlakukan keluarganya.
Rasulullah Saw. menegaskan hal ini dalam sabdanya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi).
Hadis ini sejalan dengan pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Buku Qiraah Mubadalah. Ia menulis bahwa perilaku mulia seseorang terhadap keluarganya merupakan standar moral tertinggi dalam Islam. Sebab, rumah dan keluarga adalah ruang paling awal tempat nilai-nilai kemanusiaan itu dipraktikkan.
Dan di sanalah seseorang menguji sejauh mana ajaran Islam tentang keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab benar-benar hidup dalam keseharian.
Namun, dalam struktur sosial masyarakat, posisi laki-laki sering kali menempatkan sebagai pihak yang memiliki pengaruh dan tanggung jawab lebih besar.
Bahkan tidak sedikit laki-laki yang justru menyalahgunakan posisi sosialnya. Kekuasaan yang seharusnya menjadi amanah sering berubah menjadi alat kontrol terhadap perempuan.
Dalam banyak kasus, perempuan justru orang-orang jauhkan dari akses terhadap manfaat kehidupan baik dalam ranah domestik maupun publik. Relasi yang mestinya berlandaskan kesalingan (mubadalah) berubah menjadi relasi subordinatif.
Padahal, sebagaimana telah Nabi Muhammad Saw ingatkan dalam hadis riwayat Ibnu Majah “Saling berpesanlah di antara kalian agar selalu berbuat baik kepada perempuan. Karena mereka sering kali tidak diperhitungkan oleh kalian. Sesungguhnya kalian tidak memiliki hak sama sekali atas mereka, kecuali dengan hal tersebut (berbuat baik).” (Sunan Ibnu Majah, No. 1924).
Hadis ini menjadi peringatan sosial. Nabi melihat secara langsung bagaimana struktur patriarki Arab pada masanya sering menempatkan perempuan dalam posisi tidak menguntungkan bahkan tidak ia perhitungkan.
Karena itu, perintah “berbuat baik” bukan hanya bentuk kebaikan individual. Tetapi juga seruan etis untuk mengubah struktur sosial yang timpang. []