Mubadalah.id – Greenpeace, sebuah organisasi yang berfokus pada isu lingkungan, memperkirakan pada tahun 2050, bumi akan dibebani sekitar 12 miliar ton sampah plastik.
Data ini seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua. Bahwa dunia saat ini sedang melaju menuju pada krisis ekologis yang mengancam keberlanjutan kehidupan.
Karena seperti kita ketahui, persoalan sampah plastik bukan hanya banyak mencemari daratan, tetapi juga sudah menutupi lautan di sejumlah negara.
Fenomena memilukan yang kerap ditemukan adalah beberapa penyu tubuhnya terjerat jaring plastik, bahkan di perairan Wakatobi, seekor paus sperma pernah ditemukan mati dengan isi perut yang dipenuhi sekitar 6 kilogram sampah plastik, mulai dari ratusan gelas plastik, kantong belanja, hingga sandal jepit.
Kasus serupa juga terjadi di Filipina, ketika seekor paus jenis Cuvier’s beaked whale terdampar dengan 40 kilogram plastik di dalam perutnya. Bahkan di Norwegia, seekor paus ditemukan membawa 30 kantong plastik dalam sistem pencernaannya.
Tak berhenti sampai di situ, ancaman lebih besar adalah sampah mikroplastik. Jenis sampah ini mudah masuk ke dalam tubuh ikan. Lalu tanpa kita sadari ikut masuk ke dalam tubuh kita saat mengonsumsinya.
Oleh karena itu, persoalan sampah plastik, jelas bukan hanya soal lingkungan dan hewan, tetapi juga soal kesehatan manusia dan keberlanjutan generasi mendatang.
Dampak Menggunakan Plastik Sekali Pakai
Perlu kita sadari, masalah terbesar dari persoalan ini berasal dari budaya sebagian manusia yang gemar menggunakan plastik sekali pakai seperti kantong belanja, sedotan, kemasan makanan, hingga botol air minum yang hanya digunakan beberapa menit.
Padahal, dampak dari kebiasaan sepele itu sangatlah anjang. Plastik yang kita buang hari ini akan meninggalkan jejak ratusan tahun di alam kita. Di Indonesia sendiri, plastik bahkan menjadi salah satu penyumbang terbesar timbunan sampah yang hingga kini masih sulit dikelola.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2023 mencatat bahwa timbulan sampah nasional mencapai sekitar 38,6 juta ton. Jika seluruh kabupaten dan kota melaporkan dengan lengkap, jumlah itu diperkirakan bisa menyentuh 64,6 juta ton.
Dari angka tersebut, hampir 19,2 persen di antaranya merupakan sampah plastik. Itu berarti, setiap tahunnya Indonesia menghasilkan lebih dari 12 juta ton plastik yang sebagian besar hanya berakhir di tempat pembuangan, tercecer di lingkungan, atau bahkan hanyut ke laut.
Lebih memprihatinkan lagi, dari sekitar 15,5 juta ton plastik yang dihasilkan tahun lalu, hanya sekitar 68 persen yang berhasil dikelola. Sisanya, lebih dari 31 persen, benar-benar tidak tertangani. Akibatnya, sebagian besar sampah plastik itu masuk ke sungai hingga bermuara ke laut.
Dana Bank Dunia
Data Bank Dunia bahkan memperkirakan setiap tahun sekitar 346 ribu ton sampah plastik dari Indonesia bocor ke laut, membuat negeri ini sebagai salah satu penyumbang pencemaran laut terbesar di dunia.
Oleh karena itu, kebiasaan menggunakan plastik sekali pakai justru sangat memperburuk permasalahan ini. Bayangkan, setiap tahun masyarakat Indonesia diperkirakan menggunakan lebih dari 182 miliar kantong plastik dengan berat hampir 1,3 juta ton. Itu belum termasuk gelas plastik air minum dalam kemasan (AMDK) yang setiap tahunnya menghasilkan puluhan ribu ton sampah tambahan.
Jika pola konsumsi plastik sekali pakai ini tidak berubah, para ahli memperkirakan proporsi sampah plastik di Indonesia akan melonjak dari 19 persen pada 2023 menjadi hampir 40 persen pada tahun 2050.
Maka dari itu, dengan minimnya tempat pengelolaan sampah di Indonesia, hal ini akan menjadi bom waktu ekologis yang bisa merusak ekosistem darat dan laut, serta mengancam kehidupan manusia di masa depan.
Fatwa KUPI
Dengan melihat realitas yang semakin memprihatinkan, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) telah menegaskan hal ini dalam fatwanya bahwa menjaga lingkungan dari kerusakan sampah plastik hukumnya wajib.
Sebab, kerusakan ekologi bagi KUPI merupakan bagian dari bentuk fasad fil-ardh yang secara tegas telah al-Qur’an larang.
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-A’raf (7): 56)
Ayat ini menegaskan bahwa segala bentuk perusakan alam, baik yang tampak kecil maupun besar, adalah perbuatan yang telah Allah Swt larang. Termasuk di dalamnya penggunaan plastik sekali pakai, membuang sampah sembarangan, pencemaran udara dan air. Hingga berbagai aktivitas yang mengganggu keseimbangan ekosistem.
Bahkan semua tindakan itu bukan hanya merusak bumi. Tetapi juga mengkhianati amanah yang telah Allah berikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi. Karena itu, menjaga alam berarti menjaga titipan Allah, sedangkan merusaknya sama dengan menentang larangan-Nya.
Langkah Kita
Oleh karena itu, sampah plastik bukanlah masalah sepele, melainkan ancaman serius bagi ekosistem dan kehidupan manusia. Ketika paus, penyu, dan ikan mati karena plastik, itu adalah peringatan bahwa kita sedang merusak rumah kita sendiri. Jika laut hancur, maka hidup kita pun ikut terancam.
Dengan demikian, sebelum kerusakan semakin parah, mau tidak mau kita harus mulai melakukan perubahan dari sekarang, sekecil apa pun langkahnya. Kita bisa memulainya dengan membawa tas belanja sendiri, menggunakan botol minum (tumbler), membawa wadah makanan, menolak sedotan plastik. Hingga mendukung produk-produk yang menggunakan kemasan ramah lingkungan. []