Mubadalah.id – Setiap hari media cetak maupun digital menyediakan kita secara instan mengenai peristiwa yang menyingkap sisi gelap kehidupan sosial kita. Persoalan kriminalitas semakin kompleks, tragedi kekerasan domestik yang menahun, kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang tak henti berulang.
Fenomena seperti ini bukan sekedar permasalahan deretan berita semata, melainkan sebuah bentuk krisis kemanusian dan degradasi nilai yang tengah menggerogoti struktur sosial kita. Kondisi tersebut seolah memperlihatkan bahwa masyarakat kita tengah berada dalam fase ketidakstabilan mendalam.
Singkatnya bisa kita katakan sebagai sebuah penyakit sosial yang menandakan krisis jati diri kolektif. Krisis ini tak berhenti pada ranah moral, tetapi juga membawanya pada medium spiritual manusia. Ironisnya, gejala kemerosotan ini tak hanya melanda kalangan dewasa, melainkan telah menjangkiti anak-anak yang seharusnya menjadi cermin kesucian nilai-nilai kemanusian.
Kesehatan Mental di Tengah Kompleksitas Sosial
Dari realitas tersebut, kita perlu menyadari tampak jelas bahwa merawat kesehatan mental setiap individu tidak dapat kita pukul rata. Setiap orang memiliki kondisi psikologis yang unik dan terpengaruhi oleh konteks sosialnya masing-maisng.
Karena itu, pembahasan merawat kesehatan mental menjadi semakin mendesak yang perlu membutuhkan kesadaran dari segala elemen. Baik keluarga, dan komunitas agar individu mampu mengenali perihal kondisi serta kesehatan mental yang kian hari semakin kompleks.
Menurut Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), survei kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja 10-17 tahun di Indonesia, menunjukan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Sementara itu satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.
Jumlah tersebut setara dengan sekitar 15,5 juta penduduk dan 2,45 juta di antaranya merupakan remaja. Kelompok remaja ini tergolong dalam kategori individu yang telah teridentifikasi mengalami gangguan mental.
Berdasarkan kriteria yang tercantum dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi kelima (DSM-5) panduan baku yang digunakan oleh para professional kesehatan jiwa di Indonesia untuk menetapkan diagnosis gangguan psikologis.
Dari hasil penelitian Indonesia National Adolescent Mental Health Survey ini juga menunjukan bahwa gangguan mental yang banyak diderita oleh remaja adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7%.
Lalu diikuti oleh gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stress pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperakgivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5%.
Melihat Kesehatan Mental dari Perspektif Islam
Kenyataan ini memperlihatkan bahwa problem kesehatan mental bukan lagi persoalan individu yang lemah secara emosional. Tetapi mencerminkan kegagalan sistem sosial dan spiritual dalam merawat manusia secara utuh. Dalam pandangan Islam, manusia tercipta sebagai makhluk yang terdiri dari jasad, akal, dan ruh.
Ketika salah satu aspek ini terabaikan, keseimbangan hidup pun terganggu. Maka, membahas merawat kesehatan mental bukan hanya urusan medis, melainkan bagian dari tanggung jawab moral dan keagamaan yang harus diemban oleh setiap individu, keluarga, dan masyarakat.
Islam telah menempatkan ketenangan jiwa (sakinah) sebagai tanda dari manusia yang sehat secara spiritual. Al-Qur’an menegaskan, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28).
Ayat ini menegaskan bahwa kesehatan mental tidak dapat kita lepaskan dari dimensi spiritualitas dan hubungan seseorang dengan Tuhan. Jiwa yang tentram lahir dari keseimbangan antara zikir dan tindakan sosial, antara batin yang berserah dan hati yang peduli terhadap sesama.
Namun, ketenangan spiritual tidak mungkin terwujud dalam masyarakat yang kehilangan rasa empati. Meningkatnya kasus depresi, kecemasan, dan perilaku menyimpang pada remaja mencerminkan lemahnya sistem sosial yang menumbuhkan kasih sayang (rahmah) dan keadilan (‘adl).
Ketika keluarga menjadi ruang yang dingin dan sekolah menjadi tempat perlombaan prestasi tanpa empati, maka individu akan kehilangan daya tahan batin. Dalam pandangan Islam, menjaga stabilitas jiwa dan akal merupakan bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah tujuan dasar hukum Islam, yaitu ḥifẓ al-nafs (menjaga jiwa) dan ḥifẓ al-‘aql (menjaga akal).
Empati Nabi dan Spirit Penyembuhan Sosial
Rasulullah SAW mencontohkan bentuk perhatian terhadap kesehatan mental umatnya melalui empati, dialog, dan kelembutan. Beliau menenangkan hati sahabat yang berduka, memberi semangat bagi yang putus asa, dan mendoakan mereka yang gelisah.
Sikap penuh kasih ini menunjukkan bahwa spiritualitas Islam bukan sekadar ritual, melainkan praktik penyembuhan sosial. Dalam konteks ini, merawat kesehatan mental menjadi bagian dari amal salih. Sebab ia menjaga manusia agar tetap hidup dalam fitrah dan martabatnya sebagai makhluk yang dimuliakan.
Maka, tanggung jawab menjaga kesehatan mental tidak boleh hanya kita serahkan kepada individu yang menderita. Keluarga, lembaga pendidikan, dan komunitas keagamaan harus menjadi ruang penyembuhan (healing space) yang menghadirkan rasa aman dan kasih sayang.
Nilai ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan kemanusiaan) dalam Islam menegaskan bahwa kepedulian terhadap penderitaan batin sesama adalah bagian dari iman. Rasulullah bersabda, “Tidak beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, memperjuangkan kesehatan mental bukan sekadar agenda sosial modern, melainkan wujud nyata dari Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam.
Islam tidak hanya mengajarkan manusia untuk salat dan berpuasa, tetapi juga menumbuhkan kasih sayang, empati, dan keseimbangan jiwa. Merawat kesehatan mental adalah bagian dari jihad kemanusiaan. Menjaga akal, menenangkan hati, dan menghidupkan kembali nurani sosial yang mulai tumpul. []